Menyoal Penundaan Migrasi Siaran TV Analog ke Digital di NTB

Dalam kapasitas sebagai pegiat Forum TV Lokal (FTV) NTB, saya diundang TVRI NTB ikut nimbrung dalam acara NTB BICARA menyoal kebijakan migrasi siaran TV analog ke TV digital, Senin sore (30/5).

Selain saya, juga hadir Wakil Ketua KPID NTB Afifudin Adnan dan Aurelius RL Teluma SS MA, Pakar Komunikasi dari Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Mataram.

Terkait penundaan migrasi TV analog ke digital, saya punya beberapa catatan kritis antara lain:

Pertama; Penundaan ASO haruslah disikapi sebagai simalakama Pemerintah melihat fakta lapangan bahwa pemangku kepentingan belum siap menjalankan migrasi siaran TV analog ke digital.

Dengan segala kampanye masif kelebihan siaran TV digital yang dilakukan pemerintah dan pihak terkait, nyatanya menyisakan banyak masalah, hingga akhirnya pemerintah menunda migrasi TV digital di NTB yang seyogyanya efektif berjalan pada 30 April lalu.

Usulan penundaan ini sudah lama disuarakan kawan-kawan pengusaha TV lokal yang tergabung dalam FTV NTB.

Kalaupun akhirnya opsi migrasi siaran TV digital diambil TV lokal, bagi saya, ya tidak lebih hanyalah keterpaksaan saja, mengutip lirik lagu Pance Pondaag.

Sejatinya TV lokal tidak mungkin menolak migrasi digital, melainkan mereka hanya ingin eksistensi mereka selayaknya dapat perlakuan berbeda dan tidak disamakan dengan pendatang baru, mereka yang baru mulai dari nol dan belum teruji berinvestasi menjalankan industri penyiaran padat modal, padat regulasi dan berisiko tinggi ini.

BACA JUGA:  Kongkow Bareng Penyiar Senior NTB

Kedua; Fakta menunjukkan bahwa tidak ada perlindungan investasi bagi TV lokal Eksisting khususnya LPS .

Para LPS Lokal eksisting yang notabene merupakan perusahaan dalam negeri (perusahaan lokal) yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia selama ini sudah berkontribusi dalam melakukan diseminasi informasi, hiburan, dan edukasi kepada masyarakat.

Pertanyaannya mau dibawa kemana investasi yang telah ditanamkan LP Lokal tersebut saat dilaksanakannya ASO?

Selayaknya pemerintah memberikan kompensasi atas investasi yang telah dilakukan oleh para LP Lokal seperti tanah, gedung, alat pemancar, tower, dan lain lain yang secara keseluruhan akan menjadi idle dan sia-sia pada saat ASO.

Namun alih-alih memberikan kompensasi, pemerintah justru memaksa TV Lokal untuk mengembalikan ISR Analog sebelum pelaksanaan ASO tahap I dengan ancaman pencabutan IPP LP Lokal sebagaimana ditegaskan dalam Surat Direktur Penyiaran Kemkominfo tanggal 25 Februari 2022 dan dipertegas dengan SE Direktur Operasional Sumber Daya Kemkominfo No. 717 Tahun 2022. Untuk dapat tetap bersiaran, LP Lokal harus menyewa slot siaran digital pada penyelenggara multipleksing.

Pemerintah hanya berdalih bahwa digitalisasi penyiaran akan memberikan efisiensi biaya operasional kepada LP, yang mana hal tersebut belum terbukti khususnya bagi LP Lokal yang telah memiliki infrastruktur penyiaran sendiri.

Hal ini tentu tidak sejalan dengan semangat perlindungan investasi yang diusung oleh UU Cipta Kerja. Pemerintah dan Negara berkewajiban melidungi bisnis para LPS Lokal yang selama ini terbukti taat membayar pajak dan setia kepada NKRI selama berpuluh tahun.

BACA JUGA:  Menjajal "Figur Nomor Wahid" 2024

Sebagaimana dimaklumi, pemerintah terkesan hanya fokus pada hasil riset Boston Consulting Group (BCG) pada tahun 2017 yang memperkirakan adanya multiplier effect yang sangat besar yang akan dihasilkan dari digital dividen hasil pelaksanaan ASO tersebut, sementara di sisi lain pandemi dan dampak COVID-19 terhadap penurunan ekonomi dan dampak sosial lainnya selama dua tahun terakhir ini tentunya tidak menjadi variabel asumsi dalam melakukan riset tersebut.

Dengan demikian, konklusi dan rekomendasi dari riset BCG tersebut kemungkinan besar sudah tidak relevan dengan situasi dan kondisi saat ini.

Masyarakat penonton di Wilayah KLU, Sumbawa dan KSB tidak akan bisa menikmati siaran TV digital karena tidak masuk dalam daerah prioritas layanan siaran TV digital di NTB.

Program ASO tahap I dinilai sejumlah kalangan berpotensi merugikan masyarakat karena akan mengakibatkan adanya kelompok warga masyarakat yang tidak dapat menikmati siaran TV Digital.

Hal ini sebabkan jumlah 6,7 juta rumah tangga miskin penerima STB gratis yang ditetapkan Kemkominfo berdasarkan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) masih harus dipertanyakan, karena terdapat perbedaan dengan data BPJS yang mencatat adanya 69 juta jiwa masyarakat miskin Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan. Dengan menggunakan asumsi 1 keluarga terdiri dari 4 jiwa, maka jumlah keluarga miskin

BACA JUGA:  Youtuber Membangun Lombok Timur

berdasarkan data PBI BPJS Kesehatan tersebut adalah 17,25 juta keluarga. Perbedaan data jumlah rumah tangga miskin harus divalidasi agar distribusi STB gratis tepat sasaran.

Berdasarkan hasil survei MUC Consulting Group tahun 2021 yang ditunjuk oleh Kemkominfo, tingkat pengetahuan masyarakat terhadap ASO masih sangat rendah.

Ketiga; Ketersediaan Set Top Box (STB) bagi warga non-DTKS masih belum merata di pasaran.

Jumlah STB gratis untuk rumah tangga miskin di 12 provinsi yang bersumber dari komitmen awal penyelenggara multipleksing sebanyak 8,7 juta unit sebagaimana dilansir dari Bisnis.Com edisi 10 Juni 2021.

Seharusnya jumlah STB tersebut cukup untuk mengakomodir 6,7 juta rumah tangga miskin yang diklaim oleh Kemkominfo. Mengapa jumlah komitmen STB tersebut menjadi berkurang sehingga Kemkominfo justru terpaksa harus menambah 1 juta STB untuk memenuhi kekurangan 6,7 juta STB gratis bagi rumah tangga miskin. Walaupun sesungguhnya angka 6,7 juta tersebut masih dipertanyakan lagi validitasnya.

Saya tetap berkeyakinan betapa arif dan bijaksana bila kebijakan siaran TV digital dijalankan secara bertahap, tetap membiarkan siaran analog berjalan seiring dengan siaran TV digital.

Biarkan khalayak memutuskan dan memilih sendiri, apakah menonton TV lewat siaran analog atau digital. Bukankah ini hanyalah pilihan di antara banyaknya pilihan media era kekinian?

0 Komentar