Sasak Gagal Sasak Fatal

Tentu saja, ada yang mempersoalkan kandungan tulisan bahkan mencanggahnya sebagai hal yang berlebihan. Itu tidak masalah. Namun jika orang Sasak berkaca pada bawah sadar mereka, tulisan ini akan membuat mereka terdiam meski hanya sejenak. Karena itu, sebelum lebih jauh lagi, silakan perhatikan dengan baik kutipan berikut ini.

Soon after passing Mataram the country began gradually to rise in gentle undulations, swelling occasionally into low hills towards the two mountainous tracts in the northern and southern parts of the island. It was now that I first obtained an adequate idea of one of the most wonderful systems of cultivation in the world, equalling all that is related of Chinese industry, and as far as I know surpassing in the labour that has been bestowed upon it any tract of equal extent in the most civilized countries of Europe.
Untuk memahami apa yang saya maksud dengan judul di atas, sengaja mengutip secara utuh paragraf ketiga dalam chapter 11 yang subjudulnya berbunyi Lombok: Manner and Custom of the People kutipan tersebut ialah pernyataan Alfred Russel Wallace dalam masterpis handbooknya yang berjudul The Malay Archipelago, terbit tahun 1869.

Wallace amat terkesima, terkagum, dan tak mampu melukiskan perasaan dengan kata alias imajinasinya tak lagi bunyi setelah melihat ketersediaan burung-burung langka dan mahal di Lombok, kali ini ia tak habis pikir, kenapa ada sistem pertanian, kenapa ada lahan pertanian, kenapa ada sumber daya alam, kenapa ada kekayaan alam, kenapa ada sumber air yang sebegini tak tertandinginya di dunia ini. Ia menyetarakan bahkan dapat dimaknakan sebagai lebih unggul dari apa yang ia jumpai di Cina. Dan tentu jauh lebih unggul dari apa yang ada di Eropa.

Namun apa yang nampak kini, mungkin kalau Wallace hidup zaman sekarang, dia akan mengutuk dirinya karena pernah berkirim surat kepada Charles Darwin dengan penuh kekaguman terhadap Lombok dan meminta sahabatnya itu untuk datang ke Lombok. Tidak hanya itu, mungkin Wallace sekaligus berludah ke wajah orang Sasak yang tak habis-habis juga bodohnya itu. Dengan mengikat diri dalam kebodohan yang fatal, orang Sasak tak dapat apa-apa dari kekayaan alam yang Wallace kagumi itu.

Malahan orang Sasak selalu dalam keterceraiberaian, kemiskinan, dan kemunduruan fatal dan fatal. Lombok dikatakan maju, dikukuhkan sebagai salah satu dari KEK di Indonesia, namun orang Sasak sendiri masih telanjang dalam kebodohan dan peruncingan lidah sesama sendiri sebelum akhirnya saling menikam dalam kemiskinan yang fatal. Tentu Wallace mungkin benar-benar muak (melebihi kemuakan saya) orang Sasak yang tanpa perubahan sejak ia jumpai dahulu (1856). Terjajah dan terhina dalam kekayaan alam yang luar biasa. Duh gamak lacur bagian badan.

BACA JUGA:  Pembenci TGB: Haters Studies (Towards The Enlightenment Reborn)

Terkait kekayaan air, saya perlu tegaskan, puncak kekuasaan Cina terhadap dunia ialah ketika mereka sudah berhasil menguasai air di dunia ini. Begitulah pentingnya air yang kini, air di Lombok itu, air orang Sasak itu sudah dikuasai oleh bukan orang Sasak. Kesihannya, ye. Air minum dengan brand Narmada, Rafa, Netral itu siapa yang punya? Mikir gamak Sasak. Oh Sasak.

Lantas apa sebab orang Sasak itu selalu di pusaran nasib fatal? Banyak. Namun yang saya mau singgung dalam tulisan ini ialah mengenai tokoh sentral orang Sasak. Secarik yang saya tahu, sejak ada suku bernama Sasak, mereka tak pernah punya tokoh utama yang diutamakan. Mereka selalu terpecah-pecah ke dalam kabilah kecil yang, meskipun kuat, selalu saja dapat dihancurleburkan oleh orang lain. Bahkah oleh mereka sendiri. Semua kampung punya blok. Seluruh keluarga yang ada memiliki blok yang, lacurnya ialah setiap blok berpotensi untuk dipertarungkan satu sama lain karena sebenarnya orang Sasak tak pernah punya doktrin nilai, doktrin norma, doktrin adat tentang kebangsaan.
Mereka hanya mengenali diri sebagai suku bernama Sasak namun tidak mempunyai fondasi yang utuh tentang kebangsaan Sasak. Mereka hanya mempunyai doktrin tentang kampung, tentang keluarga. Itu saja. Akibatnya, semakin blok-blok tersebut berjuang untuk semakin kuat, maka semakin besar potensi untuk memecah belah orang Sasak. Jika blok kampung yang satu semakin kuat, maka blok kampung yang lain dilemahkan.
Peradaban subordinasi ialah peradaban paling tua di Sasak. Meskipun teori hegemoni dilahirkan di Italia oleh Gramsci, namun praktiknya sudah ratusan tahun lebih awal berlaku di Sasak. Kampung yang satu menghegemoni kampung lainnya. Keluarga yang satu mendiskreditkan keluarga yang lain. Blok yang satu menghegemoni yang lain karena doktrin mereka ialah hanya kampung dan keluarga mereka yang terbaik. Yang lain ialah panjak. Dampaknya yang paling terasa ialah rapuhnya tiang tunggal kebangsaan Sasak. Perjuangan kesasakan itu tak pernah sebaris namun selalu ikut kepentingan kampung dan keluarga. Kenaifan ulung sebagai satu bangsa yang tergolong besar.

Untuk memahami apa yang saya maksudkan di atas. Saya akan sedikit menarasikan seperti ini. Dalam kurun tahun 1980-1990an, salah satu orang Sasak yang sangat hebat ialah almarhum ayahanda Mudjitahid. Tergolong hebat karena beliau berkuasa lama di tengah kekuasaan sentralistik Orde Baru. Kalau bukan tentara dan jika bukan orang Jawa, jangan harap. Boleh saya katakan, tidak ada seorang pun yang tidak mengenal dan menjunjung beliau di Lombok Barat atau di Lombok bagian Barat. Namun adakah perkara yang sama berlaku di Lombok Tengah dan di Lombok Timur. Saya menjawab tidak samasekali. Kenapa begitu? Karena ayahanda Mudjitahid dilahirkan sebagai orang Sasak. Bangsa yang dididik dengan doktrin Lombok Barat itu Sasak namun beda dengan Lombok Tengah dan Lombok Timur. Karena dia berbeda, makanya segalanya berbeda. Jika mulut orang Sasak Lombok Barat setiap hari menyebut nama dengan penuh kagum dan hormat kepada ayahanda Mudjitahid, mulut orang Sasak di belahan yang lain, tidak demikian. Jadilah ayahanda Mudjitahid (tokoh yang saya kagumi dan anuti) itu hanya sebagai orang Sasak di Lombok Barat. Sungguh Sasak salah mengandung salah juga dalam mengasuh. Tokoh sehebat ayahanda Mudjitahid dibuat seperti itu oleh bangsa Sasak itu.

BACA JUGA:  Tatanan Baru Media Pasca Corona:Disrupsi Media Lebih Cepat

Hal yang sama berlaku di Lombok Timur. Jangankan pergi ke Lombok Barat dan Lombok Tengah, Lomok Timur bagian timur dan tengah berbeda dengan Lombok Timur bagian selatan. Jika di bagian Timur salah satu yang ditokohkan ialah Maulana dan di bagian Selatan ialah TGH. Mutawalli (Tuan Guru Jerowaru) yang kemudian diteruskan oleh TGH. Sibawaih. Maka jadilah Maulana sebagai orang Sasak unggul di bagian Timur dan di bagian Selatan Tuan Guru Jerowari sebagi orang Sasak yang utama. Bahkan yang paling mencengangkan, Masbagik mempunyai tokoh yang berbeda dengan Pancor. Karena beda tokoh berbeda pula pengakuan. Begitu seterusnya.

Agar tidak salah memahami apa yang saya maksudkan dengan patahan narasi di atas saya ingin menyampaikan begini. Saya lahir dan besar di lingkungan NW. Pada waktu saya belajar di Pancor, kalau saya pergi Safari Ramadan, saya sudah disediakan pemetaan yang cukup bagus. Di mana saya boleh secara bebas berbicara sebagai orang NW dan di mana saya mesti berhati-hati. Selain itu saya fahami sebagai kaedah dakwah, namun ke belakang saya memahaminya sebagai sesuatu yang menunjukkan bahwa orang Sasak ini memang berblok, berpecah-pecah. Misalnya, di Lombok Timur, saya merasakan lebih leluasa. Tapi kalau saya pergi ke Lombok Tengah, saya rasa seperti ada yang mesti ditahan. Hal yang sama jika saya pergi ke Lombok Barat.
Situasi yang sama terjadi yakni orang Lombok Timur tak mengenali ayahanda Mudjitahid. Di beberapa tempat di Lombok Tengah juga tak mengenali Maulana. Jika mereka pun tahu, hanya sebatas tahu namun tidak memberiikan respons yang sama heroiknya jika dalam waktu yang sama diperhadapkan dengan tokoh Lombok Tengah yang mereka anuti. Jadi secara sosiologis, Lombok itu dipecah-pecah sendiri oleh orang Sasak. Lombok Timur sudah dikavling oleh kelompok yang satu. Hal serupa terjadi di Lombok Tengah dan Lombok Barat. Buruknya, kavlingan itu disematkan doktrin yang satu sama lain cenderung saling menihilkan satu sama lain. Bahkan secara antroplogis, nampak yang memang orang Sasak ini dibentuk dari doktrin dan postur budaya yang berlainan. Hal ini semakin menguatkan tesis bahkan teori saya bahwa Sasak ini tidak mempunyai bapak tunggal. Jika pun memilik ibu tunggal namun dalam perkembangannya terjadi pecah kongsi yang sadis.

Sebagai gambaran, meski tidak perlu dipercayai secara utuh, namun sebagai tugasnya memberikan gambaran, mitos di mana Sigar Penyalin, Sigar Bunut, Doyan Nede membagi-bagi wilayah Lombok sesuai dengan selera masing-masing. Dalam hal yang ada berbau sejarahnya juga dijumpai di mana setelah Arya Banjar Getas dan Karangasem Bali berhasil menumpas Selaprang dan Pejanggik secara keji, mereka pun membagi-bagi wilayah sesuai selera masing-masing. Akibatnya, tidak hanya terpecah secara geografis, namun bermasalah hingga kini dalam sisi sosiologis dan antropologis.

BACA JUGA:  HUSNI CHOMSKY (Kehilangan yang Selalu Ada)

Apakah pembagian tersebut tidak boleh? Tentu saja untuk keperluan administratif, ia amat membantu. Namun dalam rentang perjalanannya, karena memang sedari awal orang Sasak gagal memahmi fenomena mereka sendiri, akhirnya pembagian tersebut menjadi salah satu cikal bakal runtuhnya Sasak Utuh itu. Semakin diburukkan oleh sistem kebudayaan orang Sasak yang meletakkan doktrin subordinat sebagai salah satu menu sedap, maka jadilah kebatinan antara orang Sasak Timuk, Tengak, Bat, dan Daye itu memang tidak pernah secara sepenuhnya utuh. Ada satu titik di mana mereka menyadari yang mereka ialah Sasak, namun dalam kebanyakan titik, mereka akan terpulang kepada lebih mengutamakan doktrin kampung dan keluarga.

Nah, rupanya orang Sasak ini memang sejak awal disibukkan oleh urusan-urusan pecah belah. Membagi-bagi diri ke blok-blok yang aneh. Diperburuk oleh penjajah lokal dan Belanda yang sudah dari awal memahami kelemahan orang Sasak, menggunakan kelemahan tersebut untuk semakin melemahkan orang Sasak. Karena sudah terbiasa berpecah belah, bahkan organisasi kemasyarakatan yang semestinya membuat mereka kuat, bersatu, menyeru ke arah sama, malah organisasi kemasyarakatan yang ada juga memberikan kontribusi besar dalam orang Sasak semakin mengotak-ngotakkan. Lihat saja, mereka tidak akan pernah berpikir untuk mengedepankan Sasak sebagai bangsa kalau kaki dan pantat mereka sudah ditarik ke organisasi kemasyarakatan tempat mereka bernaung. Mereka akan lupa diri tentang kesasakan untuk mencetuskan perlawanan jika organisasi kemasyarakatan mereka disinggung.

Tokoh organisasi kemasyarakatan yang dipilih sebagai yang utama sedangkan tokoh organisasi kemasyarakatan yang lain sebagai subordinat. Dalam situasi seperti itu, orang Sasak lupa mengurusi kekayaan alam mereka, lalai mengurusi kekayaan air, abai mengurusi kekuatan budaya mereka. Akibatnya, yang semakin berkuasa dan kuat ialah mereka yang memahami sosiologis dan antropologis orang Sasak. Maka jadilah orang Sasak saling mencakar muka sendiri di tengah orang lain yang menguasai ekonomi.

Tengoklah yang terbaru, hanya karena BIL, si benda mati yang bukan milik mereka itu. Narasi yang dibangun amat picik dan kerdil. Tentang Timuk, Tengak, Bat, Lauk. Narasi organisasi kemasyarakatan. Narasi paling ngepean. Narasi paling kanggo. Narasi harga diri kampung. Mereka lupa yang kampung yang dibela mati atas nama kepicikan itu tak lagi menjadi milik mereka. Sudah dimiliki orang lain. Kampung mereka hanya sebatas rumah dan sedikit halaman rumah. Tetapi bergitulah orang Sasak, selalu gagal memahami yang Sasak Utuh sebagai yang utama agar kekayaan alam, kekayaan air, kekuatan budaya mampu membesarkan mereka sebagai bangsa.
Jadi, melihat orang Sasak yang selalu gagal faham yang, akhirnya mereka selalu bernasib fatal itu, saya ingin membangun Sasak saya sendiri. (terserah siapa yang mau ikut. Mau ada yang ikut atau tidak, itu tidak penting). Sasak saya ialah Sasak Saja.