Malam-malam, saya melintasi Jalan Bung Karno Mataram, hendak bertemu kawan di kawasan Monjok, beberapa waktu lalu. Dari jauh saya melihat cahaya kecil namun paling menyolok. Itulah lampu teplok pedagang kacang rebus pikulan yang menggelar dagangan di trotoar pinggir jalan. Ia satu dari segelintir pedagang yang masih bertahan berjualan secara tradisional. Sementara dagangan yang sama sudah lama dijajakan lebih praktis dan modern, berkeliling menggunakan rombong yang ditarik sepeda atau sepeda motor. Tidak memikul lagi.
Hingga akhir 1980-an, pedagang kacang pikulan ada di mana-mana, terutama di pusat-pusat keramaian. Di depan bioskop, terminal, lapangan yang sedang menggelar pertunjukan, atau pagelaran wayang kulit.
Biasanya pedagang-pedagang itu tidak hanya menjual kacang rebus. Ada juga camilan lainnya, misalnya singkong yang direbus bersama kulitnya, melinjo, dan tolang botor (biji kecipir) yang digoreng.
Di tahun 1970-an, kacang dan melinjo rebus tidak ditakar penjual. Para pembeli dipersilakan mengambil sendiri.
Takaran yang berlaku saat itu volume maksimal genggaman tangan orang dewasa. Di Lombok disebut gem atau regem. Membeli seregem atau dua gem kacang harganya Rp 5-10.
Orang-orang Sasak punya beberapa takaran yang merujuk kapasitas genggaman tangan. Selain regem, ada jeput. Volumenya jauh lebih kecil dibanding gem, kapasitasnya maksimal yang bisa diraih ujung lima ruas jari tangan. Padanannya dalam bahasa Indonesia disebut jumput.
Penjual kacang hanya menyiapkan daun pisang untuk membungkus camilan yang sudah ditakar sendiri oleh pembeli.
Di Ampenan, ada seorang lelaki yang paling beruntung setiap membeli kacang rebus. Sebut saja namanya Somad.
Somad beruntung, “Sebab telapak tangannya sangat lebar. Jadi kalau membeli kacang atau melinjo, isi genggamannya sangat banyak,” kenang Hasan Alhabsyi, seorang tokoh di Sukaraja Timur, Ampenan.
Bayangkan, seregem kacang di tangan Somad, bisa setara dengan dua-tiga regem takaran tangan biasa.
Lantaran punya genggaman yang istimewa itu, Somad kerap dimanfaatkan teman-temannya setiap membeli kacang.
Setelah pelabuhan Ampenan secara resmi berhenti beroperasi sejak 1977, aktivitas kota ini berangsur surut. Pedagang-pedagang kacang juga banyak meninggalkan Ampenan, pindah ke titik-titik keramaian di lain tempat.
Ada yang berubah setelah itu. Penjual kacang rebus tak lagi memperbolehkan pembeli mengambil sendiri pesanannya. Urusan menakar kacang atau melinjo rebus diambil alih pedagang. Boleh jadi, penyebabnya, genggaman raksasa Somad itu telah menjadi momok. Atau barangkali bermunculan banyak Somad lain yang bertangan jumbo, yang bisa membuat pedagang kacang tekor.
Malam itu saya berhenti tepat di depan pedagang kacang yang duduk di depan dua bakul besar jualannya itu. Tiba-tiba saya rindu kacang, singkong, dan melinjo rebus, dinikmati bersama segelas kopi kental. (*)