Pemkot Mataram Gempur Rokok Ilegal (Jilid 1)

Pagi-pagi mengitari bundaran Taman Lapangan Lanal Malomba, Ampenan, yang asri serta fenomenal. Radius 100 meter dari arah timur, monumen kendaraan lapis baja (tank) amphibi milik Lanal Mataram yang tampak gagah, mulai menebar daya pikat bagi siapa saja. Aktivitas lalu lintas masih lengang. Motor saya lajukan 20 km perjam, sengaja, biar bisa menikmati suasana dengan seksama. Terutama udara dingin yang merasuk ke pori akibat hujan lebat kemarin petangnya (Rabu 27/10/2021). Seakan membuyarkan siraman matahari pagi yang setia menyapa pagi.

Hilir mudik arus kendaraan di dua jalur: dari arah barat ke timur, demikian sebaliknya, tak henti menebar bising dan polusi. Atau, aktivitas beberapa tenda dan lapak penjaja kuliner yang mulai melayani pelanggannya.

Benar-benar potret rutin di sepanjang jalur ini, demikian saya bergumam pelan. Hening pun merayap sepintas di pikiran saya. Sampai, tak sengaja, sejurus pandanganku bertumpu pada space/media luar ruang berupa baliho kokoh di kawasan lapangan malomba tersebut.

Persisnya di seberang lapangan malomba yang diapit dua gedung megah, Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Bali, NTB & NTT serta kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Perwakilan NTB. Tajuknya sederhana, dibalut ilustrasi genggaman tangan menggebrak, “Gempur Rokok Ilegal!” Demikian si pembawa pesan, yang tak lain pasangan Wali dan Wawali Kota Mataram, H Mohan Roliskana dan Tgh Mujiburrahman, mengimbau.

Entah sudah berapa pasang mata menyimaknya, atau sekedar sekilas mata memandang. Atau, mungkin, menyerap pesan konten itu di kepalanya. Namun, jujur, bagiku, baru kali ini melihat pemimpin pemerintah concern terhadap kasus seperti ini. Atau mungkin, aku sendiri, yang belum banyak tahu keadaan di wilayah lainnya. Kalau imbauan akan bahaya narkoba, bayar pajak bumi dan bangunan (PBB), penerapan protokol kesehatan (3M atau 5 M) dan semacamnya, agaknya, sudah lazim di mana-mana. Mudahan penerjemahanku tidak sempit dalam memahami dinamika daerah ini.

Keberadaan gedung Kanwil DJBC Bali, NTB & NTT, ini terbilang bangunan lama dan cukup representatif karena tidak jauh dari kawasan wisata pantai Kota Tua Ampenan – yang dulunya eks pelabuhan penyeberangan. Beda halnya dengan gedung tetangganya, kantor OJK. Sebelumnya, di atas tanah tersebut berdiri sebuah hotel kota (city hotel) yang populer, bernama “Nitour”. Agaknya pesan kepala daerah Kota Mataram sangat tematik dengan titik ruang baliho tersebut. Bisa iya, bisa tidak. Intinya, saya tercengang atas konteks pesan kepala daerah atas rokok ilegal ini.

BACA JUGA:  Kemiskinan dan Stunting, Satu Tarikan Napas

Setiba di tempat aktivitas – yang kebetulan tak jauh dari lokasi lapangan tersebut, iseng kurambah laman google searching demi menelusuri artikel berkenaan topik rokok ilegal. Walhasil, ratusan bahkan ribuan hasil penelusuran, link news, foto, opini dan semacamnya terunggah. Angle isunya, rata-rata mengecam bahkan mendiskriditkan produk dan pihak produsennya. Artinya, rokok ilegal ini memang musuh laten banyak pihak. Mulai petani tembakau, industri/manufaktur legal, pemerintah terutama, baik kementerian keuangan melalui direktorat bea dan cukai, departemen/dinas/suku dinas kesehatan, dan tentunya konsumen (perokok aktif dan perokok pemula).

Kita mulai menelisik, khususnya dari sektor pendapatan negara dari sektor fiskal/pajak atau cukai tembakau. Negara, menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, dirugikan hingga ratusan triliun rupiah. Estimasi dari berbagai perwakilan bea dan cukai di setiap daerah pun mengurai varian nominal, mulai kisaran belasan hingga ratusan triliun rupiah.

Sri Mulyani, sapaannya, menyatakan, peredaran rokok ilegal di Indonesia terus meningkat pada 2020, silam. Kenaikan peredaran ini dipicu akibat adanya kenaikan tarif cukai rokok yang terlalu tinggi di tahun berkenaan, yaitu sebesar 23 persen.

Melalui laman kompas.com, disebutkan bahwa tercatat kenaikan tingkat peredaran rokok ilegal sebanyak 4,9 persen di sepanjang tahun 2020. Sedangkan jumlah penindakan yang sudah dilakukan mencapai 448 juta batang dengan kerugian negara sebanyak Rp 370 milliar. Fantastis bukan? Kira-kira 17,3 persen dari total utang luar negeri (ULN) kita berdasarkan catatan Bank Indonesia (BI) per Mei 2021, yakni sebesar USD 415 miliar atau Rp 6.017 triliun (asumsi kurs Rp 14.500 per dollar AS).

Padahal, senyatanya, Kemenkeu ingin tingkat peredaran rokok ilegal di Indonesia tidak melampaui ambang batas 3 persen.

“Teman-teman bea cukai menganggap itu adalah instruksi dan target yang agak muskil, tapi saya tetap bertahan untuk menjaga di 3 persen. Dan kelihatan di tahun 2020 dengan kenaikan cukai cukup tinggi, keliahatan tingkat peredaran rokok ilegal naik lagi mendekati ke 4,9 persen,” ujar Sri Mulyani ketika melakukan rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (27/1/2021).

Dia pun menegaskan, kenaikan peredaran rokok ilegal akibat tarif cukai yang tinggi tersebut seharusnya dibarengi dengan penegakan hukum yang lebih ketat. “Trade off ini yang akan kita lihat maupun dimensi-dimensi lain,” jelas Sri Mulyani.

BACA JUGA:  Stabilkan Harga, Pemkot Mataram Gelar Pasar Murah

Menurut Sri Mulyani, dengan kian ketatnya pengawasan dan penindakan terhadap cukai hasil tembaku, modus pelanggaran dengan pita cukai palsu terus menurun. Untuk itu, pemerintah pun akan mencoba mempertahankan kinerja penindakan.

Kemenkeu akan terus mewaspadai peredaran rokok ilegal lantaran harga rokok akan terus naik sehingga memberikan insentif terhadap pemalsuan cukai maupun rokok ilegal.

“Modus pelanggaran yang dilekati pita cukai palsu sudah mulai menurun, dan pelanggaran hasil tembakau dengan modus yang dilekati pita cukai palsu ini adalah sebesar 0,36 persen dari total peredaran rokok di Indonesia,” ujar Sri Mulyani.

“Ini bagus, dan kita akan coba tetap pertahankan meskipun harga rokok terus dinaikkan yang menyebabkan orang akan punya insentif untuk terus melakukan pemalsuan cukai maupun pemalsuan rokok ilegal,” lanjut dia.

Kabut Nikotin Pengguncang Ekonomi Nasional

Langkah yang ditempuh pihak Kemenkeu saat ini dengan berupaya terus mengawasi peredaran rokok ilegal lantaran harga rokok dipastikan akan terus naik.

Sementara, di tempat lain, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Aceh bekerja sama dengan Kejaksaan Negeri Aceh Utara dalam memusnahkan 10,2 juta batang rokok ilegal. Melansir dari antara.com, Selasa (9/3/2021), jutaan batang rokok ilegal yang dimusnahkan itu ditaksir mencapai Rp 10,3 miliar. Dengan akumulasi potensi kerugian negara dari upaya penyelundupan rokok ilegal tersebut dari sektor perpajakan ditaksir mencapai Rp 11,7 miliar.

Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI, dalam laman opininya memuat kegelisahan pihaknya atas maraknya peredaran asap nikotin dari industri haram ini. Menurutnya, dalam hal tembakau, secara keseluruhan Indonesia merupakan negara yang mengantongi masalah paling serius di dunia. Baik dalam konteks jumlah perokok aktif, perokok pemula, kebijakan cukai, tata niaga, periklanan dan promosi, plus permasalahan petani tembakau.

Saat ini lebih dari 32 persen dari total populasi Indonesia adalah perokok aktif. Jadi kalau saat ini kisaran penduduk Indonesia adalah 260 jutaan, maka jumlah perokok aktifnya tidak kurang dari 78 juta. Jika dielaborasi lebih dalam, maka, misalnya dua dari tiga laki-laki dewasa di Indonesia adalah perokok aktif. Dari sisi jumlah perokok anak dan remaja, lebih miris lagi, sebab tingkat prevalensi merokok di kalangan remaja dan anak mencapai lebih dari 8 persen.

BACA JUGA:  Bunda Kikin Minta Bunda PAUD Kecamatan-Kelurahan Segera Bentuk Pokja

Ironisnya, instrumen untuk mengendalikan konsumsi rokok jauh dari memadai. Terbukti, iklan dan promosi rokok masih bergentayangan di semua lini.

Malah sekarang iklan rokok di ranah digital, sangat masif. Dari sisi penjualan, rokok dipasarkan bak memasarkan permen dan tempe mendoan saja.

Bahkan mirisnya lagi, rokok boleh dijual secara ketengan (dijual per batang). Hal yang tak lazim sebagai produk yang dikenai cukai.

Implementasi peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok (untuk melindungi konsumen, calon konsumen) atau Kawasan Tanpa Rokok untuk masyarakat nonperokok, terbukti tidak efektif, bahkan malah mandul.

Maka, upaya pemerintah untuk mengamendemen (merevisi) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 102/2012 tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan, patut diapresiasi dan didukung. Upaya untuk meregulasi sejatinya sudah sangat kuat, dimandatkan via Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18/2020 tentang RPJMN 2020-2024. Tragisnya, hingga dua tahun setelah perpres tersebut diterbitkan, upaya amendemen PP 109/2012 mangkrak tak jelas juntrungannya. Menteri Kesehatan (Menkes) waktu itu, Terawan Putranto, sangat kaku dan antipati terhadap desakan publik atas amendemen dimaksud. Kini Menkes Budi Gunawan Sadikin (BGS) tampak ada spirit baru untuk melanjutkan upaya amendemen PP 109/2012. Tentu hal ini merupakan tengara positif dari sisi pengendalian tembakau (tobacco control) di Indonesia. Spirit Menkes BGS untuk mengamendemen PP 109/2012 lagi-lagi patut didukung dan diapresiasi.

Di Purwokerto, Jawa Tengah, kerugian negara akibat peredaran rokok mencapai Rp13 triliun lebih. Demikian disampaikan Erwan Saipun Kholik, Kasi Kepatuhan Internal dan Penyuluhan kantor Bea Cukai Purwokerto saat memberikan sosialisasi Gempur Rokok Ilegal di Gedung Andrawina kompleks Hotel Owabong, Purbalingga.

Dikutip dari situs Gatra.com, Erwan mengatakan, pemasukan negara berada di angka Rp 173,4 triliun, baik cukai rokok yang beredar secara resmi atau legal. Menurutnya, penerimaan tersebut akan dikembalikan kepada daerah 2 persen untuk berbagai hal yang maslahat sehingga ketika ada peredaran rokok ilegal yang tidak membayar pajak maka penerimaan akan berkurang.

Mengonsumsi rokok ilegal memang tidak berdampak langsung pada penerimaan negara yang akan dikembalikan kepada masyarakat. Meski, sejatinya, dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) itu dapat mendanai berbagai macam sektor seperti kesejahteraan masyarakat, penegakan hukum dan kesehatan. (*)