De Jangkok-Brug Ampenan

MATARAMRADIO.COM, Mataram – Setiap melewati jembatan Ampenan, Abah Hasan terkenang kenakalannya semasa kecil. Awal tahun 1970an, jembatan di atas Sungai Jangkok itu masih belum diperlebar. Dulu hanya cukup untuk satu kendaraan roda empat lewat. Sehingga kendaraan yang berlawanan arah mesti antre di ujung jembatan.

Saat itu, tuturnya, air Sungai Jangkok sering meluap bahkan melampaui jembatan. Ini terjadi terutama ketika di puncak musim hujan. “Batang-batang pohon tersangkut di bibir jembatan. Ini yang membuat air sungai meluber, bikin kampung banjir,” jelas guru matematika yang tinggal di Lingkungan Sukaraja Timur, Ampenan Tengah ini.

Kawasan yang paling parah dilanda banjir kiriman adalah Kampung Sukaraja, wilayah yang paling berdekatan dengan Sungai Jangkok. Banjir bahkan kerap sampai menjangkau atap-atap rumah warga. “Setiap banjir besar itu, para aparat turun. Bahkan sampai ada yang menembakkan senjata ke udara, agar warga segera mengungsi,” tuturnya, dan menyebut Pelembak, di utara Sukaraja, adalah tempat evakuasi korban banjir.

BACA JUGA:  Koeli Ampenan 1931

Hasan kecil menunggu air sedikit surut. Lalu ia berjalan agak ke hulu, di wilayah Kebon Kopi. Ia mencari batang pohon pisang yang dihanyutkan banjir. Batang didorongnya ke tengah sungai, lalu ia menaikinya. Derasnya arus menyeret batang pisang yang dijadikan pelampung itu meluncur cepat. Permainan ekstrem, namun membuatnya sangat girang. Orang-orang yang melihatnya berseru-seru panik. Mereka sangat khawatir melihat seorang anak diseret banjir yang belum reda. “Bahkan ada yang memaki-maki. Tapi saya tidak peduli,” ujarnya.

Batang itu terus melaju, melewati kolong jembatan Ampenan, mengarah ke muara. Tapi beberapa meter dari jembatan, batang pisang memotong sungai, menepi di Kampung Banjar. Hasan kembali ke Kebon Kopi, mengulang lagi keasyikannya itu, demikian sampai berkali-kali.

Perkara banjir bandang di Ampenan bukan cerita baru.

Minggu sore, 14 Oktober 1894, atau sekitar tiga minggu menjelang pasukan Belanda menembakkan meriam yang menghancurkan istana Raja Karangasem di Cakranegara, terjadi banjir besar di Ampenan. Satu batalion pasukan infanteri, satu kompi pasukan altileri, satu divisi pendaratan, dan 800 orang pekerja paksa yang baru kembali dari Mataram, tak dapat menyeberangi Sungai Jangkok. Air yang sangat tinggi dan deras, menghancurkan jembatan kayu, satu-satunya fasilitas yang menghubungkan Mataram dengan Ampenan. “Pasukan tidak dapat mencapai Ampenan karena air yang tinggi sehingga harus bermalam di persawahan di Kampung Kapitan,” tulis harian Java Bode, koran berbahasa Belanda, terbitan 17 Oktober 1894.

BACA JUGA:  Ampenan 1924 (1)

Lantaran begitu pentingnya sarana jembatan, tugas akhirnya bertambah, tak hanya urusan perang. Seminggu kemudian material tiba. Jembatan darurat namun berangka besi selesai dalam waktu 8 hari. Selain itu, fasilitas untuk menyeberangi Sungai Jangkok dilengkapi perahu-perahu kano.

Jembatan permanen di Ampenan baru mulai dibangun di awal 1898. Koran De locomotief 1 April 1898 merilis informasi tentang mulainya pembangunan jembatan di atas Sungai Jangkok itu. “Pilar-pilar lama diganti dengan yang baru, dibor dengan kedalaman empat meter masuk ke tanah. Bukan satu meter seperti jembatan yang lama,” tulis De locomotief.

BACA JUGA:  Perang Bali vs Lombok, yang Berkuasa Malah Belanda

Jembatan itu masih belum rampung, ketika pada sore hari 30 November 1898, tiba-tiba terjadi banjir yang sangat dahsyat.

Kabar datangnya bah itu dilaporkan surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad, 12 Desember 1898. Disebutkan, sejumlah kampung di Ampenan terendam air. Dan, dua pilar penyangga jembatan di atas Sungai Jangkok remuk dihantam pohon-pohon yang berdatangan dari arah hulu. “Segala upaya dilakukan untuk mencoba mempertahankan jembatan itu. Untungnya masih bisa diselamatkan,” demikian Bataviaasch Nieuwsblad.

Jembatan yang menelan biaya ƒ 75.000 itu masih bertahan hingga sekarang. Usianya telah lebih dari 120 tahun. Tetap kokoh. Tetap ramah, tetap setia. Melayani orang-orang yang bergegas melintas di atasnya, yang kemudian melupakannya. (Buyung Sutan Muhlis)