Belanda menangguk keuntungan besar dari pertikaian antara Bali-Mataram dengan orang-orang Sasak di Lombok.
Sekitar 8 ribu prajurit bergerak menuju Praya, Lombok Tengah, pada 25 Agustus 1891. Mereka para serdadu dari Bali yang ditugaskan di Mataram. Kala itu, wilayah Mataram – yang kini menjadi ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) – telah diduduki orang-orang Bali dari Kerajaan Karangasem.
Misi yang diusung ribuan tentara Bali-Mataram ke Praya adalah memadamkan perlawanan yang dikobarkan orang-orang Sasak. Praya merupakan wilayah milik Kerajaan Selaparang yang saat itu sudah memeluk Islam, demikian pula dengan sebagian besar orang Suku Sasak di sana.
Hingga akhirnya, terjadilah peperangan antara Bali-Mataram dengan orang-orang Sasak dan Kerajaan Selaparang di Lombok. Perseteruan berlangsung hingga 1894, diwarnai campur-tangan Belanda yang memang sudah sejak lama ingin menaklukkan Bali dan pulau-pulau di sekitarnya.
Perlawanan Muslim-Sasak
Orang-orang muslim-Sasak sebenarnya telah beberapa kali melakukan perlawanan terhadap Mataram yang dipimpin Anak Agung Gde Ngurah dari Karangasem (Keat Gin Ooi, Southeast Asia: A Historical Encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor, hal. 790). Pemerintahan orang-orang Bali di Mataram berpusat di Cakranegara.
Sebelum 1891 itu, terjadi dua kali upaya perlawanan Suku Sasak untuk menggoyang kemapanan pemerintahan Bali di Mataram yakni pada 1855 dan 1871 (Lesley Reader & Lucy Ridout, Bali and Lombok, 2002:494). Orang-orang Sasak yang merupakan suku asli di Lombok merasa ditindas penguasa dari dari Bali.
Orang Sasak di Lombok sudah memeluk Islam sejak abad 15. Islam diperkirakan dibawa orang Jawa tak lama setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit. Memasuki abad 16, pengaruh Islam kian kuat seiring kedatangan orang-orang dari Sulawesi Selatan yang menjadikan Selaparang sebagai kerajaan Islam (Ide Anak Agung Gde Agung, Bali pada Abad XIX, 1989:103).
Pada pertengahan abad ke-17, datanglah serombongan orang dari pulau tetangga, yakni dari Kerajaan Karangasem. Mereka berhasil mengalahkan orang-orang Sulawesi Selatan yang bermukim di Lombok, termasuk di Mataram. Pada 1740, Mataram berhasil diduduki oleh orang-orang Bali yang lalu mendirikan pemerintahan di wilayah itu.
Erni Budiwanti (2000:9) dalam buku berjudul Islam Sasak: Wetu Telu versus Waktu Lima menyebutkan bahwa pemerintahan orang-orang Bali di Mataram sebenarnya sudah memperlihatkan kearifan dan toleransi yang besar terhadap penduduk lokal. Mereka membiarkan penduduk setempat tetap memeluk dan mempraktikkan ajaran Islam.
Akan tetapi, orang-orang Sasak tetap merasa tidak puas. Sebelum terjadi perang besar yang dimulai pada 1891 itu, mereka sempat beberapa kali melancarkan perlawanan walau masih dalam skala kecil.
Salah satu penyebab utama perlawanan orang-orang Sasak adalah karena penguasa Bali-Mataram memobilisasi mereka untuk menyerang Kerajaan Klungkung di Bali. Orang-orang Bali yang berkedudukan di Mataram rupanya berambisi ingin memperluas dan memperkuat pengaruhnya di Pulau Dewata, dan itu dapat diwujudkan jika Klungkung bisa dikalahkan (Djoko Dwinanto, Bara Api di Tanah Lombok, 2001:47).
Belanda Masuk Gelanggang
Pasukan Bali-Mataram ternyata mengalami kesulitan untuk memadamkan perlawanan orang-orang Sasak pada 1891. Mengerahkan 8 ribu prajurit dirasa belum cukup sehingga dikirimkanlah pasukan tambahan dalam dua gelombang. Masing-masing berkekuatan 3 ribu dan 1.200 tentara terlatih (Pieter ter Keurs, Colonial Collections Revisited, 2007:190).
Setidaknya selama 2 tahun lebih sejak serangan pertama, orang-orang Sasak masih mampu merepotkan pasukan Bali-Mataram. Namun, memasuki 1894, posisi mereka mulai terdesak karena Bali-Mataram punya perlengkapan perang yang lebih canggih. Dalam situasi sulit itu, orang-orang muslim-Sasak terpaksa meminta bantuan Belanda. Mereka mengirim utusan guna meminta bantuan pada 20 Februari 1894.
Belanda sendiri sudah lama terlibat masalah dengan kerajaan-kerajaan lokal di Bali, terutama dalam urusan hukum tawan-karang. Belanda juga melihat potensi besar untuk mengalahkan Bali. Awalnya, misi utamanya memang bukan untuk menduduki pulau itu karena situasinya terlalu rumit. Belanda hanya ingin mengikat Bali agar tidak dikuasai bangsa Barat lainnya (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 2008:294).
Salah satu hal yang membuat Belanda cemas adalah Inggris. Beberapa kerajaan lokal di Bali diketahui telah menjalin relasi dagang dengan Inggris yang kemudian berhasil dihentikan Belanda pada 1843 (Sartono Kartodirjo, Sejarah Perlawanan-perlawanan Terhadap Kolonialisme, 1973:208). Belanda saat itu bisa memaksakan perjanjian dengan sejumlah kerajaan di Bali meskipun nantinya hubungan mereka renggang lagi.
Permohonan bantuan dari orang-orang Sasak pada 1894 memberi kans bagi Belanda untuk memasuki gelanggang perang. Situasi ini sebenarnya menguntungkan Belanda karena ada peluang untuk tidak sekadar menundukkan pasukan Mataram yang berafiliasi langsung dengan kekuatan utama di Bali, melainkan juga menguasai wilayah Bali dan Lombok sekaligus.
Mula-mula, Belanda tidak menyerang Bali-Mataram yang sedang bersengketa dengan orang-orang Sasak di Lombok secara langsung. Taktik awal yang dilakukan adalah mengganggu alur impor senjata dari Singapura dengan tujuan agar kekuatan lawan melemah. Senjata dan perlengkapan perang inilah yang membuat armada militer Bali-Mataram lebih unggul dari pasukan Sasak.
Belanda memblokade pantai sehingga Bali-Mataram tidak bisa lagi mendatangkan senjata dan perlengkapan perang lainnya (Anthony Reid, The Last Stand of Asian Autonomies, Responses to Modernity in the Diverse States of Southeast Asia and Korea, 1750-1900, 1997:406). Taktik ini sekaligus memutus komunikasi dengan pusat mereka di Bali, yakni Kerajaan Karangasem.
Belanda Memenangkan Perang
Kendati diblokade selama beberapa bulan, Bali-Mataram tidak mudah menyerah. Belanda pun hilang kesabaran dan mempersiapkan armada tempur untuk menyerbu Lombok. Pada 11 Juli 1894, Belanda akhirnya mengirimkan ekspedisi militer yang dipimpin Mayor Jenderal Petrus van Ham.
Belanda tak main-main. Dari Batavia, tiga kapal perang dikirimkan menuju Lombok, yakni Prins Hendrik, Koningin Emma, dan Tromp. Ketiga kapal itu mengangkut ribuan pasukan, terdiri dari 107 orang perwira, 1.320 tentara Eropa, 948 tentara pribumi, ditambah 386 ekor kuda (Wouter Cool, With the Dutch in the East: An Outline of the Military Operations in Lombock 1894, 2006:305).
Timpangnya kekuatan membuat kubu Bali-Mataram tidak mau meladeni Belanda secara frontal. Strategi yang diterapkan adalah menghindari pertempuran terbuka. Pada 25 Agustus 1894, pasukan Bali-Mataram melakukan penyergapan ke kamp militer Belanda. Penyerangan mendadak ini cukup berhasil, lebih dari 500 orang dari pihak Belanda tewas, termasuk Mayor Jenderal Petrus van Ham.
Belanda yang kehilangan hampir separuh kekuatannya tidak langsung membalas. Dengan sabar mereka bertahan di pesisir sambil menunggu bala bantuan datang dari Batavia. Pasukan bantuan pun tiba di bawah komando Mayor Jenderal Jacobus Augustinus Vetter. Kali ini, lebih dari 1.000 tentara disertakan, ditambah berbagai persenjataan mutakhir termasuk puluhan meriam.
Pada 8 November 1894, dengan perencanaan yang matang, Belanda menyerbu pusat pemerintahan Bali-Mataram di Cakranegara. Meriam-meriam ditembakkan yang membuat Istana Cakranegara hancur-lebur. Korban berjatuhan, sekitar 2 ribu orang dari pihak Bali-Mataram tewas, sedangkan Belanda hanya kehilangan 166 orang (J. Stephen Lansing, Priests and Programmers: Technologies of Power in the Engineered Landscape of Bali, 2009:20).
Bali-Lombok Akhirnya Takluk
Setelah Cakranegara jatuh, Belanda segera mengalihkan sasaran ke Kerajaan Karangasem di Bali. Butuh waktu selama tiga pekan untuk menaklukkan kerajaan itu. Menjelang akhir November 1894, Karangasem pun dikuasai. Ribuan orang Bali tewas, sebagian di antaranya ditahan, namun banyak pula yang memilih melakukan puputan, menggelar perlawanan sampai mati.
Ini merupakan kemenangan besar bagi Belanda. Hampir semua aset kekayaan di Lombok dirampas, termasuk 230 kilogram emas, 7 ribu kilogram perak, juga berbagai macam perhiasan dalam jumlah besar (Keurs, 2007:190). Namun yang lebih penting, Belanda berhasil menguasai wilayah Lombok sekaligus menaklukkan Kerajaan Karangasem.
Sejak saat itu hingga memasuki abad ke-20, satu per satu kerajaan di Bali dikuasai Belanda. Setelah Karangasem, menyusul Bangli, Gianyar, Tabanan, dan Klungkung. Sedangkan Buleleng dan Jembrana sudah terlebih dulu ditundukkan (Supratikno Raharjo & Agus Aris Munandar, Sejarah Kebudayaan Bali, 1998:44). Kekuasaan Belanda di Bali dan Lombok baru berakhir seiring masuknya Jepang ke Indonesia pada 1942.