Perkembangan zaman mempengaruhi pola hidup masyarakat termasuk warga Dayan Gunung dengan Polong Rentennya. Walau kondisi saat ini Polong Renten masih hidup di tengah masyarakat, namun nilai- nilai persaudaraan tersebut bila tidak dipelihara dengan baik bisa memudar.
Tokoh masyarakat Hindu Lombok Utara, Gede Kedeh mengaku peran tokoh masyarakat dan orang tua sangat dominan dalam menurunkan nilai-nilai luhur khususnya Polong Renten. Bila orang tua tidak lagi peduli, maka nilai persaudaraan itu tidak mustahil akan memudar. “Saat ini bila ada perselisihan di antara anak muda, cukup orang tua bilang, kita ini saudara. Maka perselisihan itu terselesaikan dengan sendirinya,” katanya.
Hal krusial yang perlu dilakukan untuk merawat nilai-nilai Polong Renten di masyarakat yang berbeda agama dan karakteristik, menurut Datu Artadi adalah keteladan dari para orang tua juga para pemimpin agar nilai persaudaraaan bisa tetap mengakar di kehidupan masyarakat. Yang tak kalah pentingnya, bagaimana menanamkan nilai-nilai Polong Renten kepada generasi muda. “Lewat pelajaran muatan lokal di sekolah, bisa menjadi satu alternatif meruwat (memelihara,red) Polong Renten,” katanya.
Aktivitas Anak-anak di Vihara Tebango KLU Penulis Dedi Suhadi di depan Candi Suradipati Tebango Romo Mutawedi, Ketua Majelis Budhayana Indonesia (MBI) NTB
Karenanya, Datu Artadi meminta kepada Pemerintah Kabupaten Lombok Utara khususnya Dinas Pendidikan agar memasukkan kurikulum muatan lokal yang betul-betul bersumber dari kehidupan nyata masyarakat Lombok Utara. “Betul ada muatan lokal yang bersumber dari kehidupan masyarakat Lombok tapi tiap daerah memiliki perbedaan karakter. Siswa di Lombok Utara ya harus diajarkan filsafat hidup masyarakat Lombok utara sesuai karakternya,” jelasnya.
Kepala Dusun Tebango Bolot Jeliman Ireng Desa Pemenang Timur, Romo Juliadi dengan tegas menyatakan warga Tebango Bolot harus belajar adat istiadat di Tebango Bolot, apalagi Dusun Tebango Bolot sudah masuk dalam Desa Adat. Artinya, tatanan kehidupan di Dusun Tebango Bolot Jeliman Ireng didasarkan pada aturan adat selain tata aturan pemerintah dan agama. “Warga Jeliman Ireng harus paham dengan adat budayanya dan bagaimana menjaga adat tersebut tetap lestari,” katanya.
Untuk memberikan pemahaman nilai-nilai adat atau kearifan lokal yang diajarkan para leluhur, jelas Juli, pihaknya terus berkomunikasi dan berdiskusi dengan pihak lain yang memahami adat istiadat di Tebango Bolot termasuk menggali catatan leluhur baik berupa cerita atau tulisan seperti tercantum dalam piagam Menggala. “Dari sana (piagam Menggala) ternyata orang Tebango, Pemenang bersaudara dengan orang Menggala dan warga Lombok Utara semuanya. Bagaimana menjaga nilai persaudaraan yang termuat dalam filsafat hidup Polong Renten, ini yang terus kami lakukan,” katanya.
Jeliman Ireng atau Delima Hitam. Dari atas Dusun Tebango Bolot, tiga gili terlihat. Kadus Tebango Bolot Jeliman Ireng, Romo Juliadi di situs pencurian Telaga Emas Tebango.
Wakil Bupati Lombok Utara, Danny Karter Febrianto melihat semangat Mempolong Merenten yang menjadi akar kehidupan dan filsafat hidup masyarakat Lombok Utara hendaknya terus dikaji sehingga bisa terus hidup di masa kini. Dengan beragam karakter dan agama, tentu semangat Mempolong Merenten akan menjadi kekuatan luar biasa dalam pembinaan masyarakat. “Ini yang terus dikaji bersama tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh budaya serta lainnya agar semangat mempolong Merenten terus hidup dan menjadi akar kehidupan masyarakat Lombok Utara,” jelas Wabup. (Tamat)
Foto Utama : Pemaliq Bale Atas Desa Menggala, Lombok Utara I Dedi Suhadi
Tulisan ini adalah bagian terakhir dari 4 tulisan yang merupakan bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerjasama dengan Norwegian Embassy untuk Indonesia.