Ampenan 1924 (2)

Ada yang tersimpan di balik penampilan yang nampak tak terurus. Di dalam tubuh-tubuh yang sebagian besar lebih sering tak berbaju — laki-laki maupun perempuan.

Di warung es Encik Banjarmasin — ia menyebutnya eigenaar — jurnalis itu banyak mendapat informasi tentang Ampenan dan keadaan penduduknya. Para pribumi demikian benci pada orang-orang asing, khususnya bangsa kulit putih. Kebencian yang diperdengarkan dengan caci-maki dalam bahasa lokal.

Di pelabuhan Ampenan, setiap melihat kapal Belanda bertolak, para tukang sampan selalu berseru, “Tenggelamkan, telanlah orang-orang kulit putih itu!”

Dendam yang berakar, menahun. Muncul dari kesadaran pribumi yang telah lama tertindas, yang menjadi kuli di negeri sendiri. Tetapi kesumat yang menyala itu hanya tersampaikan pada laut. Berharap terlampiaskan pada kegarangan gelombang dan ombak pantai Ampenan.

“Bangsa asli di sini tabiatnya sabar, tetapi separuh karena fanatiknya (kepada agama), mereka membenci bangsa asing terutama bangsa putih (Eropa). Karena kesabaran yang sudah menjadi adat, ini dimanfaatkan kaum pertuanan dan manduran (para mandor). Mereka main keras dan sewenang-wenang dengan tak ada halangan. Bukti-bukti ini saya lihat di sepanjang jalan,” tutur WRS.

BACA JUGA:  Listrik Masa Depan Kehidupan Manusia

Beras Ampenan yang masyhur

Perjalanan menuju ke tempat itu tak sampai satu jam menggunakan auto (mobil). Sewanya f 30 pergi-pulang.

Jika dikurskan dengan nilai mata uang sekarang, tarif rent car di masa itu sekitar Rp 3 juta (f 1 = Rp 100 ribu). Hanya menempuh jarak tak sampai 15 kilometer.

WRS yang tertarik untuk segera berkunjung, berembuk dengan dua kawannya. Sayangnya pelajar-pelajar itu tak membawa uang. “Saya juga berpikir bahwa uang f 30 amat sayang digunakan untuk pelesir yang hanya sebentar saja,” katanya.

Alternatif lain ditemukan, setelah mendapat informasi di Ampenan ada tempat penyewaan sepeda. Pemiliknya orang Cina yang tinggal di pecinan. Sama dengan kendaraan roda empat, sewa sepeda juga dihitung per jam. Akhirnya tamasya terlaksana, dengan menyewa masing-masing sebuah sepeda yang bertarif 10 sen per jam.

BACA JUGA:  Perang Bali vs Lombok, yang Berkuasa Malah Belanda

Tiga sepeda dikayuh lambat-lambat, menyusuri jalan raya Ampenan yang tak seberapa lebar. Setelah jembatan terlewati, jalanan agak menanjak. Di salah satu sisinya berderet rumah-rumah permanen yang nampak baru saja dibangun. “Sekarang saya baru tahu bahwa di Ampenan banyak juga bangsa Belanda. Mereka ini kebanyakan para bekas anggota militer,” katanya.

Selebihnya adalah sawah dan tanah lapang yang sangat luas, hijau membentang.

Menurutnya, hutan-hutan dan lanskap-lanskap di sepanjang sisi jalan adalah pemandangan yang sangat menarik. Tak salah jika Bangsa Eropa, Australia, dan Amerika, memuji-muji tanah Hindia.

Pulau Lombok selain indah, tanahnya juga subur. Menyaksikan betapa luasnya persawahan itu, sekaligus jawaban baginya mengapa beras Ampenan begitu masyhur di mana-mana. Beras Ampenan juga dikonsumsi para pribumi dan orang-orang asing di pulau-pulau lain. “Siapakah penduduk Celebes yang tak mengenal beras Ampenan? Senanglah hati saya melihat bangsa saya, orang-orang Hindia, bisa mengusahakan bahan makanan bagi kita. Bahwa para petani di Ampenan itu sangat rajin, sehingga kita harus menghargai jasa mereka,” puji WRS.

BACA JUGA:  Kawasan Kaldera Gunung Purba

Ia bahkan lebih menghargai dan mengagumi jerih-payah petani Ampenan daripada ilmuwan Belanda yang menciptakan meriam 42 cm. Atau doktor Amerika penemu 52 zat beracun yang digunakan sebagai senjata biologi dalam peperangan-peperangan.

Kira-kira setengah jam mengayuh, ketiganya sampai di sebuah pasar. Tak ada nampak orang-orang asing di situ. Mereka mampir untuk menikmati sup ayam. Kampung-kampung di sekitar pasar tak beda dengan keadaan di Ampenan: kumuh. (Buyung Sutan Muhlis/bersambung)