Polong Renten Mengurai Pernikahan Beda Agama

Kuatnya tali persaudaraan di masyarakat Dayan Gunung  mampu melepaskan sekat keagamaan dalam tata kehidupan masyarakat. Karenanya, tak jarang di masyarakat yang menganut filsafat hidup Polong Renten atau Mempolong Merenten ini sering terjadi pernikahan beda agama.

Jika dulu, perkawinan beda agama sudah menjadi hal lumrah dan  tak pernah menimbulkan masalah, semua bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Namun, untuk saat ini pernikahan beda agama bisa menimbulkan riak yang bisa membesar bila tidak segera diselesaikan. Sebabnya, bermacam -macam. 

Dari catatan TGH Lalu Mucshin Effendi dalam jurnal Qawwam volume 9 No I tahun 2015  terbitan Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram, disebutkan perkawinan beda agama dapat menimbulkan gesekan sosial yang dapat mengkristal menjadi benih-benih konflik di tengah masyarakat. Perkawinan beda agama antar dua orang tidak jarang menimbulkan gangguan dalam hubungan dengan komunitas agama yang lebih luas…………..masalah yang timbul dari perkawinan beda agama terkait dengan sensitifitas, sentimen dan harga diri yang berhubungan dengan jati diri kelompok……pada kasus tertentu, pertikaan melibatkan komunitas dalam skala yang lebih besar diluar keluarga inti pasangan yang berbeda agama.

BACA JUGA:  Polong Renten: Perisai Kebhinekaan Lombok Utara

Untuk menghindari pertikaian antar umat beragama akibat pernikahan beda agama, Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) kecamatan Pemenang membuat kesepakatan yang ditandatangani pada 19 September 2013, yang isinya, jika pernikahan beda agama terjadi, maka paling lambat 2 x 24 jam harus melaporkan diri ke Kepala Dusun/Kepala Desa/ Camat baik secara lisan maupun tertulis. Kemudian Kepala Dusun calon mempelai laki-laki 1 x 24 jam  harus melaporkan atau menyampaikan kepada Kepala Dusun calon mempelai wanita.

Selanjutnya, jika pra pernikahan beda agama terjadi, sementara orang tua/ahli waris dari salah satu calon mempelai tidak setuju, maka perkawinan harus ditunda sementara waktu setelah melalui proses mediasi yang dilakukan oleh Kepala Dusun, Kepala Desa, Camat, Polsek, KUA, Toga dan Toma dilaksanakan minimal sekali dan maksimal tiga kali pertemuan. Selama proses mediasi, calon mempelai wanita ditempatkan di tempat yang netral (rumah Kadus/ rumah Kades/Camat/Polsek).

Selama proses mediasi, orang tua/ahli waris calon mempelai wanita diberikan kesempatan untuk memberikan nasehat, pembinaan dan pengawasan.

BACA JUGA:  Strategi Calon Kepala Daerah Pada Pilkada Serentak 2024

Apabila setelah proses mediasi terakhir, calon mempelai laki-laki/wanita tetap pada pilihannya untuk mengikuti agama calon mempelai laki-laki/wanita atau calon wanita melarikan diri ke rumah pihak calon mempelai laki-laki, maka orang tua/ahli waris calon mempelai wanita membuat surat pernyataan tidak keberatan dengan mengetahui dari lembaga pemerintah (desa/camat/polsek), maka dengan demikian proses pernikahan dapat dilanjutkan. “Dengan adanya kesepakatan bersama diharapkan tidak ada lagi masalah yang ditimbulkan dari adanya pernikahan beda agama,” jelas ketua FKUB kecamatan Pemenang, TGH Lalu Muchsin yang diamini Metawadi dan Nengah Karuna.

Bahkan menurut Mucshin, saat ini ada tim yang mengkaji secara khusus agar kesepakatan bersama tentang penyelesaian pernikahan beda agama bisa memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi, entah perbup atau perda, “Saat ini masih dalam kajian ilmiah,” terangnya.

Wakil Bupati KLU Danny Karter Febrianto meninjau Musholla Sekar Pancing Tebango yang dibangun oleh Ummat Islam, Budha dan Hindu setempat.I foto: Dedi Suhadi

Keinginan agar kesepakatan bersama soal penyelesaian pernikahan beda agama memilki kekuatan hukum yang lebih tinggi didukung Mangku Dusun Tebango Ideq, Suterasim.

Menurutnya, dengan adanya aturan hukum yang pasti, persoalan pernikahan beda agama bisa cepat diselesaikan. “Bagus itu, saya dukung,”katanya.

BACA JUGA:  Sah! NTB-NTT Tuan Rumah PON 2028

Keinginan FKUB agar kesepakatan bersama soal penyelesaian pernikahan beda agama memilki kekuatan hukum yang lebih tinggi, menurut Ketua Komisi I DPRD Lombok Utara, Fajar Marta perlu kajian lebih dalam. “Perlu ada pemahaman bersama semua unsur masyarakat,” jelasnya.

Hal ini diamini Wakil Bupati Lombok Utara, Danny Karter Febrianto. Menurutnya, untuk merumuskan suatu aturan harus ada kajian khusus apalagi ini menyangkut peraturan pernikahan beda agama. “Ini akan menjadi kajian dengan meminta masukan semua pihak,” katanya.

Namun Fajar mengingatkan, penyelesaan pernikahan beda agama   di beberapa kecamatan di Lombok Utara biasanya diselesaikan di tingkat desa atau kecamatan. “Waktu saya jadi kepala desa, ada Majelis Krama Desa (MKD) yang menyelesaikan persoalan yang muncul di tingkat desa. Dan  saat ini, semua desa di Kabupaten Lombok Utara sudah ada MKD nya,” jelasnya. (bersambung)

Foto utama: Vihara Jaya Wijaya Satta Bojangga Lombok Utara I Dedi Suhadi

 ****Tulisan Ketiga dari 4 tulisan yang merupakan  bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerjasama dengan Norwegian Embassy untuk Indonesia.

>