Kawasan Kaldera Gunung Purba

Setelah hampir diserang kawanan monyet di kawasan Pusuk Sembalun yang berkabut tebal, kami meneruskan perjalanan. Kami tiba di Sembalun hampir maghrib, Rabu kemarin. Hujan cukup lebat mengguyur mulai Sembalun Bumbung.

Ini kunjungan saya yang ke empat kalinya. Pertama di tahun 1987, ketika jalan utama dari Sembalun Lawang hingga Sembalun Bumbung belum beraspal. Saya sangat kesulitan berkomunikasi dengan masyarakat setempat ketika itu. Bahasa yang mereka gunakan varian bahasa Sasak yang tidak saya pahami. Sementara mereka yang bisa berbahasa Indonesia bisa dihitung dengan jari.

BACA JUGA:  Guru Sekolah Tionghoa Pertama di Ampenan

Oleh: Buyung Sutan Muhlis

Kedatangan ke dua kalinya di tahun 1993. Cukup banyak perubahan. Di depan rumah-rumah warga di kedua desa bertengger antena parabola. Saya diundang pesta pernikahan sekaligus sunatan di Sembalun Bumbung. Tamu undangan datang tiga kali bolak-balik, sejak pagi. Pertama menikmati hidangan nasi putih dengan bermacam lauk. Dua jam kemudian hidangan dengan menu utama nasi kuning. Terakhir, menjelang zhuhur, menunya nasi merah. Pulangnya, masing-masing undangan diberikan bingkisan berisi kain batik dan sejumlah uang.

BACA JUGA:  Legend of The Gang Bawi

Kunjungan ketiga di tahun 2017. Sembalun hampir tak saya kenali lagi. Begitu banyak perubahan. Dari dua desa dimekarkan menjadi enam desa. Kecamatannya tersendiri. Kecamatan Sembalun. Dulu menjadi bagian dari Desa Aikmel, Lombok Timur. Kawasan yang kini menjadi salah satu destinasi wisata populer di Lombok. Dan saya tercengang. Pariwisata mempercepat segala perubahan. Kini, bahasa bukan sesuatu yang rumit dan pelik. Bahkan banyak warga menguasai bahasa Inggris, Prancis, Mandarin, atau Jepang.

BACA JUGA:  Pemerintah Siap Rekrut 200 Ribu CPNS untuk IKN

Kali ke empat ini, saya menyaksikan Sembalun semakin tertata, indah, dan bersih. Tak nampak sebagai kawasan kaldera dari letusan gunung api purba hampir setengah juta tahun yang lalu. Termasuk bekas-bekas letusan Gunung Samalas, tujuh abad lampau, yang lebih baru.

Berapa banyak kisah yang tertimbun peradaban dan debu-debu vulkanik di Sembalun? Saya datang kali ini, mencoba menelusuri jejak-jejak itu. (Buyung Sutan Muhlis)

Foto: Koleksi BSM