IDB dan NTB Maju Melaju

Dalam bukunya, Fisher menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Money Ilusion” atau khayalan uang yakni ketika orang cenderung menilai kekayaan dan pendapatan yang dimiliknya secara nominal dalam bentuk uang daripada menilainya secara riil (nyata) dalam bentuk barang. “Money Ilusion” itu disebut juga Ilusi Harga.

       Misalnya, orang yang memiliki kekayaan Rp.1 milyar setara dengan 100 ton beras ketika harga harga beras Rp.10 ribu per kilogram. Tetapi jika kekayaannya tidak berubah dan harga beras naik menjadi Rp.15 ribu per kilogram, maka kekayaannya sebesar Rp.1 milyar tersebut setara dengan Rp.67 ton beras. Dalam kasus ini, kekayaan orang tersebut secara nominal tetap sebesar Rp.1 milyar, tetapi secara riil mengalami penurunan dari 100 ton beras menjadi 67 ton beras. Dalam kasus ini, kenaikan harga beras dari Rp.10 ribu menjadi Rp.15 ribu disebut inflasi. Artinya akibat inflasi, nilai kekayaan orang tersebut secara riil mengalami penurunan.

BACA JUGA:  Aset Terbesar Pemimpin ialah Rasa Malu (Anomali Penghabisan Indonesia)

       Dalam konteks pendapatan, misalnya orang memiliki pendapatan Rp.10 juta dimana dengan pendapatannya orang tersebut mampu membeli 1 ton beras ketika harga beras Rp.10 ribu per kilogram. Misalkan pendapatan orang tersebut naik menjadi Rp.12 juta per bulan dan harga beras naik menjadi Rp. 15 ribu, maka pendapatan orang tersebut mengalami pertumbuhan 20 persen dan tingkat inflasi sebesar 50 persen. Dalam pada itu, perbandingan (nisbah) antara pertumbuhan pendapatan dengan tingkat inflasi dalam periode tertentu disebut “Indeks Daya Beli (IDB)”. Dalam perhitungan IDB, pendapatan diasumsikan semuanya dikonsumsi. Disisi lain, pada  contoh yang telah dibahas sebelumnya diperoleh IDB sebesar 0,4 atau IDB kurang dari 1 (satu) (IDB<1).

BACA JUGA:  Capaian IPM, IPG dan Angka Kemiskinan

        Jika pertumbuhan pendapatan sama dengan tingkat inflasi diperoleh IDB sebesar 1 (satu) (IDB=1) atau daya beli tetap. Pada IDB sebesar 1 oleh seorang ahli ekonomi Perancis, Leon Walras disebut “numereire”. Jika pertumbuhan pendapatan melampaui  tingkat inflasi diperoleh IDB lebih dari 1 (IDB>1) atau daya beli naik. Sebaliknya jika pertumbuhan pendapatan dibawah tingkat inflasi, maka diperoleh IDB kurang dari 1 (IDB<1) atau daya beli turun. Disisi lain, jika pertumbuhan pendapatan disubstitusi dengan pertumbuhan ekonomi, maka perhitungan IDB dapat dirumuskan sebagai perbandingan (nisbah) antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat inflasi.

        Berdasarkan data BPS (2023) pertumbuhan ekonomi NTB mencapai 3,90 persen pada tahun 2019 kemudian akibat pandemi Covid-19 mengalami kontraksi pada tahun 2020 menjadi minus (-0,62 persen) dan kembali pulih menjadi 2,30 persen pada tahun 2021 dan naik tiga kali lipat lebih  menjadi 6,95 persen pada tahun 2022. Disisi lain, tingkat inflasi di NTB pada tahun 2019 sebesar 1,87 persen kemudian 0,60 persen pada tahun 2020 selanjutnya naik mencapai 2,12 persen pada tahun 2021 dan 6,23 persen pada tahun 2022. Berdasarkan data pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi tersebut, diperoleh IDB NTB mengalami kemajuan dengan laju IDB sebesar 2,09 pada tahun 2019, tetapi sempat terpuruk menjadi minus (-1,03) pada tahun 2020 akibat pandemi Covid-19 dan kembali melaju dengan IDB sebesar 1,08 pada tahun 2021 dan terus melaju dengan kemajuan IDB sebesar 1,12 pada tahun 2022. Kedepan diharapkan IDB NTB, makin maju dan terus melaju dengan pesat. (*)                        

BACA JUGA:  Tragedi KRI Nanggala 402 dan Wasiat Jitu Maulanassyeikh Hamzanwadi