Duo Soto Sasak Legendaris di Ampenan

Saya penggemar soto, makanan berkuah khas Nusantara yang ada di setiap daerah di Indonesia. Bukan karena istri saya, Inaqkake Nanik, lahir di Lamongan, dan sangat piawai memasak soto dan rawon yang top markotop, tetapi sejak kecil saya memang sangat suka makan soto.

Soto bukanlah kuliner asli Nusantara, namun merupakan makanan asal Cina yang bernama “coudo” atau “juoto”, dan di Nusantara soto pertama kali dikenal di wilayah Semarang sekitar abad ke-19. Ada lebih dari 100 varian soto di Indonesia, salah satunya adalah “Soto Sasak”, meski pun tidak sepopuler varian soto seperti Soto Lamongan, Soto Madura, Coto Makassar, Soto Betawi, Soto Banjar, Soto Padang, atau pun Soto Bogor.

Meski banyak varian Soto Sasak, kali ini saya akan membahas dua kuliner Soto Sasak legendaris di wilayah Ampenan, yaitu Soto Sasak Chi Chang dan Soto Sasak Pak Star.

Lain kali saya juga akan membahas soto yang lain, seperti Soto Kopang yang menggunakan daging kepala sapi racikan adik saya Tina Risdiana yang menyediakan menu itu di Warung Kopang yang dikelolanya (alamatnya di depan Long Tun Waterpark Kopang). Ada juga Soto Rumbuk yang berisikan kikil yang kenyal sedap, atau Soto Granada dan Soto Kekalik.

SOTO SASAK CHI CANG

Dosen Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Mataram, Ajuar Abdullah, Wiwik Nirmala Sari, dan Ulfan Mulyawan, melakukan penelitian tentang Soto Sasak untuk mengungkapkan nilai tolerasi dalam semangkuk soto dengan kajian gastronomi (2021). Ketiganya meneliti Soto Shi Cang, yang lapaknya terdapat di Jalan Pabean, tidak jauh dari pintu masuk eks lokasi Pelabuhan Ampenan yang dulunya menjadi pusat aktivitas ekonomi masyarakat di Pulau Lombok. Jangan bayangkan kalau kuiner ini dijual di salah satu café di kawasan Kota Toea Ampenan ini, namun dijual di warung sederhana yang terletak di emperan toko. Warga Ampenan menyebutnya Warung Amigos, alias “agak minggir got sedikit”.

Meskipun demikian, Soto Chi Chang adalah salah satu soto yang dikenal sebagai kuliner sotonya orang Sasak, dan memiliki konsumen loyal dan mampu bertahan dalam waktu; 1950 – sekarang. Soto chi chang memiliki pembeda dan keunikan cita rasa sehingga membedakan dengan jenis soto yang lain. Pembeda inilah yang membuat usaha soto chi chang terus bertahan sekalipun tidak mengembangkan usahanya ke tempat lain, namun cukup dikenal sebagai bagian dari kuliner khas Sasak.

BACA JUGA:  Viral! Brimob 'Tegur' TGB yang Asyik Nonton Balapan Dari Bukit 360 Sirkuit Mandalika

Soto Chi Chang adalah salah satu soto yang memiliki kekayaan jejak sejarah dan khasanah budaya yang masih terwariskan sampai saat ini. Perintisnya, Kong Chi Chang, adalah orang Tionghoa yang tinggal di Kampung Bugis Ampenan. Tidak banyak yang diketahui tentang Kong Chi Chang, lahir dan dibesarkan dalam budaya Tionghoa, dan masuk Islam ketika menikah dengan perempuan yang berasal dari Lombok Timur.

Sebelum membuat soto, Kong Chi Chang bekerja di pabrik rokok dan di pabrik kecap di Ampenan. Pengetahuan tentang rempah-rempah yang diperoleh saat bekerja di pabrik kecap menjadi modal dasar Kong Chi Chang dalam membuat soto khas dengan bumbu khas yang membedakan dengan soto lainnya. Hasil karya kuliner Kong Chi Chang kemudian dikenal sebagai Soto Sasak, Chi Chang sampai sekarang.

Pada awal memulai usaha tersebut, tahun 1950, Chi Chang tidak langsung menempati tempat di kawasan Kota Tua Ampenan, tetapi berjualan di kompleks Polres Lombok Barat, depan kantor pos lama di Kota Mataram. Pada tahun 1980-an, kerabatnya yang sesama etnis Tionghoa memberikan lokasi di depan salah satu toko di kawasan Kota Tua Ampenan. Eksistensi soto chi chang terus bertahan, Kong Chi Chang kemudian mewariskan resep sotonya kepada kedua orang anak angkatnya, salah satunya bernama Aminah, dan dari tangan Aminahlah, soto Chi Chang terus bertahan sampai saat ini. Kehadiran Aminah bukan hanya sebagai penerus usaha kuliner tersebut, tetapi Aminah juga penjaga warisan budaya kuliner dengan tetap mempertahankan cita rasa khas soto chi chang sejak dulu sampai saat ini.

Soto Sasak pada umumnya, bumbunya dilengkapi dengan “poya” dari kelapa parut sangrai yang digiling (kalau pada Soto Lamongan, disebut “koya” yang terbuat dari gilingan gorengan kerupuk udang). Namun oto chi chang tidak menggunakan poya, sehingga kuahnya lebih bening dan terasa segar. Dalam semangkok soto chi cang, diisi dengan ketupat dan juga mie kuning ditambah dengan potongan daging ayam yang disuwir, telor ayam dan potongan seledri serta taburan kacang tanah dan bawang goreng. Ketika kuahnya disruput, terasa penggunaan rempah-rempah seperti ketumbar, lengkuas, kunyit, bawang merah, kemiri, garam, merica, dan bawang putih untuk racikan sotonya.

BACA JUGA:  Musim Kawin, Musim Telih Kembang Komak

Dalam kajian gastronomi yang dilakukan Ajuar dkk (2021), bumbu dan bahan pangan setiap makanan memiliki akar sejarah yang panjang, termasuk semua bumbu dan bahan pangan yang digunakan dalam proses pembuatan soto chi chang, memiliki basis historis dan culture yang mengakar dalam kehidupan masyarakat di Kota Tua Ampenan. Kong Chi Chang mencoba untuk meracik, mengkombinasikan berbagai jenis rempah dan bahan pangan dalam satu mangkok soto yang nikmat dan penuh cita rasa, yang bisa dinikmati semuah lidah semuah orang. Pedas, manis, asam, bercampur menjadi satu, dan memberikan kenikmatan rasa yang melampaui garis suku, agama, ras dan golongan apa pun sehingga mampu bertahan lebih dari 70 tahun.

Dalam menetapkan bumbu soto, Kong Chi Chang sangat dipengaruhi oleh preferensinya sebagai mantan pekerja di pabrik kecap, dipengaruhi oleh kebudayaan diri (Tionghoa) dan kebudayan lingkungan (Sasak dan Bugis). Penggunaan irisan bawang putih goreng misalnya, merupakan jejak budaya kuliner Tionghoa. Penggunaan ketupat dalam semangkok soto adalah jejak kebudayaan Bugis-Makasar. Ada pun pengaruh kebudayaan Sasak dalam soto chi chang adalah rasanya yang gurih dan sangat terasa bumbu sotonya, seperti ketumbar dan kunyit.

SOTO SASAK PAK STAR

Selain Soto Sasak Chi Chang, masih di Ampenan, ada satu lagi soto legenda yang tidak kalah nikmatnya, Soto Sasak Pak Star. Saya sendiri lebih suka soto Pak Star, karena kuahnya lebih bening dan segar. Kuahnya bening kemerahan, tidak berwarna kuning karena tidak menggunakan kunyit dalam bum bunya. Seperti Soto Chi Chang, dalam semangkok soto Pak Star diisi dengan ketupat, potongan daging ayam, tauge, mie kuning, potongan sayur sawi, dan taburan bawang goreng. Soto ini juga tidak menggunakan taburan poya.

BACA JUGA:  ICA Siap Kembangkan Kuliner Nusantara

Saya mengenal Soto Pak Star sejak saya pertama kali tinggal di Mataram pertengahan tahun 1980-an. Saat itu berjualan di Jl Langko, depan Kantor Pos Mataram, di lahan yang sekarang menjadi gedung Pengadilan Agama Mataram. Ketika gedung PA dibangun pada tahun 2012, soto Pak Star pindah ke Jl Industri, di samping Mako Lanal Ampenan, di depan Kantor PELNI. Awal kepindahan, Pak Star mengeluh akan sepinya pembeli, namun perlahan pelanggannya mulai berdatangan. Rasanya yang khas dan segar menjadi daya tarik tersendiri bagi penikmat soto.

Pak Star berasal dari Montong Baan Lombok Timur, merantau ke Mataram dan mencoba berjualan soto untuk menafkahi istri dan kelima anaknya. Resep sotonya berasal dari resep keluarganya, yang kemudian dikembangkan sendiri oleh Pak Star.

Ketika pandemi Covid-19 di tahun 2020, warung Pak Star terlihat tutup. Saya kira karena sepinya pembeli dan adanya larangan untuk berjualan untuk layanan makan di tempat akibat adanya pandemi, ternyata warung Pak Star tutup karena beliau meninggal dunia. Innalillahi wa inna illaihi rodjiun.

Memasuki pertengahan tahun 2022, terlihat ada gerobak dan warung emperan buka di Jl Langko, di tempat dulu Pak Star memulai usaha jualan sotonya. Warung yang sangat sederhana, sehingga saya ragu apakah ini benar warung Pak Star. Saya coba-coba untuk masuk, dan ternyata memang warung Pak Star yang kini dikelola istrinya.

Saya memesan semangkok soto. Meski bukan diracik oleh Pak Star, rasanya tidak berubah, masih seperti aslinya. Puluhan tahun mendampingi suami berjualan, resep asli Pak Star menurun ke istrinya. Sayangya, Inaq Star belum mampu mengangkat marwah Soto Sasak Pak Star. Mungkin karena keterbatasan modal, warungnya sangat sederhana, hanya ada satu meja dan dua bangku panjang, membuat pengunjung merasa tidak nyaman. Bagaimana tentang keberlanjutan soto maknyus ini ? Entahlah, bila nanti istri Pak Star juga tiada, apakah ada anak atau cucunya yang mewarisi resep legendaris ini ?