Lara Duka Gili Trawangan

Gili Trawangan tak pernah benar-benar mempunyai hubungan yang manis dengan orang Sasak. Malahan, Gili Trawangan merupakan artefak kesengsaraan orang Sasak. Kesengsaraan yang bermetamorfosis ke dalam bentuk yang lain dalam setiap era. Yah, begitulah metamorfosa kesengsaraan orang Sasak yang tiada habis-habisnya.

Mari kita mulai dari konsep Gili bagi orang Sasak. Oleh orang Sasak, Gili digunakan sebagai konsep untuk menggambarkan tempat yang jauh, terpencil, menyeramkan, sepi, dan terpencil. Gili tak selalu bermakna tempat atau pulau yang kecil. Jika akhirnya kebanyakan yang disebut Gili agak kecil dibandingkan pulau Lombok sebagai yang utama, hal ini tidak berarti bahwa Gili dalam konsep orang Sasak menunjuk kepada makna tempat yang kecil.

Karena konsep Gili bagi orang Sasak seperti yang disebutkan di atas, maka sebenarnya orang Sasak tidak mempunyai tradisi, budaya, hingga kesenian yang relevan dengan Gili. Orang Sasak tidak mempunyai kebudayaan yang menunjukkan bahwa orang Sasak ialah orang Gili sekaligus. Karena itu, Gili secara umumnya ditempati oleh orang bukan Sasak, seperti suku Bugis dan Bajo. Hal ini berdampak kepada kebudayaan asas orang Sasak sebagai bukan budaya bahari. Orang Sasak tidak mempunyai kebiasaan tinggal di tepi pantai lalu menjadi pelaut yang handal seperti Bugis dan Bajo. Hal ini pula menegaskan yang orang Sasak berbudaya agraris. Kosmologi orang Sasak bukan laut melainkan Gunung.

Jika setelah itu ada sebagian kecil orang Sasak yang tinggal di tepi laut kemudian menjadi pelaut, hal ini dapat dipastikan yang perkara tersebut terjadi setelah adanya interaksi sosial dan konstruksi kekerabatan dengan etnis Bugis dan Bajo melalui kawin mawin. Itulah yang menyebabkan imjanisasi orang Sasak tentang kesunyian, kejauhan, gelombang, angin kencang, kedinginan, keterasingan, bahkan keterbelakangan diekspresikan melalui konsep Gili.

Sementara itu, kata Gili sendiri tidak dapat dipastikan sebagai kata asli orang Sasak. Kata Gili lebih menjurus kepada serapan dari bahasa Melayu yang dibawa oleh penutur Austronesia, yang kemudian digunakan oleh orang Sasak untuk menyebut sesuatu atau seseorang yang datang dari jauh atau perantau bahari yang bermukim di tepi pantai pulau Lombok.  

Seterusnya tentang Trawangan pula. Berdasarkan perbincangan mendalam bersama tokoh terpelajar Sasak, Ayahanda almarhum Fathurrahman Zakaria Pagutan, Ayahanda alamrhum Ahmad JD, dan ayahanda almarhum Haji Jalaluddin Arzaki dalam kurun waktu tahun 2000 awal, dapat diketahui yang Gili Trawangan ialah salah satu pusat kesengsaraan orang Sasak. Tentu saja, sejarah tutur ini tidak akan pernah dijumpai dalam literatur Barat dan juga yang ditulis oleh orang terpelajar dari Karangasem Bali. Bagi mereka, orang Sasak ialah budak jajahan. Karena itu, segala apa pun yang dilakukan oleh orang Sasak distempel sebagai pemberontakan.

Dalam gambaran ketiga tokoh penting Sasak tersebut, Gili Trawangan ialah pulau air mata. Senyap-sunyi-asing. Oleh Karangasem Bali, Gili Trawangan dijadikan sebagai tempat pembuangan, penghukuman, dan pembunuhan orang Sasak yang dipandang membahayakan kekuasaan. Dapat dipastikan, siapa pun yang dibuang ke Gili Trawangan ialah pemberontak dalam perspektif Karangasem Bali. Selain itu, dapat dipastikan juga yang orang Sasak yang terbuang tersebut tidak akan pernah dapat hidup dan kembali ke pualu Lombok.

BACA JUGA:  KPK Minta Aset Pemprop di Gili Trawangan Ditertibkan

Binatang mematikan seperti ular berbisa dan nyamuk yang sebesar jangkrik merupakan salah satu bagian cerita ngeri di Gili Trawangan. Tidak hanya itu, dahulu perairan di Gili Trawangan juga dikenal membahayakan. Makanya, tidak sedikit juga cerita tersiar yang menggambarkan bawah laut Gili Trawangan sebagai terowongan arus deras yang membahayakan. Jadi orang Sasak yang terbuang tersebut, jika tidak sampai ke daratan, dapat dipastikan mati tenggelam dalam penyebarangan ke Gili Trawangan.

Masih dari ketiga tokoh penting Sasak yang disebutkan di atas, orang Sasak yang berhasil bertahan hidup di Gili Trawangan merupakan bukan orang biasa. Mereka mempunyai kekuatan dan kemampaun yang terpilih. Tidak hanya bertarung dengan binatang mematikan, mereka juga perlu berjuang untuk menyambung hidup. Sampai di sini, agak jelas yang Gili Trawangan bukanlah pulau kehidupan dan yang menghidupkan pulau tersebut ialah orang Sasak yang terbuang sebagai pemberontak di hadapan Karangasem Bali.

Sejarah Gili Trawangan sebagai pulau kesengsaraan orang Sasak makin terkikis, tidak hanya disebabkan oleh literatur yang lemah, juga disebabkan oleh cerita yang lebih seronok pada sekitaran tahun 80-90an. Ada dua cerita yang sangat mengharu biru. Pertama, cerita Gili Trawangan sebagai pulau telanjang. Turis asing yang pergi ke Gili Trawangan mempunyai tujuan utama yaitu bertelanjang. Cerita turis telanjang ini sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Tidak hanya di sekitaran Senggigi, melainkan berkembang ke pelosok kampung di pulau Lombok. Maka pada tahun tersebut ada seloroh kalau di Senggigi turis masih pakai kutang, namun di Gili Trawangan turis sudah seperti binatang.

Pada masa tersebut di atas, di manakah orang Sasak terbuang yang bertahan hidup, lalu beranak pinak yang, kemudian meletak dasar kehidupan sosial di Gili Trawangan? Agaknya, ini merupakan awal dari rentetan laruduka orang Sasak yang berkepanjangan di Gili Trawangan. Turis asing yang telanjang tersebut, tidak mempedulikan ekosistem orang Sasak yang dibangun dengan nyawa terakhir. Malahan, di hadapan turis asing tersebut, orang Sasak tidak lebih baik dari suku pedalaman yang dilingkupi keterbelakangan. Dehumanisasi orang lokal dimulai dengan menepikan keberadaan mereka.

Cerita kedua ialah mimpi besar pemerintah pada masa itu, yakni Gubernur H. Warsito untuk memproduksi pariwisata. Akibatnya, tanah sengketa yang di Senggigi terus merembet ke Gili Trawangan. Dengan berbagai topeng dan dalih, pemerintah lebih berpihak kepada investor dan kehidupan manusia asing yang bertelanjang. Pada masa ini, saya masih nyantri di Pancor, namun kerap turut terlibat aksi protes bersama aktivis mahasiswa di Mataram, khususnya rakan-rakan di Unram.

Karena ambisi tersebut, akhirnya masalah kedua muncul setelah perusakan ekosistem sosial-budaya-agama orang Sasak di Gili Trawangan ialah status tanah Gili Trawangan. Siapa yang punya? Apakah pemerintah yang mempunyai hak kuasa atas tanah atau orang Sasak yang mempunyai sejarah atas tanah tersebut? Sejatinya pertanyaan ini tak pernah tuntas hingga sekarang. Dengan dalih tanah negara, pemerintah menistakan manusia awal Gili Trawangan dan membiarkan (boleh juga dibaca memfasilitasi) ketelanjangan terus berkembang.

BACA JUGA:  Hanya HGB bukan SHM

Maka mulailah kedua cerita tersebut berkembang secara beriringan. Turis telanjang sebagai daya tarik manusia Barat datang ke Gili Trawangan. Dalam masa yang sama, pemerintah dengan payung hukum di tangan, terus membredeli hak sejarah orang Sasak. Sebagai dampak dari semua itu ialah bermunculan investor-investor gelap. Malahan, para investor gelap inilah yang kemudian menjadi raja di Gili Trawangan. Orang Sasak, masih tetap menjadi pesuruh. Budak sahaya di pekarangan rumah mereka sendiri.

Salah satu kedok bin modus investor gelap ini ialah mengawini wanita atau lelaki lokal agar lebih mudah mendapatkan lahan atas nama pasangan lokal. Lalu mereka menggunakan pendekatan jalan pintas dengan memanfaatkan kesempatan karut marut status kepemilikan tanah di Gili Trawangan. Mereka berhubungan dengan oknum penduduk di Gili Trawangan, lalu melakukan transaksi sewa atau pun beli. Dan ending dari semua itu ialah, banyak dari kalangan investor gelap ini kemudian menjual lahan tersebut kepada investor gelap yang lain, kemudian perkara yang sama berlaku pada masa berikut. Rantai peralihan penguasaan dari investor gelap yang satu ke yang lain tak habis-habis, kemudian menambah karut marut yang amat menjijikkan. Turis asing beriklan jual aset di Gili Trawangan melalui media sosial, misalnya.

Seiring waktu, tumbuh budaya baru, di mana, turis asing merasa paling memiliki Gili Trawangan. Mereka berpikir yang di tangan merekalah kemajuan Gili Trawangan. Lebih buruk lagi, kemudian pemerintah malahan lebih banyak berhubungan dengan turis semacam ini. Pada masa yang sama, penduduk lokal sudah dipandang sebagai pendatang karena sejak awal mereka sudah mengalihkuasakan tanah kepada investor gelap.

Jadi, yang ada di kepala turis asing yang datang ke Gili Trawangan saat ini ialah mereka tidak pergi ke rumah orang lain, melainkan ke rumah mereka sendiri. Maka, tidak mengherankan jika tidak sedikit turis asing yang menyalahgunakan visa dan tinggal tanpa visa lalu mengambil tindakan sepihak dengan menjual aset yang sudah dibangun di Gili Trawangan. Yang lebih parah lagi, setelah investor gelap mengakar, tumbuh pula penjual gelap yang lahir dari benih mafia lokal. Mafia lokal ini, tidak hanya orang Sasak sendiri, melainkan orang dari luar (saya malu menyebutnya) karena bukan lagi rahasia umum, siapa pemegang sertifikat tanah di pulau Lombok.

Tambah buruk lagi, pemerintah terlambat menyadari tentang kegelapan di Gili Trawangan. Pemerintah nampak seperti pura-pura tidak tahu karena mereka tidak ada kuasa mengatasi masalah kesengsaraan di Gili Trawangan. Atau pemerintah memang ada niat melepas tanggung jawab lalu menyerahkan sepenuhnya kepada pasar dan aktor bebas Gili Trawangan. Nampak yang mafia Gili Trawangan lebih berkuasa dibandingkan pemerintah. Ini masalah yang lain pula karena jika didiskusikan lebih lanjut, akan tersingkap benang merah yang runyam. Bahwa ada potensi besar keterlibatan pemerintah di tengah rangkaian investor gelap tersebut.

BACA JUGA:  Demi Tokek, Mobil Sewaan Digadai

Yang pasti, semua itu menggambarkan kepastian besar yakni Gili Trawangan super duper ruwet. Lalu di tengah semua itu, di mana orang Sasak? Adakah orang Sasak mendapatkan keuntungan? Adakah pemerintah mendapatkan laba?

Tulisan ini hendak menyatakan sikap yakni, orang Sasak tidak pernah diuntungkan dengan adanya Gili Trawangan. Sejak dahulu, orang Sasak mempunyai hubungan yang pahit dengan Gili Trawangan. Namun rasa yang amat pahit tersebut, semakan membinasakan ketika ia masih tersambung dengan kukuh hingga sekarang.

Dalam situasi semacam itu, pemerintah perlu jujur dan bijaksana. Jika tidak mau mengakui yang, orang Sasak tidak ada kemanfaatan dari Gili Trawangan, pemerintah setidaknya, tidak perlu besar cakap yang Gili Trawangan merupakan salah satu primadona ekonomi. Karena cakap besar tersebut, sungguh telah semakin melukai orang Sasak.

“Eeeeekk, lokeng”. Begitulah kata Tuak Tuntel ketika dilemparkan hanya kulit pisang oleh Tuak Tegodek dari atas pohon. Kisah dalam cerita rakyat Sasak: Tuak Tegodek dan Tuak Tuntel ini ialah metafora sahih untuk menggambarkan nasib orang Sasak di kemilau Gili Trawangan.

Memang betul, di antara rangkaian investor gelap dan kegelapan masalah di Gili Trawangan, ada orang Sasak sendiri, namun pemerintah wajib mempunyai sikap berdiri di pihak rakyat. Sekurang-kurangnya dengan tidak hanya menyalahkan orang Sasak. Karena kalau diurai dari asal-muasal, sejatinya, orang Sasak yang menjadi penduduk awal Gili Trawangan ialah korban dari ganasnya permainan bisnis para elite.

Karena itu, sebagai korban, jika akhirnya orang Sasak yang turut serta menjadi mafia di Gili Trawangan, ini merupakan salah satu bentuk pemertahanan diri dari kesewenang-wenangan turis telanjang dan piramida investor gelap. Meski begitu, cara ini juga tidak dapat dibenarkan. Sekali lagi, tidak dapat dibenarkan tindakan mafia dengan alasan apa pun dan dari kelompok manapun. Namun sekali lagi, situasi ini semakin memberikan penjelasan dan penegasan yang Gili Trawangan memang sumber laraduka orang Sasak.

Sebagai penggambaran tempat yang jauh dan sunyi, sungguh konsep Gili bagi orang Sasak telah benar-benar membuat Gili Trawangan menjadi asing, makin jauh hingga benar-benar tidak mencerminkan yang Gili Trawangan ialah Sasak itu sendiri. Gili Trawangan ialah tempat yang asing dan kelak, orang Sasak tak pernah tahu lagi yang Gili Trawangan ialah bagian dari jiwa nenek moyang mereka. Gili Trawangan yang surgawi bagi orang asing dan laraduka bagi pribumi.

Laraduka orang Sasak di tengah lambung pertiwi.

Malaysia, 5 Februari 2023.