Antara Bencana Alam dan Ekstensifikasi Jagung

Memasuki musim kemarau, ada satu hal yang perlu kita kenang sebelum memasuki musim hujan kembali beberapa bulan kedepan. Sekitar awal Maret 2021, Pak Zulkieflimansyah Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang biasa dipanggil Bang Zul, tanggap mendatangi lokasi banjir yang baru terjadi di Desa Daha, Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu.

Membawa berbagai macam bantuan makanan, sandang, terpal, dan masker kain (antaranews.com, 1 Maret 2021). Bang Zul berpesan melalui caption di instagramnya “Masyarakat harus terus meningkatkan kewaspadaan akan bencana akibat curah hujan yang begitu tinggi di musim ini”.

Pesan ini sejenis dengan pernyataan Presiden Jokowi yang tertulis di twitter Sekretariat Kabinet saat merespon banjir bandang yang terjadi di Kalimantan Selatan pertengahan januari kemarin. Untuk menjaga stabilitas negara, tampaknya mengawali pesan dengan nuansa kewaspadaan dan faktor cuaca yang tidak bersahabat menjadi trend para pimpinan tertinggi negara dan daerah. Walaupun kemudian, Bang Zul menyampaikan himbauan, tentang bencana banjir yang terjadi tidak hanya karena cuaca ekstrem, melainkan juga karena sedimentasi dan penebangan hutan (Suarantb.com, 2 maret 2021)

BNPB merelease, Indonesia masuk dalam 35 negara paling rawan risiko bencana di dunia. Sejak Februari 2020 hingga Februari 2021, tercatat 3.253 bencana baik hidrometeorologi dan geologi. Bahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut cuaca sebagai anomali. Namun, ada disisi lain, banyak pengamat lingkungan baik NGO maupun akademisi, menyebut perubahan iklim yang kemudian mengakibatkan kondisi cuaca extreem juga akibat perilaku manusia sendiri. Hal ini sebenarnya sudah lama disadari Internasional, salah satunya yang terkini dengan dikeluarkannya Paris Agreement yang kemudian diratifikasi Indonesia tahun 2016, dengan komitmen menekan kenaikan suhu bumi. 

BACA JUGA:  Anda Sulit Lepas dari Ponsel? Waspada 5 Gangguan Mental Ini


Gempa bumi, sebagai bencana yang masuk kedalam kategori geologi, hingga saat ini belum bisa diprediksi kapan kehadirannya. Namun, banjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan (bencana hidrometeorologi) adalah bencana yang dapat diantisipasi dengan berbagai macam langkah preventif. Salah satu penyebab terjadinya bencana hidrometeorologi karena berubahnya kondisi tutupan lahan dari paru-paru dunia yaitu hutan. Alih fungsi lahan dari hutan menjadi pertanian monokultur, permukiman, dan tambang kemudian menjadi penyebab utama deforestasi. Walaupun sejak lama, konsep Indonesia tentang menjaga keseimbangan alam cukup baik. Menetapkan kawasan hutan setiap pulau minimal 30%. Karena fungsi pokok misalnya hutan lindung sangat penting, sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah (Lihat UU No 41 Tahun 1999. NTB dengan luas wilayah 2.015,315 ha, memiliki 53% kawasan hutan, yang tersebar di dua pulau besar, terutama Sumbawa. Juga memiliki sejarah agraris yang cukup baik.

Andil besar ketika Indonesia berhasil mencapai swasembada beras pada pada tahun 1985. Buku pertanian tumpuan percepatan (2016) mencatat untuk pertama kalinya NTB mengalami surplus beras pada musim tanam tahun 1984, dengan program pertanian Gogo Rancah di lahan kering. Hal ini kemudian menyebabkan Gubernur NTB saat itu Gatot Soeherman, menjadi satu-satunya gubernur yang diajak mendampingi Presiden Soeharto pada konferensi Internasional FAO (Lembaga pangan dunia) di Roma Italia.

Gubernur NTB DR H Zulkieflimansyah meninjau lokasi banjir di Desa Daha Kecamatan Huu Dompu sekaligus menyerahkan bantuan, Senin 1 Maret 2021 /foto: SUARA NTB


Kemudian, beberapa puluh tahun kemudian, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyo tahun 2005. Ditetapkan 17 komoditas nasional dan NTB memilih tiga diantaranya. Sapi, Jagung dan Rumput Laut (PIJAR). Ditetapkan oleh Gubernur Zainul Majdi menjadi komoditas unggulan. Khususnya jagung karena melihat potensi yang sangat besar dan telah menjadi tradisi petani paling besar di Pulau Sumbawa. Dompu, salah satu kabupaten di Pulau Sumbawa, dalam laporan singkat tentang PIJAR tahun 2009 diapresiasi, karena Inisiasi Bupati saat itu, H Bambang M. Yasin yang membawa terobosan pembentukan meningkatkan kesejahteraan warganya dengan mengembangkan komoditas unggulan jagung, dengan target akan menanam jagung diatas lahan seluas 10 ribu hektar. Hampir dua belas tahun kemudian, ketika Dompu telah berganti kepemimpinan, dan saat ini dibawah tampuk Bupati Kader Jaelani.

BACA JUGA:  Fathurrahman Zakaria: Pelopor Jurnalisme dan Pejuang NU yang Terlupakan

Ekstensifikasi jagung yang massif kemudian di‘kambing hitam’kan, atas bencana-bencana banjir yang dialami masyarakat. Data BPS dalam grafik menyebutkan terjadi peningkatan produksi jagung  yang sangat signifikan di NTB sejak tahun 2016 hingga 2018, diatas 1-2 juta ton. Usaha pemerintah untuk menghentikan ironi impor jagung dari bangsa yang sangat agraris dan kaya sumber daya alam, tampaknya kemudian menjadi polemik dan ironi baru. Pemerintah perlu melakukan tata kelola ulang terkait jagung. Jangan sampai jagung yang beberapa dasawarsa menjadi unggulan NTB, karena mampu menanggulangi kemiskinan, ketahanan pangan daerah, swasembada pangan nasional dan penyerapan tenaga kerja menjadi sumber bencana bagi masyarakat setempat.

BACA JUGA:  Tuak, Minuman Tradisional Lombok Warisan Kerajaan Karangasem?

Informasi kinerja pengelolaan lingkungan hidup daerah Nusa tenggara Barat tahun 2016 menyebutkan, memang bencana terjadi karena peningkatan alih fungsi lahan dan makin luasnya lahan kritis. Hampir 1000 Ha hutan produksi yang ada di Kabupaten Dompu rusak karena alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian jagung. Oleh karena itu, Kepala Bidang Litbang Bappeda NTB menyebutkan, hal ini telah disadari oleh Pemerintah Daerah Provinsi.

Satu kebijakan yang kemudian muncul untuk menanggulangi kerusakan alam adalah menghentikan bantuan bibit jagung baik dari pusat maupun daerah. Saat ini NTB lebih berfokus pada intensifikasi dengan meningkatkan kualitas tanah, industrialisasi pengolahan jagung untuk meningkatkan nilai tambah komoditi dengan melibatkan masyarakat, dan diversifikasi mata pencaharian.

Usaha ini perlu diapresiasi, karena merepresentasikan konsep sustainability (berkelanjutan) dari pengelolaan sumber daya alam. Mengutamakan tiga hal, kesejahteraan masyarakat/ekonomi, kehidupan sosial, dan kelestarian alam yang berjalan seimbang. Namun, untuk kelestarian alam, masih dibutuhkan strategi pemulihan yang lebih komprehensif. Seperti mengurangi eksploitasi hutan, menertibkan pembukaan area hutan untuk kegiatan-kegiatan yang mengganggu fungsi hutan (seperti penebangan kayu) dan alih fungsi kawasan. PR besar ini, memerlukan kolaborasi dari semua stakeholder, baik lintas Organisasi Perangkat daerah maupun, Organisasi non pemerintah, dan yang teruatama masyarakat setempat. (*)

Foto Utama: Humas Tanaman Pangan

Sumber Referensi: 
https://www.suarantb.com/banjir-di-dompu-36-rumah-hanyut-gubernur-soroti-gundulnya-hutan/
https://tabloidsinartani.com/detail/indeks/pangan/8165-Menengok-Hamparan-Perbukitan-Jagung-di-Saneo-Dompu