Ketika Praktisi Radio NTB Pertanyakan Aturan Royalti Siaran Lagu dan Musik

MATARAMRADIO.COM , Mataram – Belum seminggu ditandatangani Presiden Joko Widodo, rupanya Peraturan Pemerintah  Nomor 56 tahun 2021 tentang ketentuan pembayaran royati penggunaan lagu dan musik di media siaran menuai polemik dan perdebatan di kalangan praktisi radio  di daerah termasuk Nusa Tenggara Barat. Bahkan kebijakan pemerintah tersebut menjadi perbincangan aktual di jejaring media sosial dan forum WA Group praktisi radio lokal.

Sebagaimana diskusi hangat Komunitas Tenda Siar 2020 yang beranggotakan pengelola dan praktisi radio senior di Nusa Tenggara Barat. Fokus persoalan yang jadi sorotan mereka banyak menyoal bagaimana posisi radio lokal dalam hal penyiaran lagu dan musik untuk keperluan hiburan. “Selama ini, radio siaran tidak pernah ada persoalan dengan penyiaran lagu dan musik. Bahkan sejak materi lagu itu berupa kaset dan CD yang diputar di radio lokal, tak pernah ada masalah.Ya paling kita kena teguran dan terima surat cinta dari KPID kalau ada lagu yang isinya bermuatan tidak pantas, seperti liriknya ada unsur pornografi atau kata-kata jorok dan kasar,”ungkap salah seorang pengelola Radio Swasta di Mataram yang enggan disebut namanya.

Namun dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2021 yang mengatur penggunaan lagu, musik di lembaga penyiaran, pihaknya merasa khawatir dan tidak nyaman.”Apakah kemudian kita harus meminta izin hak siar kepada para musisi dan penyanyi, yang bener saja lah,”katanya dengan nada tanya .

Kekhawatiran serupa dilontarkan Lalu Fathurahman, Pengelola LPPL Suara Kota FM Mataram.”Kalau dulu mereka (produser lagu,red)  sangat ketergantungan dengan media radio, tanpa ada radio, produser kaset, artis penyanyi atau band gak bisa promo single atau album mereka diperdengarkan kepada masyarakat….adakah semua total bergeser 100%,”tanya penyiar kondang era 90-an yang dikenal dengan nama udara Niko Haris ini. Dia juga mengaku belum membaca utuh peraturan pemerintah tersebut seperti apa aturan teknisnya.” Belum kita baca PPnya ini, khawatir juga, seperti apa sanksinya. Seperti apa teknis yang berwenang memantau pemutaran lagu-lagu tersebut. Apakah hasil pantauan KPI/KPID. Jangan-jangan akhir tahun tiba-tiba kiriman tagihan royalti ke semua Lembaga Penyiaran. Ana lebih takut sama perusahaan rekaman, kita nggak pernah putar lagu artisnya, tapi nanti tiba-tiba tagihan datang ke kita, karena disebut memutar lagu artisnya yang terkenal itu,”ungkapnya  khawatir dengan nada berseloroh.

BACA JUGA:  Selamat Jalan Didi Kempot, Bapak Loro Ati Indonesia
Penyiar Radio beken Gusdink Najamudin mengakui bahwa membawakan tangga lagu Pop Indonesia dan mancanegara merupakan program unggulan di radionya yakni Guntur FM Singaraja dan Haccandra 102.3 FM Lombok pada era 90-an. Kini penyiaran lagu dan musik di media siaran terbentur pembayaran royalti pasca berlakunya Peraturan Pemerintah No. 56 tahun 2021. I foto: istimewa

Bukan tanpa dasar Niko Haris melontarkan kegundahannya tersebut. Apalagi beberapa waktu lalu, sejumlah pengelola  dan operator TV kabel di Lombok harus berurusan dengan pihak berwajib karena dilaporkan sebuah perusahaan rekaman musik daerah dengan delik aduan penyiaran lagu dan videoklip di TV kabel lokal tanpa mengantongi hak siar dari pemiliknya,”Tapi untuk radio siaran tentu beda perlakuannya. Yang pasti, hampir semua karya cipta lagu, dari 60 album yang diproduksi perusahaan kami telah memiliki hak cipta dan siapapun yang menggunakannya untuk keperluan komersial harus seizin kami dan siap-siap kami tagih royaltinya,”jelas Yudhi Buster, Pengurus Asosiasi Perusahaan Rekaman Lokal (APRL) Lombok yang juga marketing Maneger Miru Production, sebuah perusahaan rekaman lagu daerah yang berbasis di Mataram.

Menurut Yudhi, berlakunya Peraturan Pemerintah tersebut tentu memberikan angin segar bagi eksistensi musisi lokal dalam berkarya dan semua pihak harus siap menerima segala konsekuensinya dan selayaknya punya persepsi yang sama dalam memahami regulasi.”Kita anteh (tunggu,red) saja bagaimana ke depannya. Ini jangan ada pemahaman yang keliru dulu. Jika lagu atau musik itu diputar di ruang publik, kemudian ada transaksi di sana, barulah bisa dikenakan (pembayaran royalti,red),”ulasnya.

Dia lantas mencontohkan sebuah usaha karaoke di Mataram yang memutar lagu Inul Daratista, karena usaha karaoke itu terintegrasi dengan sistem mereka di pusat.”Maka lagu apa saja yang diputar bisa dideteksi dan tercatat oleh sistem mereka sebagai dasar pengenaan royalti,”sebutnya. Sayangnya Yudhi Buster tidak menjelaskan bagaimana bila sebuah acara musik di radio didanai sponsor, seperti tangga lagu dan sejenisnya, apakah dikenai royalti atau tidak karena itu juga masuk kategori acara komersial.

BACA JUGA:  Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer

Faktanya, penjelasan Yudhi Buster belum sepenuhnya bisa diterima. Bahkan, tidak saja Niko Haris dari Suara Kota FM Mataram  yang resah, keluhan serupa dilontarkan Kiyut Fareta, Pengelola Radio DMC FM Bima dan berharap Peraturan Pemerintah yang baru itu tentu saja butuh kajian lebih dalam bagaimana implementasinya ke depan.”Saya rasa musisi pun tidak setuju karena mereka paham posisi radio siaran dan TV sebagai mitra promosi. Dengan mengirim sampel atau master lagu promosinya ke radio dan kita putar, mereka sesungguhnya diuntungkan karena mengeluarkan biaya promosi yang kecil,”katanya.

Lain lagi dengan Dimas Valentine, Penyiar legendaris Riper FM Group yang kini masih aktif bersiaran di Sutra FM Bandar Dangdut Lombok. Pasca pemberlakukan Peraturan Pemerintah tentang royalti lagu dan musik, dia justru menyoroti keberadaan beberapa lembaga yang selama ini ditugaskan melakukan pengawasan terhadap hak cipta karya musisi tanah air.” terus bagaimana nasib Lembaga, lembaga seperti  Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI), Wahana Musik Indonesia (WAMI), Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) & Karya Cipta Indonesia (KCI) yang sudah bekerja jauh sebelum PP ini terbit. apakah mereka-mereka hanya menjadi penonton?,”tanya Dimas.

Dikatakan Dimas, dari zaman YLKI di pimpin oleh (alm) Chris Kayhatu, Chandra Darusman, (alm) Rinto Harahap, masalah royalti tetap menjadi skala prioritas oleh lembaga bersangkutan. “Tapi, pemerintah memang seneng ya buat “kerjaan baru untuk dirinya sendiri”,”ketusnya.

Berbeda dengan Chisnullah, Ketua PRSSNI NTB yang juga Direktur Radio Mandalika FM Lombok. Kaitannya dengan royalti penggunaan lagu dan musik untuk siaran radio, pihaknya tidak pernah khawatir. Pasalnya, Radio Mandalika FM sudah menjalankan kewajibannya untuk membayar royalti penggunaan lagu dan musik.”Buktinya kami selalu menerima piagam penghargaan dari KCI melalui PRSSNI Pusat sebagai bukti kepatuhan menjalankan kewajiban,”katanya kepada MATARAMRADIO.COM.

BACA JUGA:  Pelaku Tindak Asusila Terancam 15 Tahun Penjara

Namun, dia tidak merinci apakah pembayaran royalti tersebut berlaku untuk musik daerah yang juga diputar di radionya.”Saya tak tahu persis, yang jelas radio kami tentu akan taat azas, sepanjang lagu dan musik daerah memiliki hak cipta, tentu mereka juga berhak menerima royalti atas hak siar mereka di media siaran,”jelasnya.

Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo  menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan atau Musik.

Salah satu pasal dalam Peraturan Pemerintah tersebut yakni Pasal 3 ayat 1 beleid yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 30 Maret 2021 tersebut, menegaskan bahwa setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak.

 Disebutkan, kewajiban tersebut diberlakukan demi memberi perlindungan dan kepastian hukum terhadap baik pencipta, pemegang hak cipta dan pemilik hak ekonomi atas karya mereka.

 Pada intinya, Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2021 mengatur penggunaan lagu, musik di karaoke, bioskop, restoran, kafe, pub, kelab malam dan diskotek harus membayar royalti kepada pencipta lagu. Selain itu, dalam ayat selanjutnya diatur kewajiban membayar royalti juga berlaku pada beberapa penggunaan, yaitu; Seminar dan konferensi komersial, konser musik, pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut, pameran dan bazar, nada tunggu telepon. Lainnya, bank dan kantor, pertokoan, pusat rekreasi, lembaga penyiaran televisi, radio, hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel. (Editor MRC)