Menguat Dukungan Prof Masnun Tahir Jadi Penjabat Gubernur NTB. Inilah Profil Lengkapnya!

MATARAMRADIO.COM –  Bursa dan wacana pengisian penjabat Gubernur NTB pada September 2023 mendatang terus  bergulir. Kali ini dukungan kuat dan doa semakin mengalir deras kepada Prof Dr H Masnun Tahir MAg, Rektor UIN Mataram yang dinilai layak menjadi Penjabat Gubernur NTB menggantikan Dr H Zulkieflimansyah MSi yang akan tidak lama lagi akan meletakkan jabatan sebagai orang nomor satu di NTB.

Tidak tanggung-tanggung, Ketua Fraksi PPP DPRD NTB Mohammad Akri memberikan dukungan dan doa langsung dari tanah suci makkah untuk Prof. Masnun Tahir sebagai PJ Gubernur NTB pada tahun 2023. Dukungan dan doa diberikan atas nama pribadi fraksi PPP di DPRD Provinsi NTB. “Saya atas nama Ketua Fraksi dan pribadi mendukung serta memberikan doa dari tanah suci makkah, semoga Prof. Masnun Tahir dipilih Presiden sebagai Penjabat Gubernur NTB tahun 2023,” kata Moh Akri yang saat ini sedang menjalankan ibadah haji di tanah suci melalui siaran persnya yang diterima MATARAMRADIO.COM , Selasa (25/07/23).

Menurut Sekretaris DPW PPP NTB ini, sosok Prof Masnun merupakan salah satu tokoh yang layak diperjuangkan, disamping Ketua ormas NU terbesar di dunia, juga sebagai rektor UIN Mataram. Pengalaman birokrasi dan mengelola masyarakat tentu sangat tidak diragukan lagi.“Melihat dukungan yang terus mengalir dari seluruh lapisan masyarakat, tentu ini harus menjadi pertimbangan Presiden dalam menentukan PJ Gubernur untuk sisa masa jabatan yang ada di NTB,” ungkap Akri yang merupakan politisi muda NTB ini.

Fraksi PPP kata politisi asal Lombok Tengah ini, akan mengawal Prof Masnun sampai semua tahapan yang akan dilalui, karena para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan semua tokoh memberikan dukungan terhadap Prof Masnun.“Dukungan yang paling banyak hari ini beliau (Prof Masnun), jadi tidak ada alasan untuk tidak didukung dan ditetapkan oleh Presiden. Kita doakan semoga Presiden melihat aspirasi arus bawah ini bahwa siapa yang sesungguhnya diinginkan oleh masyarakat NTB,” pungkasnya.

Tentang Prof Masnun Tahir

Mengutip laman kupipedia.id, disebutkan Masnun Tahir lahir di Dasan Baru, Loteng, pada tanggal 27 Agustus 1975. Sebelum diangkat sebagai Rektor Universitas Islam Negeri Mataram pada 2021-2026, Masnun aktif terlibat dalam kepengurusan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai Ketua Tanfidziyah periode 2019-2024, Dewan Penasihat Majelis Ulama Indonesia NTB periode 2021-2025, serta Asosiasi Dosen Hukum Keluarga Islam Indonesia periode 2020-2025.

BACA JUGA:  Ini Dia Juara Lomba Essai Kepemudaan 2022 Tingkat Pelajar SMA Sederajat Kabupaten Lotim

Masnun memiliki minat pada bidang Hukum Keluarga Islam Indonesia. Minat ini dilatarbelakangi oleh pengalamannnya berkenalan dengan isu-isu gender saat berkuliah di Yogyakarta. Meskipun ia tidak hadir pada perhelatan akbar Kongres  Ulama Perempan Indonesia (KUPI) tahun 2017, secara esensi dan prinsip ia sangat mengapresiasi langkah KUPI. Karena konsentrasi kerja dan keilmuan Masnun adalah di bidang Hukum Keluarga Islam, ia memiliki persinggungan yang cukup intensif dengan isu perempuan. Selain itu, kehadiran KUPI bisa mewarnai otoritas keagamaan yang hingga kini masih didominasi ulama laki-laki.

Ayah Masnun bernama HM. Tahir dan ibunya bernama Hj. Asmaul Husna. Masnun menikahi seorang perempuan Jawa bernama Zusiana Elly Triantini. Dari perkawinan tersebut, mereka dikaruniai seorang puteri bernama Khalida Farha Elzamta.

Sejak mengenyam bangku sekolah, Masnun ditempa keluarganya untuk hidup mandiri. Semasa tsanawiyah, ia terbiasa turun ke sawah dan pulangnya langsung mencuci baju dan memasak sendiri. Demikian pula dengan saudara-saudaranya yang lain. Bila ada waktu luang, Masnun juga sering diminta untuk bekerja sebagai buruh harian untuk menambah uang jajan. Masnun melakukan pekerjaan tersebut saat menjadi siswa Madrasah Aliyah, yakni tahun 1990an. Masnun turun ke sawah membantu para petani dan ia menerima upah hariannya sebesar Rp2.000. Namun, Masnun mengaku bingung dengan upah buruh perempuan yang saat itu sama-sama bekerja dengannya, tetapi menerima Rp1.500.

Selisih nominal ini mendorong Masnun bertanya kepada si pemberi upah, mengapa ada selisih jumlah? Padahal etos kerja buruh perempuan saat itu dinilai lebih rajin dari buruh laki-laki. Pemberi upah hanya mengatakan bahwa hal tersebut sudah menjadi aturan. Tentu saja jawaban ini tidak memuaskan rasa penasaran Masnun.

Selain kejadian tersebut, Masnun yang saat itu terdaftar sebagai siswa Madrasah Aliyah Negeri Program Khusus (MAN-PK) juga kerap bertanya-tanya dalam hati mengapa murid-murid di sekolahnya tidak ada satu pun yang perempuan. Bahkan jumlah guru pun didominasi laki-laki. Hanya guru Kimia dan Bahasa Indonesia saja yang berjenis kelamin perempuan. Para murid MAN-PK yang semuanya laki-laki ini sejatinya kelak diharapkan menjadi ulama. Sementara perempuan dianggap tidak mungkin menjadi ulama. Pertimbangan lain untuk tidak melibatkan murid perempuan adalah agar murid-murid MAN-PK dapat menjaga hafalannya dengan baik. Masnun dan teman-temannya saat itu dilarang mendengarkan lagu-lagu Nike Ardilla, karena khawatir hafalannya akan hilang. Namun jika mendengar KH. Zainuddin MZ, dibolehkan.

BACA JUGA:  Festival Senggigi Sukses

Usai menamatkan pendidikannya di bangku Aliyah, Masnun meneruskan studi S1-S3 di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada tahun 1999 ia memilih Perbandingan Mazhab sebagai jurusan akademik S1-nya. Lalu pada tahun 2002 ia melanjutkan S2 dengan konsentrasi Hukum Islam dan menuntaskan bidang Studi Islam pada tahun 2011 untuk gelar S3-nya.

Yogyakarta berperan besar membentuk Masnun dalam meniti karir akademik maupun memproses diri menjadi bagian dari tokoh agama di NTB. Saat mahasiswa S1, Masnun terlibat dalam kegiatan-kegiatan aktivisme sejak bergabung dengan organisasi kemahasiswaan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Di bidang pemikiran, Masnun juga bertemu dengan pemikiran-pemikiran baru yang progresif dan sangat berbeda dari yang dia terima di tanah kelahirannya. Seperti materi kuliah ilmu sosial dasar dan mata kuliah Islam dan Gender. Ia menjadi paham konsep relasi berdasarkan gender dan seks. Di kota pelajar tersebut ia berkenalan dengan tokoh-tokoh muda seperti Mansour Fakih, Nasaruddin Umar, Eman Hermawan, Ruhaini Dzuhayatin, sampai Amina Wadud. Pergulatan pemikiran melalui diskusi ilmiah baik di dalam maupun di luar kampus, tumbuh subur dan dinamis. Dan, Masnun pun banyak terlibat di dalamnya.

Oleh karena itu, saat mulai mengerti pada isu-isu perempuan, Masnun teringat akan realitas sosial di tempat kelahirannya. Sewaktu Masnun masih berusia Sekolah Dasar, ada seorang Kepala Desa (Kades) perempuan yang dipilih oleh masyarakat. Saat itu, masyarakat NTB yang agamis dan meyakini perempuan tidak bisa memimpin, nyatanya sama sekali tidak mempermasalahkan jenis kelamin. Proses pemilihan Kades dilakukan secara langsung. Dan ini terjadi jauh sebelum Megawati dipilih menjadi presiden RI sebagai presiden perempuan pertama di Indonesia.

Kades perempuan tersebut bernama Baiq Sa’diyah. Ia terpilih karena figurnya dianggap bisa mengayomi masyarakat. Setiap ada kegiatan warga, Baiq Sa’diyah selalu hadir dan rajin terlibat langsung. Tidak ada penolakan sama sekali atas kepemimpinannya. Selama 8 tahun Baiq Sa’diyah berhasil memimpin masyarakat dengan baik. Sayangnya, itu terjadi pada saat itu saja. Sebab setelah itu, Masnun tidak pernah lagi mendengar kabar perempuan bisa memimpin masyarakat.

BACA JUGA:  NGOPI Ala Kapolres Sumbawa

Hal lain yang membuat Masnun tersadar dengan perspektif perempuan adalah pengalaman pribadinya yang besar dan tumbuh dari keluarga yang berpoligami. Dari pengalaman hidup tersebut, Masnun meyakini bahwa sebaik-baik hubungan poligami, tetap tidak lebih baik dari hubungan perkawinan yang monogami.

Jangankan menyebut ulama perempuan, istilah ulama pun sebetulnya tidak ghalib penggunaannya di wilayah NTB. Namun lambat laun istilah tersebut mulai terdengar meskipun masih terasa janggal karena tidak biasa. Apakah ulama perempuan ini sama dengan ulama laki-laki? Bila menilik zaman Rasulullah SAW, sosok Aisyah ra tentunya merupakan figur yang terekognisi sebagai ulama perempuan. Dalam belantara khazanah Islam yang sangat luas bahkan, jangankan berpikir tentang ulama, Nabi perempuan pun ada. Bahkan untuk menjadi hakim pun perempuan bisa. Pandangan ini pernah disuarakan oleh Syaikh Abdur Ra’uf As-Sinkily. Ia tidak mensyaratkan bahwa hakim itu harus laki-laki.

Oleh karena itu, saat Masnun aktif di PWNU, ia memberikan keleluasaan untuk perempuan Muslimah berpartisipasi dan terlibat aktif. Demikian juga ia memberlakukan keleluasaan yang sama di kampus UIN Mataram yang ia pimpin. Salah satu hasil, misalnya, UIN Mataram sudah mencetak guru besar perempuan, di antaranya adalah Profesor Atun Wardatun. Selain itu, nama Nyai Halimah Turmuzi di NTB dari sisi eksistensi cukup diperhitungkan.

Akan tetapi dalam praktiknya, penerimaan perempuan baik sebagai tokoh maupun sebagai figur ulama masih membutuhkan komitmen yang kuat. Di kalangan intelektual sekalipun tidak mudah melakukan penetrasi pemahaman ini. Oleh karena itu, kehadiran KUPI sebagai sebuah jejaring keulamaan menjadi angin segar bagi banyak pihak. Karena pendekatan istilah keulamaan perempuan adalah based on knowledge sehingga istilah tersebut bisa menyentuh semua kalangan. Selain, secara subtansi ia lebih mengena.

Dengan adanya KUPI, argumentasi akademik pun menjadi lebih kuat dan bisa menjadi kesadaran politik juga. Dengan begitu, kehadirian KUPI ini bisa menjadi bagian ijtihad konstitusi dan kesadaran kolektif karena dilakukan secara terstruktur, sistemik, dan massif. (EditorMRC)