Ncek Utih

Feeling musiknya cukup kuat. Ketika saya memainkan beberapa akord gitar yang tidak saya stem standar, ia bisa mengetahuinya persis tanpa melihat. “Yang kamu mainkan barusan, nada dasarnya F,” katanya.

Nama lengkapnya Sayuti Mukhtar. Kami memanggilnya Bapak Utih, karena dia adik kandung ibu kakak ipar saya. Tapi orang-orang memanggilnya Ncek Utih. Semasa bujang, saya tinggal di kediaman kakak yang berdomisili di Selagalas, Cakranegara. Di tahun 1990an, Ncek Utih hampir setiap bulan berkunjung. Tetapi lebih sering saya yang menemaninya duduk di ruang tamu.

Ncek Utih lahir di Kampung Banjar, Ampenan, di jaman Belanda. Setelah menikah, ia pindah ke Gerunung, Praya, Lombok Tengah. Orang tuanya pendatang dari Banjarmasin, Kalimantan. Itu sebabnya panggilannya Ncek, sebutan orang Sasak bagi mereka yang berasal dari etnis Banjar.

Oleh: Buyung Sutan Muhlis

Ia merasakan hidup di tiga jaman. Masa pendudukan Belanda, jaman Jepang, dan kemerdekaan. Tetapi ia lebih mengingat jaman penjajahan negeri matahari terbit itu. Saat itu ia sudah remaja. Ia telah menguasai beberapa alat musik. Diantaranya gitar dan biola.

BACA JUGA:  MISTERI WALI AMAT (1)

Kemampuannya memainkan alat musik itu, membuatnya terhindar dari kekejaman serdadu Jepang.

“Saya sendirian yang tidak pernah ikut kerja paksa. Orang-orang ditempeleng dan dianiaya jika menolak kerja rodi. Saya justru dijemput ke rumah, diperlakukan baik-baik. Saya ikut saja, diajak ke tempat para opsir. Di sana mereka meminta saya memainkan gitar. Mereka ikut bernyanyi. Saya dibuatkan teh dan dijamu dengan biskuit yang enak-enak,” kenangnya, lalu menyebut beberapa judul lagu Jepang, antara lain Aikoku no Hana dan Sakura, keduanya lagu propaganda Dai Nippon.

Ncek Utih punya keahlian lain di luar musik. Ia pandai menjahit. Profesi ini juga umumnya didominasi komunitas Suku Banjar di Ampenan, selain terkenal sebagai pembuat aneka wadai (jajanan, bahasa Banjar).

BACA JUGA:  Shalat Tarawih di Hagia Sophia

Di Praya, Ncek Utih seorang penjahit kawakan. Tetapi sering ia meninggalkan pekerjaannya karena selalu keranjingan bermain musik.

“Tahun 1980an, anak-anak muda di Gerunung beliau ajari musik. Setiap latihan kalau tidak ada Ncek Utih akan terasa ada yang kurang. Maka sayalah yang selalu jemput beliau ke rumahnya,” kata Lalu Saheroji (Jang Ojik).

“Wah, saya masih ada kerjaan,” jawab Ncek Utih yang sedang sibuk di depan mesin jahitnya.

“Nanti dilanjutkan, Ncek. Saya ada bawa beras, supaya Ncek tidak perlu pikirkan dapur hari ini.”

“Begitu? Baik. Ayo kita bermain musik!” Ncek Utih segera bangkit.

Di tempat latihan, Ncek Utih begitu bersemangat.

“He, anuk, kalian semua, bawa itu, lagu anuk, itu lagunya Dian Piesesha. Anuk, Arman, pegang gitar rhythm. Jun, kamu pegang anuk, itu biola. Ayo mulai!”

BACA JUGA:  Kawasan Kaldera Gunung Purba

Setiap bicara ia kerap menyebut anuk.

Ncek Utih salah seorang perintis musik di Praya. Ada beberapa keluarganya yang sama-sama bermukim di ibukota kabupaten itu, juga jago-jago musik. Mereka punya andil menularkan hobi musik pada para pemuda. Tak heran jika di tahun 1980 hingga 1990an, grup-grup band bermunculan di Praya. Kemampuan musik mereka tak kalah dengan para musisi di Kota Mataram.

Lelaki yang sering berkopiah itu telah lama wafat. Tetapi saya tak pernah lupa wajah dan gayanya bicara. Selalu melintas sosoknya setiap saya mendengar lantunan suara emas Dian Piesesha.

Malam ini tak ingin aku sendiri
Kucari damai bersama bayanganmu
Hangat pelukan yang masih kurasa
Kau kasih, kau sayang (Buyung Sutan Muhlis)

Foto: Koleksi BSM