PETUALANGAN DUA ANTROPOLOG AUSTRALIA BERBURU LÉAK DI LOMBOK (Bagian 3)

Oleh : Buyung Sutan Muhlis

Sepekan menjelang tutup tahun 2020, saya menghubungi Zulhakim, melalui pesan WhatApp. Zul, begitu dia dipanggil, seorang warga Ampenan. Saya bertanya padanya, kapan saya bisa dipertemukan dengan seorang papuq (nenek/kakek, bahasa Sasak). Seorang lelaki sangat uzur. Usianya lebih dari satu abad.

Papuq itu suatu pagi menemukan seorang lelaki yang tergeletak di sawah. Kondisinya sangat parah. Sekujur tubuhnya terluka bekas cakaran.

“Dia menolong lelaki itu, membawanya pulang dan merawatnya,” kata Zul.

Setelah siuman, dia bercerita tentang peristiwa yang menimpanya hingga membuatnya babak belur.

Lelaki itu ternyata sangat mendambakan memiliki kedigdayaan. Tetapi ia ingin mendapatkannya secara instan.

Akhirnya ia mendapat petunjuk. Kesaktian ia bisa dapatkan, dengan syarat ia harus berhasil memperkosa tusélak wanita!

“Konon, jika berhasil memperkosa, semua ilmu yang baik-baik berpindah pada pemerkosanya. Yang tersisa pada tusélak hanya ilmu yang buruk,” terang Zul.

Sambil mendengar penuturannya, melintas di pikiran saya, bagaimana pula jika tusélak perempuan itu ternyata masih gadis atau perawan? Boleh jadi pemerkosanya seketika mendapat transfer kesaktian mandraguna. Tetapi saya tidak menanyakannya.

Lelaki itu nekat mencari tempat yang sering dikunjungi kaum tusélak. Akhirnya ia berhasil bertemu dengan calon korbannya. Namun, naas, begitu ia hendak melaksanakan hajatnya, ia mendapat perlawanan. Tusélak betina itu begitu tangguh. Dengan mudah ia melumpuhkan lelaki itu dan mencabik-cabiknya. Sampai dia tak sadarkan diri, dan keesokan paginya ia ditemukan dalam kondisi yang mengenaskan.

Dan benak saya kembali menemukan satu sudut pandang. Jangankan manusia (wanita) normal, tusélak saja tak sudi diperkosa. Ia melawan sejadi-jadinya mempertahankan kehormatannya. Kehormatan adalah kehormatan, itu juga berlaku pada kaum tusélak. Wajar jika sanksi hukum pidana sangat berat yang ditimpakan kepada para pemerkosa.

BACA JUGA:  De Jangkok-Brug Ampenan

Beberapa hari sebelumnya saya berbincang serius dengan Zul, tentang alam mistik di Lombok.

Beberapa kali nama tusélak masuk ranah hukum. Sebut saja kasus tewasnya seorang wanita yang diduga pewaris ilmu hitam itu. Mayatnya ditemukan di sawah milik seorang warga. Ketika pemilik sawah dihadirkan untuk memberikan kesaksian, jawabannya mengejutkan.

“Saya memang membunuh sesuatu di malam itu. Tapi yang saya bunuh seekor babi. Keesokan paginya saya memeriksa tempat hewan yang mati itu. Bukan babi yang saya temukan, tapi sesosok mayat perempuan,” jelas pemilik sawah yang mengaku tanamannya sering diobrak-obrak kawanan babi.

Lantaran banyak warga yang membenarkan bahwa perempuan yang terbunuh itu seorang tusélak, perkara itu tidak diteruskan.

Saya bertanya, senjata apa yang digunakan pemilik sawah menghabisi makhluk yang menyerupai hewan bertaring itu?

“Dia pakai batang kayu kelor. Di kampung itu para warga memang yakin bahwa perusak tanaman di lahan mereka adalah sélak. Itu sebabnya mereka menyiapkan kayu itu untuk menghadapi gangguan tusélak,” ucap Zul.

Tanaman kelor belakangan menjadi primadona pemburu ramuan herbal. Bermacam khasiat ditemukan pada tumbuhan yang berasal dari Pegunungan Himalaya ini. Tapi berabad-abad sebelumnya, kelor sangat dekat dengan dunia magis. Tanaman ini telah digunakan dalam pengobatan di India sekitar 5.000 tahun yang lalu. Para tabib di Yunani, Romawi, dan Mesir kuno, juga memanfaatkannya. Pohon ini dianggap obat mujarab, sehingga disebut sebagai Pohon Ajaib dan Pohon Ilahi. Kandungan energi yang terkandung dalam batang dan daunnya diyakini mampu memusnahkan segala pengaruh ilmu hitam, di samping manfaat positif lainnya.

BACA JUGA:  Tuak, Minuman Tradisional Lombok Warisan Kerajaan Karangasem?

Kembali pada rombongan pemburu tusélak yang tengah dicengkam ketegangan.

Bado mengumumkan kepada seluruh anggota kelompok, bahwa Ken Macintyre tidak jatuh dari tanggul tetapi didorong oleh bakeq non Muslim. “Ada banyak jin primitif di sini. Ini negeri jin. Kita seharusnya tidak berada di sini. Ini tempat yang berbahaya,” serunya.

Musta menambah suasana lebih mencekam ketika ia mengatakan bahwa dia telah melihat seekor anjing putih besar berlari melewati
Ken Macintyre, beberapa menit sebelum bule itu terjatuh.

Lalu buru-buru dengan suara gugup
Bado meralat omongannya. Itu berarti bukan jin yang mendorong Ken Macintyre melainkan tusélak. Mereka kerap menyamar menjadi anjing, ayam, bahkan ular untuk mendekati korbannya. “Mereka sangat licik, oleh karena itu kita harus selalu waspada sepanjang malam ini,” tambahnya.

Mereka tidak peduli keterangan Ken Macintyre yang menjelaskan terjatuh lantaran ketaksengajaan, akibat tersandung tali sepatunya yang tidak terikat. “Tapi
saya tidak dapat meyakinkan mereka. Mereka terus berdebat mengenai identitas makhluk gaib yang mendorong saya hingga terjatuh di tanggul,” kata Ken Macintyre.

Antropolog itu lalu bertanya pada Musta, apakah dia bisa memijat pinggulnya agar rasa sakit reda. Tukang urut itu lalu memijatnya dengan enggan dan nampak berhati-hati. Ada kekhawatiran makhluk halus mungkin masih menguasai tubuhnya. Dalam beberapa menit rasa sakit di pinggang bule itu mulai lenyap. Mereka tak menyadari keadaan semakin sunyi senyap. Ternyata tinggal Musta dan Ken Macintyre saja yang berada di tempat itu.

BACA JUGA:  Musholla Lombok Rasa Tiongkok

“Ke mana mereka pergi?”

Dia tampak bingung.

“Saya tidak tahu,” katanya.

Setelah satu jam menunggu, mereka akhirnya kembali.

“Mereka sekarang bersuara keras, sekeras yang mereka bisa, seolah-olah untuk membangunkan orang mati,” kata Ken Macintyre.

Tetapi Musta menjelaskan, itu dilakukan untuk memastikan bangsa jin yang mendengar mereka akan menyingkir.

Mereka tambah mendekat. Cahaya senter Bado menyorot seperti hantu di tengah suasana sawah yang berkabut. Dia muncul dari kegelapan mengenakan celana militer dengan desain kamuflase hutan. Semua pemuda telah melepas kemeja, bertelanjang dada. “Ketika saya bertanya mengapa mereka melepas kemeja, Bado menjawab bahwa tusélak tidak dapat melihat seseorang yang telah melepas bajunya,” katanya.

Bule itu masih sempat bertanya dalam hati, perkara mereka tidak bisa dilihat apakah lantaran kulit mereka yang berwarna gelap berbaur dengan kelam malam, atau ada alasan misterius tersembunyi lainnya?

“Saya bertanya kepada Bado, mengapa tusélak tidak bisa melihat orang yang tanpa baju. Dia mengangkat bahu dan berkata, itu adalah sarat. Ini jawaban umum untuk banyak pertanyaan menyelidik yang meminta penjelasan tentang ritual tradisional dan legenda rakyat. Sarat secara sederhana berarti kondisi yang diperlukan atau persyaratan yang ditentukan oleh suatu adat,” lanjutnya.

Kemudian Rudi mengatakan siap untuk memulai ritualnya. Dia membawa serta dua mangkuk putih besar yang dia pinjam dari dapur ibunya. Di dalam salah satu mangkuk nampak enam ekor kepiting. (Bersambung)