PETUALANGAN DUA ANTROPOLOG AUSTRALIA BERBURU LÉAK DI LOMBOK (Bagian 1)

Tidak saya sangka, postingan saya berjudul “Riset Ilmuwan Eropa tentang Léak Lombok”, boleh saya katakan viral. Tulisan ini di-share hingga ribuan kali. Sejumlah portal berita online bahkan mengutip dan memostingnya. Tulisan yang bahkan melebihi jangkauan postingan saya berjudul “Sebuah Kota yang Hilang di Lombok”, juga menjadi status di akun ini, beberapa tahun lalu.

Oleh : Buyung Sutan Muhlis

Viralnya postingan itu, berdampak pada peningkatan drastis pertemanan di akun FB saya. Ada hampir 1000 netizen yang telah saya konfirmasi dalam 2-3 hari terakhir.

Atas respon netizen, baik yang menghadiahi emoticon di status itu, membagikan, mengomentari, dan mengajukan pertemanan setelah membacanya, saya mengucapkan terima kasih. Setidaknya, saya telah berhasil membuat feedback (umpan balik) sebagaimana yang didambakan setiap penulis di dunia ini. Dengan satu tulisan sederhana itu, saya telah membangun silaturahmi dengan lebih banyak manusia, walaupun saya tidak atau belum bertatap muka.

Status saya di lembar hari pertama tahun ini masih fokus pada tusélak, sélak, atau léak yang pernah menjadi momok di masanya. Ketika peradaban semakin moderen, cerita tentang siluman lokal itu belum hilang dari ingatan kolektif. Meski sosok transformasinya sudah jarang muncul, namun nama sélak melekat atau akrab dalam kehidupan masyarakat. Para ibu di Kota Mataram hampir setiap hari menyebutnya. Mereka bangun pagi-pagi, agar tak telat sampai ke pasar sélak. Sélak punya pasar?

Yang dimaksud pasar sélak adalah aktifitas pedagang yang berlangsung di pagi buta. Mereka datang sebelum pedagang resmi tiba di pasar-pasar tradisional. Biasanya pedagang-pedagang itu hanya menjajakan jualannya di pinggir jalan depan pasar. Segala keperluan dapur mereka tawarkan dengan harga miring. Wajar saja lebih murah, karena para pedagang tersebut tidak menyewa tempat dan retribusi seperti pedagang resmi. Mereka meninggalkan pasar ketika hari mulai terang.

Aktifitas jual-beli sebelum matahari muncul itu akhirnya disebut pasar sélak. Sebab tusélak identik dengan malam hari atau keadaan gelap, di saat-saat para léak melakukan ritual dan aktifitas mencari mangsa.

Kata sélak juga masuk dalam daftar menu sejumlah restoran di wilayah perkotaan. Sebut saja nasi goreng, nasi, dan sambal sélak. Nama sélak tanpa disadari telah menjadi kesepakatan untuk merujuk pada sesuatu yang antimainstream. Misalnya seseorang yang makan terlalu rakus, maniak, atau kelewat bernafsu mengonsumsi suatu jenis makanan dan minuman, praktis dikategorikan sebagai sélak. Saya sendiri yang sangat menggemari kopi pernah dijuluki sélak kupi.

BACA JUGA:  PETUALANGAN DUA ANTROPOLOG AUSTRALIA BERBURU LÉAK DI LOMBOK (Bagian 2)

Baiklah, saya kembali pada tema tulisan ini, agar tidak ngalor-ngidul.

Pada postingan terdahulu, saya mengutip beberapa literatur yang ditulis para periset Eropa. Ternyata, ketertarikan mengangkat tusélak sebagai obyek penelitian tak hanya dilakukan para ilmuwan Belanda.

Pasangan Ken Macintyre dan Barbara Dobson dari Australia pernah tinggal di Lombok sejak 1992 hingga 1997. Mereka membangun beberapa proyek penelitian mengusung isu-isu tradisional, salah satunya studi tentang tusélak.

Ken Macintyre dan Barbara Dobson memiliki jam terbang selama 60 tahun sebagai antropolog, selain mengajar di Curtin University dan University of Western Australia. Keduanya mencurahkan waktu dalam penelitian dan investigasi terkait dokumen etno-historis. Mereka mencoba merekonstruksi gambaran kontekstual dari aspek kehidupan adat dan tradisi di sejumlah belahan dunia yang dinilai telah tergerus jaman.

Dari pergumulan yang sangat intens di bidang yang mereka minati ini, melahirkan komitmen dan sikap tegas. Bahwa kebudayaan dan adat-istiadat berikut mitologi yang menyertainya, tidak boleh diremehkan. Alasannya, “Semua budaya menyediakan kerangka untuk bertahan hidup,” tulis Ken Macintyre di salah satu situs yang dikelolanya.

Antropolog itu memaparkan, di Lombok, tusélak adalah bagian sehari-hari dari cerita rakyat. Siluman perpaduan antara penyihir kanibalisme tradisional yang bisa berubah bentuk, tukang sihir yang kejam, dan vampir Hollywood yang mengerikan. “Tusélak di Lombok adalah versi regional manifestasi vampir-penyihir, ditemukan dalam tradisi Asia Tenggara termasuk léak Bali dan aswang di Filipina,” ungkapnya, dan menjelaskan Barbara Dobson pernah melakukan kerja lapangan antropologis di Filipina antara 1979-1982.

Di sebuah desa ia berkonsultasi dengan seorang warga bernama Amaq Bahar. Ia dukun yang ahli dalam segala hal yang misterius.

BACA JUGA:  Kiamat Kecil di Pulau Lombok

Ken Macintyre memperoleh gambaran tentang tusélak yang selain memiliki kemampuan bermetamorfosis, sering terlihat sebagai manusia yang kebanyakan berusia lanjut. “Tusélak tertua adalah siluman yang paling berbahaya. Tubuh kurus, disertai wajah pucat, rambut putih kotor panjang kusut, mata kosong yang menangis dan bau busuk yang menyebar dari tubuh mereka yang beraroma bangkai,” ujarnya.

Penelitian Ken Macintyre tentang tusélak melibatkan sejumlah informan lokal.

Tusélak, demikian Ken Macintyre, menurunkan roh melalui keluarga tertentu dari satu generasi ke generasi berikutnya. Keturunan yang terpilih akan mewarisi ilmu tusélak. “Sejak roh memasuki tubuh barunya, ia membutuhkan penguasaan atas pikiran dan materi, melahirkan kepribadian yang jahat dengan nafsu rakus akan darah dan jeroan manusia,” katanya.

Para tusélak juga berafiliasi dengan tukang séhér dan dukun-dukun keji. Melalui mereka tusélak juga menyebarkan pengetahuan dan tradisi jahatnya ke dalam jiwa penduduk desa yang tidak menaruh curiga. “Setelah termakan oleh kekuatan jahat ilmu tuselak, mereka akan dikutuk ke dalam kehidupan kejahatan dan kebejatan yang tak terkendali,” lanjutnya.

Saya teringat sebuah penjelasan tentang cara lain seseorang berubah menjadi tusélak, saat melakukan investigasi beberapa tahun silam. Orang-orang awam yang datang menemui belian (tabib lokal) untuk keperluan berobat, kerap menjadi obyek transfer ilmu hitam tersebut. Bukan penangkal penyakit yang didapatkan. Tapi, tanpa disadari, pasien dimaksud telah menjalani ritual pewarisan ketusélakan, dari tukang séhér berkedok belian.

Di suatu malam, Bado, salah seorang informan mendatangi Ken Macintyre. Lelaki itu juga menjadi asistennya selama meneliti di Pulau Lombok. Bado bercerita, Rudi, temannya dari kampung tetangga, menguasai ritual memanggil tusélak.

“Saya bertanya kepada Bado di mana acara itu akan dilangsungkan. Dia menjawab, tempatnya di luar desa, di persawahan dekat sungai kecil di tepi hutan. Saya bertanya apakah ada masalah dalam pembuatan film dokumentasi acara tersebut. Dia berkata tidak masalah. Pertanyaan terakhir saya adalah, berapa biayanya untuk keperluan itu? Dia menatap saya dan tersenyum ragu-ragu, lalu berkata, jika kita melihat tusélak, terserah berapa banyak uang yang Anda bayarkan,” tuturnya.

BACA JUGA:  Legend of The Gang Bawi

Dari penuturan itu, saya benar-benar mengapresiasi keseriusan bule itu dalam melaksanakan riset tentang tusélak. Bertahun-tahun ia meninggalkan negerinya. Tentu saja telah mengeluarkan biaya yang tak sedikit, untuk sesuatu yang saat ini disepelekan bahkan hampir dilupakan. Sebagian orang, bahkan orang lokal sendiri hanya menjadikan sosok tusélak sebagai bahan cerita untuk mengisi kejenuhan. Lalu sebagian lainnya yang sok moderen akan menyahut, “Ah, mitos. Hoaks. Tahayul!”

Malam itu juga Ken Macintyre menyewa kendaraan dan sopirnya sekalian. Ia dan Barbara Dobson ditemani Bado, Musta, Rudi, dan Ahmad. Rudi, si pemanggil tusélak, mengaku memperoleh pengetahuan itu dari adik ibunya. “Dia sangat terkenal sehingga orang-orang mengira dia tukang séhér,” tulisnya.

Perjalanan yang menyita waktu beberapa jam itu berhenti di sebuah persawahan. Udara cukup sejuk, lembab, dan sedikit berkabut. “Pemandu kami semuanya sangat gugup saat mereka menyorotkan obor ke segala arah sambil membuat suara sebanyak mungkin. Maksudnya untuk menakut-nakuti jin, setan, dan agen supernatural lainnya yang mungkin bersembunyi dalam kabut. Kami berjalan melewati sawah-sawah yang mengering. Akhirnya kami tiba di tempat tujuan di dekat sungai di tepi lereng bukit berhutan lebat. Suasana di tempat itu sangat menakutkan,” ungkap Ken Macintyre.

Dari kejauhan, lelaki itu mendengar hiruk-pikuk teriakan kucing liar ditingkahi suara kodok. “Dengarkan kucing-kucing itu,” kata Ken Macintyre pada Barbara

Tapi Bado menyela.

“Tidak. Tidak, Tuan Ken, mereka bukan kucing, mereka adalah bebai, anak tusélak. Tempat ini jahat dan Anda harus berhati-hati terhadap jin, bakek (hantu), dan tusélak. Pembunuh dan pencuri bersembunyi di tempat-tempat gelap di tepi sungai ini, terutama di dekat jembatan,” sahutnya.

Ken Macintyre melihat Bado menunjuk ke dalam kegelapan. Pemuda itu mengucap doa-doa. Tubuhnya berkeringat, walaupun udara cukup dingin. Ia nampak ketakutan, di tengah sawah terpencil dan sepi itu.

Bagaimana kelanjutan petualangan dua antropolog dari Australia yang sangat berhasrat bertemu tusélak itu? Meminjam kalimat klasik sandiwara radio dan sinetron: Nantikan di episode selanjutnya! (Bersambung)