Oleh : Dedi Suhadi

(Bagian 2 dari 4 Tulisan Prahara Kedatuan Lombok Dalam Bingkai Sejarah)

Kerajaan Selaparang tumbuh dalam dua periode, yakni periode Hindu dan periode Islam. Pada masa Selaparang Islam ini, nama Arya Sudarsana atau Arya Banjar Getas mulai muncul.

H Lalu Lukman dalam Pulau Lombok dalam sejarah menulis menjelang akhir abad XVII ada dua kerajaan besar di Lombok yakni Kerajaan Selaparang di Lombok Timur dan Kerajaan Pejanggik di Lombok Tengah.

Masjid Pusaka Selaparang di Selaparang, Desa Ketangga, Kecamatan Suela Lombok TImur

Saat itu, Arya Banjar Getas bersama rombongannya dari Jawa Timur sampai di kerajaan Sokong.  Sepeninggal istrinya, Datu Sokong ingin membuat patung permaisurinya sebagai kenangan. Keinginan  Datu Sokong  disanggupi Arya Banjar Getas.

Saat waktu penyerahan, karena ada keperluan patung ditinggal di atas meja. Seekor lalat hinggap di atas kemaluan patung dan meninggalkan bekas titik hitam.

Ketika menerima patung permaisurinya, Datu Sokong sangat senang. Setelah diperhatikan lebih teliti, terjadi perubahan sikap Datu Sokong. Sebabnya, titik hitam bekas lalat di atas kemaluan patung.

Datu Sokong mengira, istrinya serong. Atas hal itu, Datu Sokong mengambil keputusan untuk membunuh Arya banjar  Getas.  Keputusan itu bocor dan Arya Banjar Getas melarikan diri.

Dalam pelarian, Arya Banjar Getas sakit di daerah Wanasaba. Iapun bernadzar, jika sembuh akan menghadap raja. Setelah sembuh dan mendapat persetujuan, Arya Banjar Getas segera pergi menghadap. Sesampainya di Selaparang, rakyat ramai menanti kedatangan Arya Banjar Getas termasuk para penghuni istana. Tanpa disadari, seorang putri yang penasaran jatuh dari tangga sehingga terjadi kegaduhan di istana.

Raja pun marah dan berniat menghukum Arya Banjar Getas. Arya Banjar Getas berhasil meloloskan diri dan akhirnya mengabdi kepada Pemban Mas Merasa Kusuma, Raja Pejanggik.

BACA JUGA:  Memburu Arya Banjar Getas dan Kemelut Pejanggik

Lalu Muhammad Azhar berbeda pendapat. Menurutnya, Arya Sudarsana memulai karirnya sebagai prajurit Selaparang dan  berperang melawan VOC pada 1675. Karir keprajuritannya melejit setelah terjadi peperangan dengan kerajaan Gelgel pada 1677 dan 1678.  Sebelumnya, pada 1616, 1624 dan 1630 kerajaan Gelgel melakukan penyerangan ke Selarapang namun selalu gagal.

Setelah berhasil mempertahankan Selaparang dari Serangan kerajaan Gelgel bersama panglima yang lain, Arya Sudarsana kemudian diangkat menjadi patih.

Sebagai bentuk terima kasih, Arya Sudarsana bermaksud menghadap raja dengan membawa persembahan dan sawur paksi (pelepasan burung).

Namun, sebelum acara persembahan dilakukan terjadi kegaduhan di puri akibat permaisuri jatuh dari tangga. Didorong rasa amarah, raja memerintahkan Pati Waringin menghalau Arya Sudarsana bersama para pengiringnya.

Hal ini digambarkan Babad Selaparang pupuh 5 – 9, terjemahannya,

“Dari desa kecil (perigi) tersebut Arya Banjar  (namanya) adalah patih kelima, akan menghadap menghaturkan persembahan kepada sang raja, diiringi 40 orang laskar laki-lakinya mengenakan busana serba putih (pupuh 5).

Membawa burung (merpati) serba putih pada hari senin tanggal 14 (dan) ketika mereka sampai di ibukota (Selaparang) orang-orang yang menyaksikan bersorak sorai (kegirangan), tua muda besar kecil laki wanita semua menyaksikan kehadiran mereka (sementara) ada yang memberitakannya kepada raja (pupuh 6).

Riuh rendah di dalam puri, para putrinya ingin menyaksikan para tamu (yang datang) dari desa lain, berbusana bagus serba putih dan rapi, termasuk pula permaisuri sang raja (malah) ingin menyaksikan dari atas, (lalu) mengambil tangga (kemudian) naiklah sang putri tersebut di atas tangga itu (pupuh 7).

Memang janji Allah, setelah sang putri di atas, tangga pun rebah, lalu jatuh terjerembab sang putri ke tanah; (sementara) akhirnya para pengawalpun jadi panik di dalam puri, laki wanita banyak yang menangis, ada pula yang membopong sang putri (pupuh 8).

Di bopong ke dalam istana, sang putri dalam keadaan tak sadarkan diri, sementara sang raja pun jadi kebingungan, begitu kesal pada para tamu yang menghadap, hingga (tak terkontrol)   ucapannya yang keluar, memerintahkan para pengawal memukul kentongan (bulus) agar laskar segera berdatangan (pupuh 9).

Dijelaskan, dalam pupuh selanjutnya perintah raja bukan hanya pengusiran Arya Sudarsana dari istana Selaparang tapi berlanjut ke penyerangan Desa Perigi .  walau penyerangan terjadi selama dua tahun yakni pada 1716 hingga  1717, namun Selaparang belum berhasil menaklukan perigi yang dibentengi 1500 rakyat.

BACA JUGA:  Pranata Peninggalan Leluhur

Pupuh 15- 16  babad Selaparang menceritakan hal ini, “Desa Perigi dikepung, Arya Banjar lalu keluar bersama para laskarnya, sudah berhadap-hadapan (lalu) bertemu dengan patih Waringin yang sama-sama memegang tombak (dan) arya Banjar bertanya lemah lembut.”

Wahai patih mengapa anda mengepung kami padahal saya tak pernah bersalah?. Patih Waringin lalu menyahut, “saya hanya menerima perintah raja bahwa anda telah berbuat kesalahan besar, telah menjadikan orang menderita, lalu patih Waringin mulai mengayunkan tombaknya.”

Bagaimana babad Lombok menceritakan peperangan itu, terlihat dalam pupuh 979 -980 menjelaskan, “Prabu Lombok wawu dura, maring prajuritira ring desa cili, Banjar Getas namanipun, desanya memeranga, putrinira sang nata kedanan kayun, ring ki patih Banjar Getas, karaning bendu sangaji (pupuh 979).

Desapunika rinujak pirang tahun, prandana nora surut, sang prabu Lombok hangutus, ngundang prajurit Banjar, sampun kondang prajurit kang kasub, haran pelo lan sutrabaya, sareng wong selakawis (pupuh 980).

Terjemahnya… Prabu Lombok (maksudnya: Kertabumi sebagai raja Lombok/Selaparang) kesal kepada prajuritnya di sebuah desa kecil, Banjar Getas namanya, yang dibela warganya, (peristiwa bermula) karena putri raja tergila-gila pada patih Banjar Getas hingga raja pun marah. Desa tersebut lalu digempur, (walau demikian) bertahun-tahun tak terkalahkan, (sehingga) Prabu Lombok mengundang prajurit Banjar (yang dipimpin) dua orang prajurit tersohor yakni Patih Pilo dan Patih Sutrabaya membantu orang-orang Selapawis (Selaparang) .”

Mencermati catatan dalam babad, Lalu Azhar cenderung menilai  kemelut yang melibatkan Arya sudarsana dengan  jatuhnya putri istana dari tangga  (simbolisasi wanita) adalah kemelut tahta (kekuasaan).

BACA JUGA:  Roemah Toea di Kopang Pedalaman
Wilayah Kekuasaan Keraajaan Islam Selaparang

Setelah mendapat bantuan dari kerajaan Banjar, Selarapang berhasil menghancurkan pertahanan rakyat Perigi dan Arya Sudarsana melarikan diri. 

Dalam pelarian, Arya Sudarsana bertemu dengan wayah Petawis (Pun Petawis) seorang penjaga hutan. Sebagaimana diceritakan Babad Selarapang pupuh 83, “Dengan tutur kata lemah lembut menerima (kehadiran Arya Banjar) duhai pemuda, syukur sekali Bapak disinggahi,  nanda suka datang kemari, walau bapak ini orang tua miskin serta kurang dalam segala ,dalam berbahasa maupun bertingkah laku, (karena) hidup miskin bersama anak saya, bekerja sebagai penjaga hutan, setiap hari meronda hutan ini agar tanaman ini terpelihara baik.”

Dari sana, Arya Sudarsana meneruskan pelariannya  hingga ke Pengsing (Pena). Atas saran Demung Pena, Arya Banjar mengabdikan dirinya ke Pemban Meraja Kusuma, Raja Pejanggik.

Sebagaimana termaktub dalam pupuh 111 babad Selaparang.  “Lingnya ki dukuh wewarah, dukring benjang haneng pejanggiq, sira serah sepati huripmu, maring sang Mraja Kesuma, hing Pejanggiq ratu linuih”. “Kata ki dukuh mengarahkannya, kelak pergilah ke pejanggiq, disana anda serahkan hidup matimu (baktimu) kepada sang Raja Mraja Kesuma, raja yang berkuasa di sana.”

Usai mendapat pencerahan, Arya Sudarsana akhirnya menghadap raja pejanggik, sebagaimana tertulis dalam Pupuh 115 Babad Selaparang. “Haduh Gusti, kula hiki wong kasiyani, kasore perang tanpa dosa, kula hiki saking Desa Perigi, haran Sudarsana”. “Duhai Gusti (raja), hamba ini sedang sengsara, kalah diperangi tanpa bersalah, hamba berasal dari Perigi bernama Sudarsana.” (Bersambung)

Penulis adalah Wartawan Senior, tinggal di Ranjok, Gunungsari, Lombok Barat