Oleh : Dedi Suhadi

Bagian 3 dari 4 Tulisan Prahara Kedatuan Lombok Dalam Bingkai Sejarah

Perburuan terhadap Arya Sudarsana terus dilakukan oleh pasukan Selaparang dan sekutunya. Mereka menyebar telik sandi ke berbagai wilayah yang dicurigai termasuk ke Pejanggik. Akhirnya, seorang telik sandi menerima kabar kalau Arya Sudarsana ada di Pejanggik. Informasi itu dilanjutkan secara berjenjang hingga sampai ke Selaparang.

Selang beberapa waktu, pasukan Selaparang dipimpin Dipati Ranggabaya menuju Pejanggik membawa surat Raja Selaparang, Pemban Kertabhumi.

Pertemuan utusan Selaparang dengan Pemban Pejanggik, Mraja Kesuma berlangsung di bencingah purnang. Namun, pertemuan itu tidak membuahkan hasil. Raja Pejanggik tetap pada keputusannya melindungi Arya Sudarsana. Akhirnya, Dipati Ranggabaya pulang ke Selaparang dengan tangan hampa. Kondisi ini menimbulkan keretakan hubungan antara Selaparang dengan Pejanggik.

Arya Sudarsana yang mendapat perlindungan dari Raja Pejanggik, semakin akrab. Keakraban ini menimbulkan bisik-bisik di kalangan istana. Bahkan Arya Sudarsana atau Arya Banjar mendapat  tambahan nama Getas karena telah berpindah (beralih).

BACA JUGA:  Kiamat Kecil di Pulau Lombok

Ini terlihat dalam Babad Selaparang Pupuh 156, “Tegesing Getas sampun krusakin, tegesing Banjar akediq leretannya pan dados lurah hing desa alit, semangkanepun Arya Sudarsana dukring mangkin namane Arya Banjar Getas, kewastra hing sedaya iku, pan kesiaran dining Nalendra, kewarnaha permadi Menteri Besar Kerajaan Selaparang tahun 1865 seribupati, rangga, pepatih lan demung-demang”.

Pemban Pejanggik pada 1718 mengangkat  Arya Banjar Getas  sebagai patih Pejanggik.  Dengan kekuasaanya,  Arya Banjar Getas menjalankan politik Rerepeq (menjatuhkan / merubuhkan= menaklukan ) kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Pejanggik dan  Pejanggik tumbuh menjadi kerajaan besar.

Sayangnya, besarnya wilayah Pejanggik  dibayangi kecemburuan sosial di kalangan istana.    Rangga Tapon, PatBale Belek Pejanggik, ih Pejanggik merasa diabaikan oleh rajanya. Sehingga ia tidak lagi menghadiri pertemuan istana. Hal ini menimbulkan pertanyaan di hati Pemban Pejanggiq.

Raja Pejanggik memerintahkan Bapen Punyut menanyakan kenapa Patih Rangga Tapon tidak menghadap ke istana. Atas pertanyaan itu, raja mendapat jawaban seperti tertuang dalam Babad Selaparang pupuh 164. “…..Wong Tapon tan ayun malih, hanangkil maring sang raja, mapan sang prabu nora tindih, pemadi kang pedek dadi tebih, punika harana katingsun, wani lengga neng sira, semangkana ucapan ning tulis, serat dadi tinampan seraka mantuka” . “..Orang Tapon tak sudi menghadap lagi kepada raja, karena prabu Mraja tidak konsekuen. Abdinya yang setia mati-matian jadi tersingkirkan. Itulah sebabnya sampai berani membantah, tak taat pada perintah.”

BACA JUGA:  PETUALANGAN DUA ANTROPOLOG AUSTRALIA BERBURU LÉAK DI LOMBOK (Bagian 2)

Setalah membaca surat dari patih Tapon, raja Pejanggik tersinggung. Ia memerintahkan untuk menyerang Tapon dan Arya Banjar Getas (ABG) menerima perintah itu.

Sesampai di Tapon, untuk menghindari korban tidak bersalah, ABG menemui Rangga Tapon dan terjadi perang tanding. Rangga Tapon berhasil dikalahkan dan berjanji akan kembali mengabdi ke Pejanggik.

Namun, era kebesaran Pejanggik diwarnai konflik antara ABG dengan Pemban Pejanggik. Lalu Lukman menulis, konflik diawali perilaku raja yang tidak senonoh. Raja yang tergila-gila kepada istri ABG, Lala Junti mencoba menodainya ketika ABG sedang menjalankan tugas ke Bali. Hal ini menimbulkan kemarahan ABG dan akhirnya memberontak kepada Pejanggik pada 1692.

BACA JUGA:  Guru Sekolah Tionghoa Pertama di Ampenan

Kewalahan menghadapi pasukan Pejanggik, ABG melarikan diri meminta Bantuan kerajaan Karang Asem Bali.

Sedang Lalu Azhar menyebut, kepergian ABG ke Karang Asem akibat konflik keluarga. Di Karang Asem, ABG bertemu I Gusti Bagus Alit dan mengajaknya bertemu raja Karang Asem, Anak Agung Ngurah Karang Asem.

Di Karang Asem, ABG mendapat penawaran bantuan pasukan jika ia akan menyerang Selaparang namun terlebih dahulu harus menyerang Pejanggik. Setelah ada kesepakatan,  ABG pulang ke Memelaq sambil menunggu pasukan dari Karang Asem.

Pada 1721, pasukan kerajaan Karang Asem tiba di Ampenan.  Sesampainya di Ampenan,  pasukan Karang Asem bergerak ke Memelaq bergabung dengan pasukan ABG. Setelah persiapan matang, pasukan gabungan  melakukan penyerangan  ke Pejanggik. Peperangan terjadi beberapa kali hingga Pejanggik dapat ditaklukan pada 1722. (Bersambung)

Penulis adalah Wartawan Senior, tinggal di Ranjok,Gunungsari Lombok Barat.