Lebih Dekat dengan Gus Yahya, Ketua Umum PBNU 2021-2026


MATARAMRADIO.COM – Hasil pleno Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) yang berlangsung di Lampung  pada Jumat (24/12) telah menetapkan KH Yahya Cholil Staqub sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2021-2026. Tokoh NU yang akrab disapa Gus Yahya ini mengalahkan senior dan gurunya KH Said Aqil Siradz dengan mengantongi 337 suara dari dari total 548 suara Muktamirin. Lalu siapa sebenarnya Gus Yahya?

MATARAMRADIO.COM mencoba menelusuri jejak rekam sang Kyai yang pernah menuai kontroversi karena kunjungannya ke negara Israel dan dikecam sejumlah tokoh Islam tanah air yang tak sejalan dengan pemikiran Gus Yahya.

K. H. Yahya Cholil Staquf, lahir  di Rembang Jawa Tengah pada 16 Februari 1966). Sebelum terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk masa jabatan 2021–2026,  Gus Yahya adalah Katib ‘Aam PBNU.

Gus Yahya adalah kakak kandung dari Menteri Agama Indonesia ke-24, yakni Yaqut Cholil Qoumas. Selain itu, ia merupakan  anak dari Muhammad Cholil Bisri, salah satu pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sekaligus kakak kandung dari KH Mustofa Bisri.  

Gus Yahya juga dikenal sebagai  pengasuh Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah.

Riwayat Pendidikan

Gus Yahya tercatat pernah menimba ilmu di pesantren dan ia adalah murid KH. Ali Maksum di Madrasah Al Munawwir Krapyak, Yogyakarta. Pada jenjang pendidikan tinggi, ia tercatat pernah menempuh pendidikan Jurusan Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada. Pada saat menjadi mahasiswa, ia juga aktif dalam Organisasi Ekstra Kampus sebagai Ketua Umum Komisariat Fisipol UGM Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta Periode 1986 – 1987.

BACA JUGA:  Dijuluki Raja Sawer Peresean, Haji Tanwir No Way!

Kiprah Yahya Cholil Staquf di NU adalah sebagai Sekretaris Umum Katib Syuriah PBNU sejak 2015-2020. Pada Muktamar NU di GSG Universitas Lampung, Gus Yahya ditetapkan sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2021-2026 yang menggantikan petahana KH. Said Aqil Siradj.

Gus Yahya pernah menjadi juru bicara Presiden RI KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada 31 Mei 2018, Gus Yahya dilantik oleh Presiden Jokowi menjadi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di Istana Negara, Jakarta.

Kiprah di Kancah Global

Gus Yahya pada tahun 2014, tercatat menjadi salah satu inisiator pendiri institut keagamaan di California, Amerika Serikat yaitu Bait ar-Rahmah li ad-Da’wa al-Islamiyah Rahmatan li al-‘Alamin yang mengkaji agama Islam untuk perdamaian dan rahmat alam.

Gus Yahya juga  pernah dipercaya menjadi tenaga ahli perumus kebijakan pada Dewan Eksekutif Agama Agama di Amerika Serikat – Indonesia yang didirikan berdasarkan perjanjian bilateral yang ditandatangani oleh Presiden Obama dan Presiden Jokowi pada Oktober 2015 untuk menjalin kemitraan strategis antara Amerika Serikat dan Indonesia.

BACA JUGA:  Inovasi NTB Mall dan 99 Desa Wisata Inovasi Unggulan, hantarkan NTB jadi Provinsi Terinovatif IGA Kemendagri 2023
KH Said Aqil Sirdaz dan KH Yahya Cholil Staqub saat mengikuti pemilihan Ketua Umum PBNU pada Muktamar NU di Lampung, Jumat (24/12)

Gus Yahya didaulat sebagai utusan GP Anshor dan PKB untuk jaringan politik tersebar di Eropa dan Dunia, Centrist Democrat International (CD) dan European People’s Party (EPP). American Jewish Committee (AJC) pernah mengundangnya berpidato tentang resolusi konflik keagamaan di sana dan menawarkan gagasan bernas.

Gus Yahya sering didaulat pula menjadi pembicara internasional di luar negeri. Seperti pada Juni 2018, Yahya menjadi pembicara dalam forum American Jewish Committee (AJC) di Israel. Dalam forum ini, Gus Yahya menyuarakan menyerukan konsep rahmat, sebagai solusi bagi konflik dunia, termasuk konflik yang disebabkan agama. Ia menawarkan perdamaian dunia melalui jalur-jalur penguatan pemahaman agama yang damai.

Pada 15 Juli 2021, Gus Yahya mendapatkan apresiasi tinggi dari tokoh-tokoh perdamaian dunia dalam perhelatan International Religious Freedom (IRF) Summit, di Washington, DC, Amerika Serikat. Dalam kesempatan itu, Gus Yahya menyampaikan pidato kunci dengan judul “The Rising Tide of Religious Nationalism” (Pasang Naik Nasionalisme Religius).

Pada hari ketiga konferensi tingkat tinggi (KTT) tersebut Gus Yahya mendapat apresiasi dari tokoh-tokoh dunia. Gus Yahya menjelaskan bahwa dinamika bangkitnya nasionalisme religius merupakan bagian metode untuk pertahanan ketika suatu kelompok agama yang biasanya merupakan mayoritas di negaranya merasa terancam secara budaya.

BACA JUGA:  Mengenal Menteri Arab Saudi Keturunan Indonesia: Muhammad Saleh Benten

Menurut Gus Yahya, kebangkitan ini pun tidak terelakkan lantaran dunia tengah bergulat dalam persaingan antar-nilai untuk menentukan corak peradaban di masa depan. Selain itu, dinamika internasional telah mengarah pada perwujudan satu peradaban global yang tunggal dan saling berbaur.

Pihaknya mempertegas bahwa persaingan yang sengit ini berpotensi besar memicu permusuhan dan kekerasan. Maka dari itu, Gus Yahya mendorong berbagai elemen di dunia menemukan cara untuk mengelolanya sebelum telanjur meletus konflik global yang kian parah.

Solusi yang ditwarkan Gus Yahya adalah dengan menawarkan strategi dan model perdamaian dunia sebagaimana yang selama ini telah dipraktikkan warga Nahdlatul Ulama atau NU.

Gus Yahya menwarkan beberapa solusi antara lain, langkah awal harus diidentifikasi lebih dahulu nilai-nilai apa yang selama ini telah menjadi kesepakatan bersama. Nilai-nilai itu antara lain kejujuran, kasih-sayang dan keadilan; dunia harus membangun konsensus atas nilai-nilai yang perlu disepakati agar semua pihak yang berbeda-beda dapat hidup berdampingan secara damai. Bahkan nilai-nilai tradisional yang menghambat koeksistensi damai pun layak untuk diubah, strategi NU yang menyatakan bahwa kategori kafir tidak memiliki relevansi hukum dalam konteks negara bangsa modern perlu dikontekstualisasi dalam hal tersebut. (EditorMRC)