Dai Hantam Kromo

Ud’uu ila sabiili robbika bil hikmah wal mau izhotil hasanah wajaadilhum billati hiya ahsan

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (An-Nahl ayat 125)


Dalam berdakwah tidak cukup hanya bermodal hafalan ayat dan hadis, tapi juga harus ditunjang dengan ilmu metodologi dakwah. Sebelum melaksanakan tugas dakwah, ada baiknya mempelajari dulu kondisi masyarakat yang akan didakwahi, baik karakter, pemahaman, sosial psikologis, ekonomi, kesiapan menerima hal yang dianggap baru dan lain sebagainya. Dengan bekal itu seorang da’i bisa memilih metode, kata-kata, dan prilaku yang pas dengan masyarakat yang akan didakwahi.

Dengan demikian obyek yang akan didakwahi bisa menerimanya tanpa harus menciptakan ketegangan terlebih dahulu. Lain daerah lain pula metode yang bisa diterapkan. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya, begitu kata orang bijak.

Hal ini sesuai dengan perintah Alloh pada ayat di awal tulisan ini. Coba perhatikan dengan seksama ayat di atas, mengapa Alloh mengedepankan kata “hikmah”, setelah itu baru disebutkan tentang pelajaran yang baik”. Kenapa tidak langsung saja Alloh menyuruh kita berdakwah dengan pelajaran yang baik?

Makna kata “hikmah” pada ayat tersebut kira-kira maksudnya adalah bagaimana cara agar kita berdakwah sesuai dengan kondisi, tingkat pemahaman, ketaatan, maupun sosial psikologis masyarakat yang kita dakwahi. Bagaimana berdakwah agar masyarakat yang kita dakwahi tidak tersinggung, pecah, tegang, konslet bahkan lari sebelum didakwahi. Dengan kata lain para dai diminta untuk terlebih dahulu bisa menarik simpati obyek yang akan kita dakwahi. Atau istilah kerennya pe-de-ka-te.

Bila simpati masyarakat telah kita dapati, maka dengan sendirinya masyarakat akan mudah mengikuti ajakan kita. Apabila orang sudah suka dan senang kepada kita, maka jangankan kata-kata yang kita ucapkan benar, walau kata-kata yang kita ucapkan salah sekalipun, tetap akan diikuti atau minimal dicari-carikan pembenarannya.

Sebaliknya bila orang tidak simpati kepada kita, maka jangankan kata-kata kita salah, meski kalimat yang kita ucapkan benar sekalipun, pasti bakal tidak diikuti atau bahkan disalahkan atau minimal dicari-carikan kesalahannya. Watak sebagian besar manusia memang seperti itu.

Metode dakwah penuh hikmah telah diterapkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Itu sebabnya dalam kurun 23 tahun Islam sudah menyebar ke berbagai penjuru dunia. Sebuah kurun waktu yang begitu singkat bila dibanding dengan hasil yang diperoleh. Metode dakwah dengan mengedepankan hikmah ini juga diterapkan oleh Walisongo ketika berdakwah di Indonesia. Hasilnya, Indonesia menjadi negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.

BACA JUGA:  Dewa Kaum Sasak

Kita ambil contoh terdekat, yakni dakwah Walisongo di Indonesia. Dahulu di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha, dan terdapat berbagai kerajaan Hindu dan Budha, sehingga budaya dan tradisi lokal saat itu kental diwarnai kedua agama tersebut. Budaya dan tradisi lokal itu oleh Walisongo tidak dianggap sebagai musuh agama yang harus dibasmi. Bahkan budaya dan tradisi lokal itu mereka jadikan teman akrab dan media dakwah agama, selama tak ada larangan dalam nash syariat.

Pertama-pertama, Walisongo belajar bahasa lokal, memperhatikan kebudayaan dan adat, serta kesenangan dan kebutuhan masyarakat. Lalu berusaha menarik simpati mereka. Karena masyarakat Jawa sangat menyukai kesenian, maka Walisongo menarik perhatian dengan kesenian, di antaranya dengan menciptakan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan pertunjukan wayang dengan lakon islami. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu, shalat, dan sebagainya.

Walisongo sangat peka dalam beradaptasi. Caranya menanamkan akidah dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Misalnya, kebiasaan berkumpul dan kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian keluarga tidak diharamkan, melainkan diisi pembacaan tahlil, doa, dan sedekah. Bahkan Sunan Ampel menyebut shalat dengan sembahyang (asalnya: sembah dan hyang) dan menamai tempat ibadah dengan langgar, mirip kata sanggar.

Bangunan masjid dan langgar pun dibuat bercorak Jawa dengan genteng bertingkat-tingkat, bahkan masjid Kudus dilengkapi menara dan gapura bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik calon-calon dai, Walisongo mendirikan pesantren-pesantren yangmenurut sebagian sejarawanmirip padepokan-padepokan orang Hindu dan Budha untuk mendidik cantrik dan calon pemimpin agama. Santri sendiri berasal dari kata cantrik. Cantrik adalah murid-murid dalam padepokan di kuil-kuil Budha pada waktu itu.

Lain pula yang dipraktekkan oleh Sunan Kudus. Beliau ini berdakwah dengan lembunya yang dihias istimewa. Diberitakan bahwa Sunan Kudus pernah mengikat seekor lembu yang dihias tersebut di halaman masjid, sehingga masyarakat yang ketika itu masih memeluk agama Hindu datang berduyun-duyun menyaksikan lembu yang diperlakukan istimewa itu. Setelah mereka datang berkerumun di sekitar masjid, Sunan Kudus lalu menyampaikan dakwahnya. Cara ini sangat praktis dan strategis. Seperti diketahui, lembu merupakan binatang keramat bagi umat Hindu. Menyaksikan bahwa lembu tidak dihinakan oleh Sunan Kudus, terbitlah niat dan simpati masyarakat penganut Hindu. Berangkat dari titik perhatian inilah masyarakat kemudian berhasil diislamkan.

BACA JUGA:  Nestapa Kuburan di Durjana KEK Mandalika

Andaikata Sunan Kudus main hantam kromo, lembu disembelih seenaknya di depan umat Hindu pada waktu itu, tentu bisa menimbulkan antipati. Kalau sudah demikian, jangan harap mereka akan mendekat. Malah sebaliknya akan memusuhi bahkan bisa timbul pertikaian.

Dulu para Walisongo hampir semuanya berasal dari Timur Tengah. Ketika mereka datang berdakwah ke Indonesia, mereka membaur dengan adat istiadat warga setempat, termasuk cara berpakaiannya ala Indonesia saat itu. Ini menyebabkan obyek dakwah merasa dekat dengan da’inya. Tapi sekarang, para da’i berasal dari Indonesia, berdakwah di Indonesia, tapi pakaiannya menggunakan pakaian Timur Tengah. Bahkan etikanya pun ikut-ikutan ala Timur Tengah. Dari pakaian dan etika saja sudah membedakan diri dengan masyarakat banyak. Masyarakatpun akhirnya jadi sungkan mendekat.

Di sini seorang da’i lagi-lagi dituntut memahami psikologi suatu masyarakat yang akan didakwahi. Misalkan di Pulau Lombok, tradisi masyarakat pada waktu shalat selalu pakai peci hitam atau putih, maka hendaknya seorang da’i juga harus pakai peci. Jangan lantas berdalih bahwa peci tidak ada contohnya dari Nabi, lalu sang da’i tidak pernah pakai peci ketika shalat di masjid. Dijamin tak akan ada lagi warga yang mau mendengar pengajian sang da’i.

Begitu pula dengan etika dan kesopanan lainnya harus benar-benar dipelajari terlebih dahulu. Misalkan etika masyarakat yang masih tabu memakai tangan kiri dalam memberi, menerima, menunjuk dan sebagainya, maka janganlah sang da’i terlalu aktif pakai tangan kiri dalam pergaulan. Bisa-bisa dicap kurang ajar. Contoh etika lainnya, kalau lewat di depan orang-orang tua yang lagi duduk, maka hendaknya memberi isyarat permisi dengan kata-kata atau tangan ditambah dengan sedikit membungkukkan badan (betabeq).

Dalam hal betabeq ini, banyak penulis lihat “da’i-da’i baru” yang berjalan seenaknya di dalam masjid melangkah tegak di depan orang-orang tua yang masih duduk bersila. Mungkin alasannya bahwa tidak ada dalil quran dan hadis yang memerintahkannya untuk betabeq sembari membungkukkan badan ketika lewat di depan orang. Ini yang pada akhirnya menyebabkan warga jadi kurang simpati kepada sang da’i. Kalau sudah tidak tidak simpati, maka jangan harap masyarakat mau didakwahi oleh dai tersebut.

Itulah sekelumit contah tradisi yang harus dipelajari dan difahami. Dan masih banyak lagi tradisi dan adat istiadat masyarakat yang harus dipelajari sebagai bekal untuk berinteraksi dan beradaptasi guna kesuksesan dakwah. Suka atau tidak suka, -selama tidak melanggar syariat agama- semua itu harus kita ikuti bila ingin dakwah berhasil. Dengan kata lain, boleh ikut arus asal jangan sampai hanyut. Seperti yang dikatakan walisongo, jangan melawan arus karena arus tidak mungkin dilawan. Tapi ikutilah arus lalu belokkan. Dan metode seperti inilah yang dipraktekkan oleh Walisongo sehingga Beliau-Beliau berhasil dalam dakwahnya. Dan manisnya dakwah Walisongo dapat kita rasakan hingga detik ini.

BACA JUGA:  Aset Terbesar Pemimpin ialah Rasa Malu (Anomali Penghabisan Indonesia)

Namun tak dapat kita pungkiri bahwa dalam kaitannya dengan masalah agama, masing-masing pihak kadang tetap bersikukuh dengan pendapat yang diyakini kebenarannya. Akibatnya ada saja pihak yang kurang toleran dan kompromis dengan praktek-praktek keagamaan yang dilaksanakan pihak lain. Walau demikian hendaknya semua pihak harus mampu menahan diri, memperhitungkan baik-buruk dari setiap kata dan tindakan dalam berdakwah. Sang da’i baru hendaknya pandai-pandailah dalam berdakwah. Begitu pula dengan masyarakat agar pandai-pandai pula menerima perbedaan.

Meski berbeda, hendaknya ukhuwah tetap dijaga. Ukhuwah tidak berarti harus seragam, melainkan bisa saja beragam. Perbedaan jangan sampai berujung pada kekerasan. Semua harus diselesaikan dengan cara arif. Kalau mau berdebat, berdebatlah dengan cara yang terbaik. Jangan sampai masing-masing menggunakan emosi, lalu angkat senjata berjihad melawan sesama muslim hanya karena berbeda pandangan dalam hal yang tidak prinsip.

Kalau masing-masing pihak sudah sama-sama keras, ini yang bisa bikin repot. Masing-masing pihak mengklaim dirinya benar, lalu saling asah golok kemudian angkat senjata sambil berdoa minta kemenangan untuk dirinya dan kehancuran bagi lawannya. Anehnya, isi doanya sama, berdoa pada Tuhan yang sama, bernabikan nabi yang sama, kitab suci yang sama, dan berkiblat ke arah yang sama pula. Nah, ini dia, apabila kemudian terjadi saling bunuh-bunuhan maka Insya Alloh: alqotilu wal maqtul finnaar, yang membunuh dan dibunuh pasti nunjem ke neraka.

Yang lebih memalukan dan memilukan adalah tatkala saling serang, keduanya sama-sama menggemakan takbir. Si penyerang berteriak lantang mengucapkan Allohuakbar.., sementara pihak yang diserang tak mau kalahteriak juga. Allohuakbar. Penonton jadi bingung, akhirnya ikutan juga berteriak .Samiallohuliman hamidah. Dan pak polisipun tak ketinggalan berteriakrobbana lakal hamdu. Dan sayapun mengakhiri tulisan ini dengan kalimat wallahualam. (*)