Covid 19: Arena Pertarungan Orang Kaya dengan si Miskin

Oleh: DR Salman Faris

Rupanya orang kaya tidak mempunyai kekayaan imajinasi selain pada dua hal. Bagaimana mempertahankan kekayaan dan menggunakan kekayaan. Begitu kedua hal ini terganggu, mereka amat berpotensi menjadi masalah bagi negara. Lacurnya, negara kadang mempunyai posisi sangat lemah di depan orang kaya karena biasanya juga, orang kaya berkontribusi besar melahirkan penguasa dan kekuasaan. Namun sekali lagi saya nyatakan, orang kaya memiliki imunitas terbatas ketika dihadapkan kepada bencana. Tingkat kepanikan mereka jauh lebih tinggi dibandingkan kelas sosial yang lain.

Selain itu, orang kaya mempunyai pengalaman yang sangat limit. Kebanyakan pengalaman mereka hanya pada berbahagia (ingat ya, berbahagia tidak berarti kebahagiaan jika merujuk Pierre Bourdieu yang mengeritik gaya dan kehidupan manusia yang penuh dengan kepalsuan serta tipu daya). Selain itu, mereka hanya sangat berpengalaman dilayani. Dengan begitu, ketika pelayan mereka tidak ada atau bermasalah, situasi menjadi kritikal. Memotong kuku sendiri bukan perkara mudah karena selama ini pelayan dibayar mahal hanya untuk merawat kuku sang majikan. Episentrum permasalahan akan semakin menggurita bagi orang kaya apabila sumber tempat mereka berbahagia turut bermasalah. Jadi jangan heran jika melihat reaksi orang kaya berlebihan ketika bar, lounge, pub, diskotik, club atau pusat perbelanjaan, dan tempat sosialitas berbiaya mahal ditutup atau terjangkit bencana. Itu karena mereka amat menderita apabila bidang-bidang ini terganggu.

Lalu apakah mereka tidak bisa berbahagia di rumah? Tempat tinggal bukan sebagai yang utama untuk sumber berbahagia orang kaya. Rumah hanyalah simbol status sosial. Harga dan bentuk rumah hanya sekadar asosiasi dan simulasi, bukan permaknaan mendalam terhadap hubungan yang punya rumah dengan rumah tersebut. Itulah sebabnya, memamerkan harga dan desain rumah merupakan watak prosedural orang kaya sebab dari kedua hal tersebut mereka mendapatkan legitimasi meskipun sadar atau tidak sadar, itu bersifat kepalsuan yang diagungkan. Jadi seolah-olah berhukum mutlak, berbahagia di luar rumah sebagai nutrisi utama.

Sementara itu, Covid-19 ini menyasar semua lapisan. Orang miskin yang sudah terbiasa lapar dan sangat lapar semakin menjadi kelaparan karena tertutupnya akses untuk mengail sampah sisa makan orang kaya. Namun dalam kesempatan ini saya hanya ingin menyoroti skala kerapuhan yang dialami oleh orang kaya dan orang miskin.

BACA JUGA:  Komisioner KPI Usulkan Lembaga Arbitrase Awasi Konten Internet

Dari segi durasi, orang menjadi miskin, boleh jadi sejak mereka lahir hingga Covid-19 ini datang tanpa diundang. Taruhlah umur si miskin ialah 40 tahun. Ini bermakna mereka sudah bergulat dengan kemiskinan sepanjang 40 tahun. Rentang 40 tahun mereka menemukan rumus menghadapi segala bencana, baik dengan bencana skala besar maupun kecil. Mereka sudah tahu pasti bahwa bencana hanya berkisar kepada kemiskinan alias ketidakberpunyaan. Banjir, akhirnya berdampak kepada kemiskinan. Begitu juga bencana lain termasuk Covid-19. Jadi bagi orang miskin, dampak Covid-19 ini bukan masalah sebab masalah tersebut sudah menjadi antivirus dalam hidup dan darah mereka. Sedangkan bagi orang kaya, berlaku sebaliknya.

Lihat saja, belum genap 1 tahun Covid-19 mendera (bahkan ketika sudah memasuki rentang 3 bulan), banyak sekali orang kaya yang mengaku jatuh bangkrut. Orang kaya yang punya hotel dan tempat hiburan mewah lainnya, ramai-ramai mengumumkan yang mereka mau menutup hotel bahkan ada yang mau menjualnya. Orang kaya yang berbisnis properti, mendadak berlomba-lomba menyatakan diri mereka bangkrut. Intinya, orang kaya, selama 3 bulan Covid-19 ini mendera, mereka merasa secara tiba-tiba jatuh dari langit ketujuh hingga ke dasar bumi.

Sungguh aneh, bukan? Kalau mereka kaya raya, tidak masuk akal jika hanya karena bencana 3 bulan, mereka terus bangkrut. Sebagai orang miskin, saya membayangkan mereka dapat bertahan di dalam rumah bertahun-tahun dan tinggal memesan secara online segala keperluan hidup mereka. Juga bisa menyulap rumah menjadi segala yang mereka maui (meskipun standar prosedur hidup mereka ialah rumah bukan sumber berbahagia yang utama). Jadi, kalau mereka betul-betul banyak duit, Covid-19 ini berlangsung 10 tahun pun, mereka tidak akan jatuh miskin.

Maka di situlah rupanya kita dapat menjumpai persoalan. Di mana orang kaya tersebut menyimpan uang? Kalau uang mereka simpan dalam benda berharga, mereka mempunyai keahlian tingkat tinggi dalam urusan menguangkan benda-benda. Bahkan menguangkan manusia. Lebih jauh lagi bisa jadi, sisi menguangkan manusia ini sebagai keahlian terbaik mereka. Bagaimana orang kaya tersebut mendapatkan kekayaannya. Atau, jangan-jangan mereka berpura-pura menjadi kaya?

BACA JUGA:  Aktivis HMI Nilai Gubernur NTB Pentingkan Investor dan tidak Peka Masalah Daerah

Permasalahan bagaimana orang kaya mendapatkan kekayaan ini sangat runyam. Seumpama kerunyaman kotak pandora yang azimat apa pun tidak dapat membukanya selain mereka yang memiliki genetika orang kaya. Kerunyaman ini semakin menjadi-jadi karena negara terlibat secara langsung dalam mengurusi masalah bencana orang kaya ini. Bahkan sebenarnya, bencana kemiskinan orang miskin beratus-ratus tahun bukan masalah besar bagi negara. Kemiskinan orang miskin bisa menjadi jualan politik dan kekuasaan. Dalam hal ini, orang miskin amat diperlukan oleh penguasa untuk menunjukkan yang mereka seolah-olah sudah berbuat sebagai pemimpin. Namun sebenarnya tidak sama sekali. Itulah sebabnya, masalah terbesar negara ialah mengurusi orang kaya yang jatuh miskin atau orang kaya yang mempunyai masalah lain dalam keuangan. Selain karena mereka tidak mempunyai watak petarung menghadapi bencana, sumber kekayaan mereka yang karut-marut dengan negara itulah yang menjadi permasalahan utama.

Sebagai orang awam dalam bidang karut-marut hubungan orang kaya dengan negara hanya dapat melihat contoh yang jika orang kaya ini bangkrut, maka negara melunasi hutang penyebab kebangkrutan. Kalau orang kaya yang mempunyai bank terdampak bangkrut karena Covid-19, negara diwajibkan menginjeksi nutrisi kelas tinggi kepada bank tersebut untuk menyelamatkan simpanan nasabah, misalnya. Padahal, nasabah itu, ya orang kaya juga alias orang itu-itu juga bin persis sama. Atau sebaliknya, jika orang kaya yang punya hotel bangkrut, negara diwajibkan terlibat karena jika orang kaya tersebut bangkrut, itu bermakna tak mampu membayar hutang di bank. Dan jika bank bangkrut, negara semakin pusing. Bayangkan jika orang kaya yang bangkrut itu lebih dari 1 orang atau berpuluh-puluh orang, pasti dalam benak penguasa negara ialah tamat alias kiamat negara. Namun begitulah lingkaran permasalahan besar yang disembunyikan negara melalui jargon keramat mengentaskan kemiskinan orang miskin, dengan menyembunyikan jargon laknat menyelamatkan orang kaya.

Jadi begini, dalam bencana apa pun, negara sebenarnya tak pernah mempunyai kepentingan besar menyelamatkan orang miskin (dalam undang-undang, ya). Kepentingan utama dan dasar negara ialah menyelamatkan orang kaya (dalam undang-undang, tidak). Bayangan sederhananya begini, meskipun orang miskin itu berjumlah ratusan juta, masalah kemiskinan mereka ketika bencana hanya cukup diselesaikan dengan pembagian sembako dan uang tunai yang jumlahnya tak seberapa. Namun anggarannya dipamer-pamerkan. Akan tetapi anggaran untuk menyelamtakan orang kaya pasti disembunyikan. Kenapa? Karena anggaran menyelamatkan 1 orang kaya bisa jadi lebih besar dibandingkan menyelamatkan tiga puluhan juta orang miskin.

BACA JUGA:  Lalu Gita Ariadi Dinilai Layak Jadi Penjabat Gubernur NTB

Pada sisi yang lain, seperti yang saya nyatakan di atas, dampak Covid-19 ini menyasar siapa saja. Kelas mana pun terbidik. Bedanya, dampak bagi orang miskin hanya kelaparan karena sumber makan yang terbatas namun kelaparan tersebut tidak berdampak kepada kemiskinan yang semakin akut sebab kemiskinan sudah menjadi antivirus bagi mereka (paling-paling dalam hitungan BPS, jumlah orang miskin bertambah: Badan negara yang memang jualannya ialah menjumlah). Sedangkan dampaknya bagi orang kaya ialah mereka menjadi miskin karena bangkrut. Saya belum dapat bayangkan jika ada 100 orang kaya yang tiba-tiba jatuh miskin. Saya hanya dapat bayangkan bahwa negara pasti menjadi gagal.

Dengan begitu, kita dapat melihat yang imunitas orang miskin dalam menjaga keselamatan negara jauh lebih besar dibandingkan orang kaya. Bahkan tidak dapat dibandingkan karena orang kaya tidak mempunyai imunitas menyelamatkan negara dalam situasi bencana yang bersifat berkepanjangan seperti Covid-19. Imunitas itu hanya milik orang miskin. Jika mengacu kepada banyaknya orang kaya yang mengaku bangkrut karena Covid-19 yang baru berlangsung beberapa bulan ini saja, maka bolehlah saya berpikir yang daya tahan orang miskin dalam menghadapi bencana berkepanjangan lebih lama dibandingkan orang kaya. Nyatanya, baru beberapa bulan saja orang kaya sudah banyak mengumumkan kebangkrutan mereka. Sebaliknya, amat sedikit, bahkan tidak ada orang miskin yang mengumumkan diri semakin miskin hanya karena Covid-19 (namun dalam hitungan BPS, pasti bertambah. Lacurnya tidak mau memasukkan orang kaya yang mengaku bangkrut sebagai anggota baru orang miskin).

Meskipun begitu, menjadi orang kaya itu amat penting. Orang kaya boleh tidak mempercayai tulisan ini karena saya pun tetap mau menjadi orang kaya.

Malaysia, 25/06/2020

Penulis:
DR Salman Faris
Adalah Akademisi, Pekerja Seni Budaya, Pemerhati Sosial Politik dan Media. Kini tinggal di Kuala Lumpur Malaysia.