Perairan Lotim Selatan Tercemar Logam Berat, Nelayan Keluhkan Hasil Tangkapan: Diduga Akibat Limbah Tailing PT AMNT

Direktur Lembaga Pengembangan Pedesaan (LPP), Ir. Lalu Muh. Kabul, M.AP menyatakan bahwa sejumlah titik lokasi di perairan laut bagian selatan Lombok Timur tercemar logam berat berupa Timbal (Pb), Kadmium (Cd) dan Krom (Cr).

Pernyataannya didasarkan pada hasil studi Resources Ecological Assesment (REA) yang dilaporkan proyek “Coastal Community Development and Fisheries Resources Management (CoFish)” pada tahun 1999.

“Kosentrasi logam berat (ppm) di sejumlah titik lokasi tersebut telah melampaui ambang batas yang diperbolehkan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 tahun 1988”, ungkapnya.

Lebih jauh Kabul memaparkan secara lengkap data dan fakta yang mengungkapkan bahwa ada tiga titik lokasi tercemar Pb yaitu Tanjung Sagui dengan konsentrasi 0,082 ppm (0,082>0,075), Gili Linus (0,084>0,075), dan Pantai Surga (0,092>0,075).

Kemudian lima titik lokasi tercemar Cd, yaitu Tanjung Luar (0,0163>0,01), Gili Maringkik (0,0367>0,01), Tanjung Sagui (0,0183>0,01), Gili Linus (0,0343>0,01), dan Pantai Surga (0,0193>0,01). Dan empat titik lokasi tercemar Cr, yaitu Tanjung Luar (0,0503>0,05), Gili Maringkik (0,0737>0,05), Gili Linus (0,074>0,05) dan Pantai Surga (0,0517>0,05).

Menurut Kabul pengujian di sejumlah titik lokasi di perairan bagian selatan Lombk Timur juga telah dilakukan PT.Newmont Nusa Tenggara (NNT) pada tahun 2000 dengan melibatkan PT.ASL Bogor dan PS Serpong.

BACA JUGA:  WMO: Lautan Dunia Mengkhawatirkan, Terpanas dan Paling Asam Sepanjang Sejarah

Dari hasil pengujian PT.NNT tersebut ditemukan logam berat di perairan bagian selatan Lombk Timur berupa Pb, Cd, dan Cr. Logam berat tersebut ditemukan pada sejumlah titik lokasi yaitu Teluk Sagui, Gili Maringkik, Pantai Surga, dan Gili Linus.

Namun konsentrasinya masih berada dibawah ambang batas yang diperbolehkan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 tahun 1988. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan hasil studi REA Proyek Co-Fish dengan pengujian oleh PT.NNT.

Lebih jauh Kabul menyatakan bahwa perbedaan hasil tersebut berkaitan dengan waktu pengambilan sampel air laut. Studi REA Proyek Co-Fish dilakukan dalam periode Juni hingga Oktober. Sedangkan pengambilan sampel air laut oleh PT.NNT tidak disebutkan dalam diskusi yang melibatkan Forum Peduli Daerah (FPD) di Hotel Sahid Legi Mataram pada Oktober 2000.

Ia juga mengutip Studi Analisis Dampak Lingkungan Terpadu (ANDAL) PT.NNT pada tahun 1996 yang menyebutkan bahwa arus lepas pantai di perairan laut selatan Sumbawa Barat dominan bergerak ke arah barat menuju kawasan perairan laut bagian selatan Lombok Timur dengan kecepatan terbesar sepanjang musim selatan yaitu dalam periode Juni hingga Oktober.

Untuk itu menurut Kabul dengan beralihnya kegiatan penambangan emas dan tembaga di Batu Hijau Sumbawa Barat dari PT.NNT ke PT.Amman Mineral Nusa Tenggara (PT.AMNT) sejak November 2016, maka PT.AMNT hendaknya melakukan pengujian konsentrasi logam berat di kawasan pesisir laut bagian selatan Lombok Timur kemudian mempublikasikannnya secara transparan ke publik.

BACA JUGA:  Indeks Palma

Dan yang lebih penting lagi menurut Kabul, waktu pengambilan sampel air laut juga harus dipublikasikan secara transparan apakah dilakukan dalam periode Juni hingga Oktober ataukah diluar periode tersebut.

Mengenai pentingnya pengambilan sampel air laut dalam periode Juni hingga Oktober tersebut ditambahkan oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LHK) Lombok Timur, H.Supardi, SST,SKM. Dengan mengutip hasil penelitian Ningsih et al (2013) yang dipublikasikan dalam “Ocean Science Journal”, Supardi menyatakan bahwa di perairan laut bagian selatan Sumbawa Barat hingga perairan laut bagian selatan Lombok Timur setiap tahun terjadi fenomena “upwelling” dalam periode Juni hingga Oktober. “Upwelling” adalah naiknya massa air laut dari lapisan bawah menuju ke permukaan”, pungkasnya.

Nelayan Keluhkan Hasil Tangkapan Ikan


Para Nelayan di Lombok Timur bagian selatan belakangan ini mengeluhkan hasil tangkapan mereka yang terus berkurang. Akibatnya tidak sedikit dari mereka yang harus melaut hingga Pulau Sumba NTT yang jauhnya bermil-mil demi mendapatkan tangkapan ikan yang diharapkan.

Hal tersebut dibenarkan oleh Amin Abdullah selaku Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN) Lombok Timur.

BACA JUGA:  Tailing dan Penyakit Minamata  

Amin bahkan mendesak Pemerintah Kabupaten Lombok Timur melakukan penelitian lanjutan dan kekinian tentang dampak limbah tailing PT. AMNT terhadap perairan dan pesisir Lombok timur.

“Fakta lapangan….beberapa tahun terakhir ini, Nelayan Lotim menangkap ikan dan cumi cumi di Pulau Sumba, NTT. Karena di Perairan Lotim atau di Selat Alas populasi cumi cuminya sudah hampir sedikit, juga bisa menjadi tidak ada…..ini indikator bahwa perairan kita di Selat Alas tidak lagi subur,”cetusnya.

Lebih lanjut Amin mengungkapkan, bila merujuk pada hasil penelitian yang dilontarkan LPP bahwa perairan dan pesisir Lombok bagian Selatan tidak lagi aman bagi keberlanjutan beberapa jenis ikan dan biota lainnya.

“Plankton dan zooplankton adalah makhluk yg sangat sensitif terhadap perubahan air laut alias pencemaran. Kalau ini mati, maka tidak ada lagi makanan bagi ikan dan biota di perairan. Logikanya….kalau makanan ikan tidak tersedia…maka ikan dan lainnya akan mencari daerah atau perairan lain yg masih subur utk mereka hidup dan berkembang biak,”bebernya.

Hingga berita ini diturunkan, manajemen PT AMNT belum dapat memberikan klarifikasi dan konfirmasi apapun terkait dugaan pembuangan limbah tailing perusahaan tambang itu kelaut sebagai penyebab tercemarnya perairan Lombok Timur bagian selatan dan mengandung logam berat yang berbahaya bagi lingkungan. (editorMRC)