BANG MESIR: ALETHEIA SASAK ITU TELAH PERGI (Untuk Mereka yang Sudah Pergi dan Masih di Bumi)

Sejak lama, kepada teman-teman yang bervisi politik, saya selalu katakan, jika belum belajar pada Ali BD dan Mesir Suryadi (termasuk H. Moh. Ruslan), teman-teman akan rapuh berpolitik.

Susah menemukan bentuk diri. Terlalu lama memakan waktu berproses akhirnya krisis di tengah jalan. Maka, kunci jalan terang politik itu ialah Ali BD dan Mesir Suryadi. Karena itu, meski ruas gerak saya bukan politik, saya merasa terhormat sebagai pengagum dan penggemar utama tokoh-tokoh penting tersebut. Namun, dalam tulisan ini saya hanya akan sedikit memanggil kembali ingatan saya dan teman-teman tentang Bang Mesir.

Aletheia yang diserap dari bahasa Yunani, dalam ranah sejarah dan filsafat sering digunakan untuk menggambarkan kesejatian kebenaran, ketinggian ketulusan, dan keluasan kejujuran. Filosof berkebangsaan Jerman, Martin Heidegger, juga pernah menggunakan Aletheia sebagai salah satu konsep untuk mendeskripsikan pemikiran filosofisnya. Karena itu, saya merasa tidak berlebihan, bahkan sangat sesuai untuk saya gunakan untuk menggamabarkan tentang Bang Mesir. Tokoh penting yang lahir dari gumi Sasak yang hampir seluruh jengkal nadinya digerakkan dalam perjuangan kebenaran, mengamalkan ketulusan dan tak henti mempertaruhkan kejujuran. Terhadap ketiga perkara ini, Bang Mesir menghabiskan secara total perjuangan hidupnya yang dibentangkan dalam wahana politik.

Beberapa teladan penting yang telah dipahatkan oleh Bang Mesir. Teman-teman yang sudah bergaul dengan Bang Mesir boleh jadi merasakan pengalaman kebatinan yang sama. Misalnya, ketika canggung memanggilnya Pak atau Ayahanda meski jarak rentang usia cukup jauh. Contohnya saya, nama Mesir Suryadi sudah berkibar di ranah politik bahkan pada saat saya masih sekolah di kampung. Usia anak kampung yang mendengar perbincangan orang tua tentang tokoh seperti Mesir. Bahkan nama Mesir Suryadi jauh lebih terkenal dibandingkan Lepak, asalnya. Karena itu, sepatutnya, saya memanggilnya Pak Mesir atau Ayahanda Mesir. Lazimnya praktek etik yang saya lakukan ketika di hadapan Ayahanda Lalu Serinanta. Akan tetapi, lidah saya malah rasa tersekat untuk memanggilnya selain dengan panggilan Bang Mesir.

Tentu saja, dalam konteks komunikasi, perkara ini berlaku karena ada pancaran figur lain di luar sosok figur mainstream. Benar saja, pada masa itu, Bang Mesir merupakan tokoh pembeda. Tokoh pencair kebekuan hubungan karib antara senior dengan yunior. Tokoh kunci dalam memecahkan dinding superioritas tokoh senior kepada yunior. Kita (saya dengan teman-teman yang lain) yang masih mengharu biru dalam dunia aktivis, tentu amat menikmati hubungan ideologis dan psikologis yang bersifat egaliter, bahkan ini merupakan salah satu gerak perjuangan, namun sayangnya hubungan ini tidak banyak dijumpai pada sosok yang lain. Inilah kenapa, Bang Mesir merupakan fortune kami sebab padanya romansa proletariat itu dapat diceruk sepuas hati mencerap.

BACA JUGA:  BIL Darurat Fitnah, Gubernur Kok Gitu Sih?

Jadi memanggilnya Ayahanda atau Bapak, malahan membuat kecanggungan luar biasa. Malah sebaliknya, panggilan Bang menjadi perekat yang meluaskan lagi hubungan yang tanpa berdinding resam feodalistik itu. Boleh dikatakan, Bang Mesir merupakan model penting pada masa itu dalam konteks kritik terhadap perilaku feodal beberapa elite. Tidak sedikit dari kita yang menempatkan beliau sebagai simbol kaum proletar dari kalangan senior. Tentu saja, ini merupakan sesuatu yang aduhai dahsyat pada masa itu di hadapan saya sebagai anak kampung nan miskin, yang mengenal Bang Mesir pada saat tepat, ketika api aktivis pulang dari Yogya di kala berkobar nian.

Awal pulang dari Yogya, kami gerombolan Yogya, kebanyakan merupakan anak tiri politik dan kuasa di NTB. Meski ada sebagian kecil yang memang bernasib harum mengkilat sebab gelaran karpet merah sudah tersedia. Nah, yang kebanyakan ini, tentu saja mencari sosok penyambung yang dapat menampung. Sahabat saya, Hasan Massat (Lesa-Demarkasi) sebagai orang lama atau lebih dahulu menjadi Ranggalawe di bendungan aktivis, harus diakui sebagai salah seorang pembuka pintu perjumpaan dengan Bang Mesir. Sungguh, Hasan Massat jitu membuka pintu, Bang Mesir seolah Che Guevara yang meski tumbuh dalam kelas sosial yang cukup baik, namun membangkitkan persamaan dan keterbukaan kelas dalam laluan perjuangannya. Bang Mesir yang sudah menjadi tokoh penting pada masa itu, membuka diri sebagai abang.

Jelas saja, sebagai abang, Bang Mesir tidak hanya menemani duduk, minum kopi, tertawa, diskusi. Namun juga memberi. Di sinilah salah satu peran kunci Bang Mesir. Kebanyakan dari kita merupakan aktivis miskin. Sering disindir orang, menjadi aktivis karena miskin. Melawan kemiskinan karena miskin. Sindiran ini, tak pernah secara terbuka kita lawan sebab memang kebanyakan memang tak berpunya. Kebersamaan itulah kepunyaan paling tinggi. Secangkir kopi kepunyaan bersama dan tak perlu tahu, entah dari mana datangnya kopi. Jadi, ya, bolehlah kita disebut miskin.

BACA JUGA:  Perempuan yang Terpaksa Pergi

Sebagai aktivis miskin, tentu saja mempertaruhkan harga diri jika meminta pada semua orang. Ini prinsip dasar. Maka, dalam konteks kemiskinan ini, sebagai aktivis, memang sangat terbatas tokoh yang dapat kita terima. Aktivis wajib tahu kepada siapa harga segelas kopi dapat diperoleh tanpa mencabik harga perjuangan. Jelasnya, kita tidak mau dibungkam karena efek kemiskinan. Jadi, peran kunci Bang Mesir ialah membuat kita tetap merasa punya harga diri, tetap merasa menjaga idealisme, meski bang Mesir memberi. Lebih terang benderang lagi, Bang Mesir ialah tokoh senior yang sangat pemurah. Tidak pernah mencari alasan dan memikirkan tujuan ketika memberi.

Jauh lebih penting dari pemberian itu, Bang Mesir tidak pernah merendahkan. Dapat diandaikan semacam ini, seandainya pagi kita keluar dari ruangannya dengan pemberian yang memuaskan, kemudian sebelum zuhur kita sudah caci maki, kritik habis, Bang Mesir tetap akan menunjukkan bahwa diri kita terhormat. Tidak akan memandang kita sebagai aktivis murahan. Ini urusan penting sekaligus sensitif. Senior menjaga kehormatan aktivis meski ada kuasa untuk merendahkan yunior.

Hati dan jiwanya yang serupa itu, tercermin dalam banyak hal. Politik baginya ialah seumpama mencuci beras yang putih dan menulis batu dengan arang. Jika hanyut dibawa perasaan, maka baginya, lebih baik menjadi pelawak. Itulah sebabnya, bang Mesir memiliki kepandaian yang matang dalam hubungan politik. Saya membayangkannya sebagai tokoh Don Vito Corleone dalam film The Godfather. Tokoh yang sudah tidak memerlukan apa-apa selain menggendong cucu. Meskipun setiap katanya adalah hukum dan perintah sekaligus. Makanya, dia memiliki karakter menonjol dan kuat. Untuk level NTB, dia adalah bintang politisi sekaligus kemanusiaan itu sendiri. Jatuh bangunnya dalam politik merupakan lingkaran cucian beras yang tetap putih dan guratan tulisan arang di atas batu yang tetap hitam. Politisi yang matang tidak akan pernah berubah haluan. Karakter itu prinsip. Prinsip ialah karakter itu sendiri. Begitulah falsafahnya.

Dalam konteks Sasak, Bang Mesir ialah pengkritik yang tajam. Jauh sebelum saya dapat melihat romansa Gomong dan sungai Dasan Agung, saya sudah mendengar kritiknya tentang feodalisme tak terkendali. Baginya, orang Sasak perlu membenahi cara berkelompok, cara berorganisasi, termasuk cara berpolitik. Bang Mesir mempunyai pemikiran yang tajam tentang kultus, misalnya. Baginya, kultus akan merusak organisasi. Jika satu organisasi hanya bergantung kepada figur tertentu, maka kekuatan dan masa depan organisasi itu akan terang benderang-hilang tenggelam seiring figur tersebut. Karena itu, baginya, orang Sasak harus berbenah. Orang Sasak perlu mempunyai orientasi perjuangan kelompok, bukan individu. Gerakan politik perjuangan orang Sasak mesti berideologikan perhimpuan. Namun sekali lagi, baginya, sekuat apa pun ideologi perhimpunan itu, pasti akan punah jika berlaku primordialisme buta. Bang Mesir, ingin memesankan, orang Sasak mesti terbuka. Tak boleh tempurung dijadikan mimpi. Tentu saja, saya sangat setuju hal ini.

BACA JUGA:  Merumuskan Kembali Cara Menyinta Kepada Maulanassyekh (Catatan Sederhana Seorang Abituren, Murid, Pecinta tak Berpaling)

Cara berpandangan semacam itulah yang menopang segala sikap politik Bang Mesir. Karena itu, sekisruh apa pun situasi politik, setegang apa pun kontestasi dan perebutan pucuk pimpinan partai, misalnya, dada Bang Mesir selalu terbuka. Sekali lagi, semua kekal seumpama mencuci beras yang putih. Dalam situasi apa pun, asas kemanusiaan yang utama. Dalam hal ini, Bang Mesir memang sangat matang.

Perlu diakui, sebenarnya kita mempunyai amat banyak politisi, namun amat sedikit yang benar-benar dapat dijadikan panutan. Politician as a role model. Bahkan hingga kini, dalam konteks politik, kita belum menemukan ketokohan yang sekelas ayahanda H. Moh. Ruslan, misalnya. Karena itu, kepergian ayahanda H. Moh. Ruslan beberapa tahun lalu, sebenarnya telah melobangi panutan politisi muda. Sekarang kehilangan itu ditambah Bang Mesir, sang Aletheia Sasak. Lobang itu serasa makin besar dan mengkuatirkan karena bibit tokoh panutan politik yang begitu lambat mengorbit. Padahal, tokoh semacam mereka amat diperlukan oleh kancah perpolitikan di NTB. Berkarakter kuat. Tegak pada prinsip. Beproses hingga titik penghabisan. Pantang cengeng. Berani mengambil risiko apa pun. Politisi yang selalu siap dibenci dan tak pernah membenci. Tidak juga mendendam. Karena politik bagi mereka ialah seni bertingkah laku.

Karena itu, di tengah kehilangan tokoh panutan politik yang terus menajam, seharusnya orang Sasak bersyukur, masih ada Ali BD, tempat kita dapat melihat politisi tangguh semacam Bang Mesir. Tokoh politik yang berwarna jelas. Tidak pernah abu-abu. Tokoh politik yang tidak pernah berpoles-moles. Maka ambillah segala pelajaran dari mereka, tokoh hebat itu dan yang masih di bumi ini sebelum kehilangan kebaikan di masa keberuntungan belum menjadi. Maka rugi dan sesal menjadi taji.

Bang Mesir, Aletheia Sasak.
Alfatihah.

Malaysia, 27 Januari 2023