KEK Mandalika Sebagai Ladang Kesengsaraan di Masa Depan

Oleh: DR Salman Faris

Pasti banyak yang tidak setuju dengan judul (boleh dibaca ramalan jitu) di atas. Bahkan bisa jadi, tidak ada yang menyetujuinya.

Pertama karena pemerintah pusat dan pemerintah NTB nampak berbahu-bahu mewujudkan fatamorgana tersebut. Di samping itu, ekspektasi masyarakat juga terlihat amat membubung tinggi. Perpaduan ramuan pemerintah dan hayalan masyarakat luas ini sangat kokoh, jadi wajarlah jika ramalan jitu ini dipandang tidak lebih dari sekadar unyahan Kassandra (seorang wanita Troya yang sangat cantik yang, karena menolak cinta Apollo, akhirnya meskipun ramalannya pasti benar, namun tidak ada satu orang pun yang mempercayainya).
Hubungannya dengan KEK Mandilka dapat dilihat dari fenomena kesenjangan ekonomi dan sosial yang terjadi, khususnya di kawasan Kek Mandlika dan umumnya di Lombok. Memang, jika mendengar busa pemerintah dapat diketahui bahwa salah satu tujuan Kek Mandalika adalah untuk memupus kesenjangan tersebut. Namun pertanyaannya adalah, dapatkan kesenjangan tersebut diputus apabila fatamorgana yang dibangun pemerintah tersebut terlalu tinggi bagi masyarakat yang lemah tiada upaya dalam mengakses fatamorgana tersebut? Maka tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa setiap pembangunan yang wow itu, selalu dinikmati orang luar. Contoh sederhana, Senggigi tak berhasil mengentaskan kemiskinan secara radikal bahkan semakin menguatkan akar kemiskinan karena masyarakat di lingkar Sengiggi tidak dapat mengakses hingar bingar percikan surga di Senggigi (ini isu lama, namun selalu menjadi fresh karena kenyataan kesenjangan penderitaan masyarakat setempat dan kebahagiaan orang luar semakin kuat dan kentara).
Bahkan untuk pekerjaan sebagai penjaja seks komersil pun, Senggigi mendatangkan penjaja dari luar. Bukan karena penjaja lokal tak ada, melainkan karena mereka kalah bersaing oleh produk luar. Kini Senggigi menjadi ladang madu bagi penghibur luar sedangkan penghibur lokal hanya tukang gulung kabel. Bukan sebab yang lokal tak mampu menghibur namun karena sistem hiburan yang diberlakukan di Senggigi membuat mereka tertindas. Lalu adilkah membandingkan kegagalan Senggigi dengan mega fatamorgana KEK Mandalika? Mari kita lihat.
Untuk sedikit melapisi ramalan ini, saya akan gunakan teori motivasi manusia yang digagas oleh Abraham Harold Maslow. Menurut Maslow (1943), manusia mempunyai motivasi karena didorong oleh sedikitnya dua hal. Pertama, karena manusia memerlukan perkembangan dalam setiap tahapan hidup mereka (metaneeds). Kedua, manusia selalu mempunyai kesadaran yang mereka berada dalam serba kekurangan (basic needs). Dari kedua hal ini, seterusnya Maslow membuat hierarki kebutuhan yang dikategorikan menjadi lima kebutuhan. Menurut Maslow, kelima kebutuhan tersebut merujuk kepada prinsip dasar hierarki, yakni masing-masing level kebutuhan saling berkaitan atau tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dengan kata lain, kebutuhan yang satu atau lebih tinggi, tidak dapat dipenuhi apabila kebutuhan yang lainnya belum terpenuhi. Makna lainnya adalah, kelima kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan asas manusia yang, apabila sebagiannya tidak dipenuhi, maka manusia tersebut belum sempurna dikatakan manusia. Jika mereka kekeh mau dikatakan manusia, ya, manusia menderita alias manusia sengsara namanya.
Baiklah, kita mulai dengan kebutuhan yang pertama, kebutuhan yang paling dasar yakni kebutuhan biologi atau fisiologi. Contoh sederhana kebutuhan ini adalah makan, minum, protein, termasuk juga garam dan gula. Seterusnya kebutuhan istirahat dan seks. Pertanyaannya, apakah masyarakat di lingkar KEK Mandalika tidak terjamin kebutuhan dasar tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya mengajak untuk melihat standar yang lebih tinggi karena memang tujuan fatamorgana KEK Mandalika adalah untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Dengan kata lain, jika standar kebutuhan biologi atau pun fisiologi masyarakat masih sama ketika KEK Mandalika sudah beroperasi, saya sebut ini selae lime likur. Apabila masyarakat di lingkar KEK Mandalika masih maka ambon kulup sedangkan mereka yang di KEK Mandalika mengonsumsi makanan kualitas tinggi, sama saja dengan kesengsaraan. Bagaimana tidak? Orang luar yang datang ke KEK Mandalika ialah orang yang mampu membeli kebutuhan hidup tingkat tinggi. Bahkan garam yang tersedia untuk mereka, sudah melalui proteksi super ketat. Bandingkan dengan garam kasar yang dikonsumsi oleh masyarakat. Bahkan bisa jadi garam tidak tersedia secara layak karena tumbang oleh garam impor untuk memenuhi kebutuhan manusia kelas tinggi tersebut. Karena sudah kadung impor, garam lokal tidak tersedia secara mencukupi, akhirnya masyarakat mau tidak mau membeli garam impor. Mampukah mereka untuk membeli garam impor? Tentu dipaksa mampu atau pun tidak mampu sama sekali. Di sinilah pintu ladang kesengsaraan mulai terbuka.
Bahkan untuk fasilitas olah raga yang tersedia di KEK Mandalika pasti di atas standar manusia biasa. Harus berpakaian dengan jenis yang sesuai aturan. Harus memakai sepatu dengan jenis yang sudah distandarkan. Standar-standar inilah yang menjadi sumber malapetaka bagi masyarakat karena mereka yang terbiasa berlari telanjang kaki di tanah tumpah darah mereka, dipaksa memakai sepatu yang tak mampu dibeli. Akibtanya, mereka hanya bisa melihat orang luar berolah raga sedangkan mereka hanya bisa belet elor dari atas ranting pohon yang masih tersisa dan menunggu musim berguguran. Hal yang sama berlaku dalam konteks kebutuhan seks. Apakah kebutuhan seks masyarakat lokal ini tidak terpenuhi? Tentu saja terpenuhi namun pasangan mereka masih sekelas lokal, sementara orang luar yang datang membawakan mereka fantasi seks yang amat melambung. Tubuh-tubuh yang dipamerkan di KEK Mandalika datang dari manusia kelas tinggi sedangkan tubuh mereka sebagai pasangan lokal sudah terbakar matahari kemiskinan. Lama-lama, tumbuh gejala tidak selera kepada pasangan karena masing-masing sudah berfantasi sesuai tubuh yang dipamerkan di Kek Mandalika. Apabila gejala ini berkembang menjadi semacam sistem relasi fantasi di tengah masyarakat, maka bukan tidak mungkin perubahan orientasi dan selera seks akan terjadi yang berdampak kepada pupusnya nilai seks lokal yang selama ini mereka nikmati. Apabila ini sudah terjadi, maka pintu ladang kesengsaraan semakin terbuka lebar.
Hierarki yang kedua adalah kebutuhan keamanan, jaminan keselamatan dan perlindungan. Kita tak perlu membincangkan tentang jaminan keamanan yang diberikan kepada orang luar, sang penikmat KEK Mandalika karena sudah pasti mereka mendapatkan sesuai standar tinggi yang berlaku di mana pun jua kawasan yang sama dengan KEK Mandalika. Kita lebih melihat kepada jaminan keamanan kepada masyarakat lokal. Tentu saja di sini akan berlaku subaltern di mana, mereka yang sudah kadung menjadi masayarakat lokal bukan sebagai konsen pengamanan. Bahkan sebaliknya, demi menjaga standar keamanan orang luar, pihak pengaman akan menjadikan masyarakat lokal sebagai sumber rasa tidak aman para orang luar. Akhirnya, mereka yang menjadikan kerumunan, misalnya, sebagai salah satu bentuk budaya warisan, bisa jadi akan dibatasi yang lambat laun akan dihilangkan demi memenuhi standar keamanan orang luar.
Coba kita lihat paradigma pengamanan standar yang diberlakukan untuk manusia kelas tinggi. Kawasan serba steril dari akses manusia kelas rendah. Sebagai contoh, kawasan-kawasan hotel yang susah diakses oleh mereka yang punya tanah leluhur. Hal ini bisa dilihat di pantai Surga dan Jeeva Beloam (kedua tempat ini ada di Lombok Timur bagian selatan). Masyarakat selalu ditempatkan sebagai sumber rasa tidak aman orang luar. Akibatnya daya proteksi sangat tinggi yang berdampak kepada semakin menghilangnya habitat manusia lokal yang empunya negeri. Dalam hal ini, manusia kelas tinggi tidak hanya membeli kawasan tersebut, namun sekaligus membeli rasa aman. Dengan kata lain, keamanan sudah diperjualbelikan dengan harga tinggi. Akibatnya, karena masyarakat tidak mempunyai duit untuk membeli keamanan yang distandarisasi tersebut, akhirnya mereka tidak mempunyai akses keamanan yang, berdampak kepada keadaan mereka yang tidak aman. Bayangkan jika masyarakat lokal tidak mendapatkan akses rasa aman di KEK Mandalika. Mereka akan menciptakan aturan keamanan tersendiri sebagai bentuk perlawanan. Maka inilah pintu ladang kesengsaraan itu.
Hierarki berikutnya adalah kebutuhan cinta dan kasih sayang yang datang atau dijumpai dalam keluarga, rekan sejawat, pasangan hidup, keturunan atau pun dari kelompok masyarakat. Kebutuhan cinta dan kasih sayang ini amat diperlukan karena menurut Maslow apabila seseorang atau masyarakat gagal dalam mendapatkan cinta dan kasih sayang, maka mereka akan menjadi manusia yang tertimpa psikopatologi yaitu penyakit mental yang didorong oleh tekanan mental, abnormal, dan maladaptif. Dalam kasus ini, umum sudah diketahui bagaimana pelayanan cinta yang diberikan kepada orang luar di kawasan pariwisata yang sudah ada. Orang luar, bagi sang pelayan telah membayar mahal dan berpotensi memberikan uang tambahan dalam jumlah yang lebih. Sedangkan masyarakat lokal ialah manusia asing yang berpotensi meracau. Keramahan yang tinggi diberikan kepada orang luar berbanding terbalik dengan muka masam untuk masyarakat lokal. Di Jeeva Beloam, tegur sapa petugas keamanan kepada masyarakat lokal amat memerahkan telinga sedangkan payung senyum ramah mesra yang lebar tersedia untuk orang luar. Hal yang sama berlaku di hampir semua fatamorgana dunia. Apa yang akan terjadi dengan situasi ini? Pertama ialah masyarakat lokal yang bekerja di lingkungan surga dunia tersebut, taruhlah seperti di KEK Mandalika akan kehilangan cinta yang bersifat luas tanpa batas. Oleh sistem, mereka dibentuk untuk memberikan pelayanan secara berlebihan kepada orang luar karena di benak mereka, orang luar lebih menjanjikan dibandingkan masyarakat lokal. Dalam kurun waktu tertentu, orang ini sudah berhasil memilah cinta berdasarkan feedback komersil yang didapatkan, bukan berdasarkan hakikat cinta untuk semua makhluk. Kedua, atas situasi yang pertama tersebut, masyarakat lokal merasa kehilangan cinta dan kasih sayang yang seharusnya mereka dapatkan.
Langkah pertama yang mereka lakukan adalah merebut cinta yang hilang tersebut. Namun karena mereka tidak mempunyai modal yang kuat selayaknya orang luar, cinta tersebut terlepas dari tangan mereka. Maka tindakan berikutnya adalah maladaptif. Mereka melakukan tindakan di luar kontrol yang tidak hanya merugikan diri mereka sendiri namun mengancam rasa aman orang luar. Terjadilah kekacauan yang pada akhirnya masyarakat lokal menjadi korban. Mereka kehilangan diri mereka sendiri sekaligus lenyap tanah leluhur. Pintu ladang kesengsaraan pun makin terbuka.
Hierarki yang keempat adalah kebutuhan penghargaan atau penghormatan. Jenis kebutuhan ini dapat dilihat pada kekuatan modal yang dipunyai manusia sehingga menguasai keperluan. Selain itu ialah kompetensi dan kepercayaan kepada diri yang diharapkan melahirkan kemandirian. Setelah mendapatkan hal tersebut maka seseorang memerlukan orang lain menghormati dan menghargainya. Dalam konteks ini, ketenaran, status sebagai orang besar, kesan dominatif menjadi sangat penting karena itulah yang dipandang sebagai sumber kehormatan. Pertanyaannya, bagaimana masyarakat lokal bisa mendapatkan penghormatan dan penghargaan orang lain jika akses kepada kepercayaan diri punah begitu saja? Sumber kepercayaan diri mereka diambil dengan bayaran mahal oleh para orang luar. Kemudian simbol penghormatan dan kebanggaan tersebut telah berubah kepada segala bentuk hedonis dan fetisisme komoditas sebagaimana yang dikatakan Adorno (1991) sebagai nilai sejati kejayaan dan kehormatan semata-mata refleksi atas apa yang dibayar seseorang di pasar atas produk. Dengan kata lain, semua manusia yang ada di Kek Mandalika itu adalah benar-benar pemuja uang. Akibatnya, KEK Mandalika tak lebih dari sebuah simulakra seperti yang dikatakan Baudrillard karena keniscayaan dan realitas telah bergincu kepalsuan. Namun kepalsuan itulah sumber penghormatan dan penghargaan sedangkan realitas masyarakat lokal ialah sumber kehinaan.
Kehormatan yang didapatkan tokoh adat yang, semula cukup mengenakan sapuk dan sedikit pandai belawas hilang musnah begitu saja karena orang tak lagi melihat hal tersebut sebagai komoditi. Sapuk dan lawas ialah lawan dari uang. Bagi orang luar di KEK Mandalika itu, sapuk dan lawas ialah sampah jika ia tak menghasilkan uang. Jika pun tokoh adat tersebut mau mendapatkan sedikit kehormatan, mereka harus rela menukarkan sapuk dan lawas tersebut ke dalam bentuk produk uang. Namun ini sesuatu yang mustahil. Karena kemustahilan itulah, maka sang tokoh adat kehilangan kehormatan dan tak punya ruang penghargaan.
Lagi pula, apa alasan orang luar memberikan penghormatan kepada masyarakat lokal yang secara standar jauh berada di bawah mereka yang, seharusnya, dalam anutan mereka, masyarakat lokal yang wajib memayungkan kehormatan kepada orang luar karena merekalah yang membawa uang, uang, dan uang. Sebagai satu contoh, dalam konteks ketenaran, seorang artis ternama datang ke KEK Mandalika, mereka tidak mungkin memberikan pemujaan kepada sampah masyarakat. Tentu saja, masyarakat lokal yang harus memuja mereka karena sumber kehormatan berupa ketenaran sudah dipunyai sang artis. Sedangkan masyarakat lokal, hanya tenar sebagai masyararakat yang sengsara. Dengan begitu, mau tidak mau, KEK Mandalika tidak bisa menampik atau tak dapat ditampik bahwa alat kehormatan ialah fetisisme komoditas karena segala bentuk kualitas manusia diukur dari nilai tukar dan nilai guna dalam bentuk uang. Masyarakat lokal yang tidak punya uang hanya layak sebagai pemuja kepada mereka, orang luar itu, yang sudah membeli segala jenis kehormatan.
Kemudian apa yang terjadi kepada masyarakat lokal yang sudah tidak lagi mendapatkan rasa dihargai dan rasa dihormati? Kembali ke habitus lama. Nyurak bersama-sama. Memamerkan kewanenan. Keonaran terjadi. Sekali lagi, mereka menjadi korban. Mereka dipersalahkan. Maka habislah kehormatan mereka di tanah kelahiran mereka. Dalam fase ini, KEK Mandalika tidak hanya menjadi ladang kesengsaraan namun sudah menjadi mega buldoser yang menggilas segala nilai yang telah dianuti sejak lama oleh masyarakat lokal. Lalu di mana prestise itu? Tentu saja sudah berpusat di KEK Mandalika. Dan penyiram kesuburan kehormatan yang sudah berbuah wujud itu, sekali lagi, ialah masyarakat lokal yang sudah tertaklukkan.
Hierarki yang terakhir adalah self actualization needs (metaneeds) yakni Kebutuhan setiap manusia di mana mereka menjadi yang seharusnya yang, tentu saja sesuai dengan minat, bakat, bidang, dan segala potensi kemanusia yang ada pada diri mereka. Di sinilah manusia memerlukan arena untuk memdapatkan kebutuhan kreativitas, perwujudakan diri yang sebenar-benarnya diri mereka, dan perkembangan atau perubahan diri yang berlangsung secara terus-menerus. Lantas bagaimana masyarakat lokal bisa mengaktualisasikan diri jika empat kebutuhan yang sudah disebutkan di atas tidak terpenuhi?
Di sinilah ladang kesengsaraan masyarakat lokal yang ditimbulkan oleh KEK Mandalika itu menemukan titiknya. Segala pesta pora yang berlangsung di Kek Mandalika akan menjadi obor pemantik bagi gugusan kesengsaraan masyarakat lokal yang tiada putusnya. Mereka dijanjikan MotoGP, namun harga tiket termurah pada harga satu juta rupiah. Siapa di antara mereka yang bisa membeli tiket itu? Sedangkan lima kebutuhan hierarkis yang disyaratkan Maslow saja tidak ada satu pun yang bisa ditunaikan. Mereka dijanjikan deretan hotel berbintang, namun hanya untuk menjadi cleaning service, masyarakat lokal tidak mendapatkan akses. Apatah lagi akses sebagai penyuplai keperluan makan di hotel. Jauh panggang dari api karena bulu ayam untuk menggaruk telinga gatal orang luar pun didatangkan dari sedekat-dekatnya, Bali. Jika permintaan lebih, KEK Mandalika akan impor dari negara luar. Atau jika orang luar menuntut standar dunia, Kek Mandalika mau tak mau akan mendatangkan standar tersebut dari luar. Dalam hal ini, bulu ayam kampung pun bernasib hina dina, sama dengan masyarakat lokal. Kehinaan menjadi-jadi karena pada akhirnya KEK Mandalika ialah gerbang terbuka untuk importir untuk pemenuhan kebutuhan manusia import.
Maka jadilah, KEK Mandalika sebagai ladang kesengsaraan masyarakat lokal, umumnya masyarakat Lombok di masa depan. Maka patenlah KEK Mandalika perpanjangan kuasa atau wajah baru sejarah penindasan ekonomi dan sosial di tengah masyarakat Sasak yang tiada habis-habisnya.
Kaye dengan Sasak. Mauk begitak mau bedengah doang. Berembe jage rasen.

BACA JUGA:  Racun Kematian itu Bernama KEK Mandalika

Malaysia, 25/11/2020