Tatanan Baru Media Pasca Corona:Disrupsi Media Lebih Cepat

Oleh : Nurjaman Mochtar – Praktisi Senior Televisi

Tahun lalu saya menjadi narasumber pada Rakornas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Waktu itu saya setengah memanas-manasi para komisioner, bahwa apa yang mereka awasi saat ini semakin terdisrupsi.

Salah satu contoh yang saya kemukakan adalah semakin merosotnya jumlah penonton tivi teresterial. Mungkin ujung-ujungnya hanya tinggal 30 persen saja dari penonton sekarang. Di saat yang sama, penonton Youtube sudah berada di kisaran 88 persen bahkan lebih dari sejumlah pengakses internet yang sudah 171 juta. Artinya, jumlah pemirsa tivi yang KPI layani semakin jauh berkurang.

Waktu itu saya menyampaikan ramalan bahwa tatanan media akan mencapai titik keseimbangan baru pada lima hingga sepuluh tahun mendatang. Ternyata virus Corona mempercepat terjadinya ramalan itu. Disrupsi di sektor media datang lebih cepat. Tatanan media baru ini akan segera terjadi pasca Corona. Media arus utama harus bersiap-siap menghadapi gelombang disrupsi ini.

BACA JUGA:  Pemerintah Ancam Tutup Google Hingga Facebook, Ada Apa?

Berawal ketika semua harus menjaga jarak para wartawan liputan pun “dipaksa” mengikuti prosedur Covid-19. Jumpa pers harus sesuai standar social distancing. Maka tatkala seorang menteri mengabaikan prosedur itu, pada satu kesempatan jumpa pers, sontak ia dibuli habis di media sosial.

Efek terakhir Corona adalah ketika para kru televisi teristerial kompak membuat tivi pool untuk peliputan Covid-19. Mereka membagi tempat tugas untuk jumpa pers berbagai spot penting, seperti Istana Presiden, Balai Kota DKI, kantor Gugus Tugas Covid-19, dan beberapa rumah sakit. Maksudnya supaya tidak terlalu banyak pengerahan dan persentuhan wartawan di satu spot. Tentu saja ini akan lebih efisien juga. 

Kini, sebagian narasumber malah mentransmisikan jumpa persnya secara live ke media sosial, seperti Youtube, demi makin meminimalkan kerumunan wartawan. Maka ”bubarlah” tivi pool yang digelar para kru media televisi karena tak lagi berguna. Buat apa lagi mengirim reporter atau tim siaran langsung. Tinggal dengarkan saja di Youtube. Atau tinggal download saja kalau memang mau me-rebroadcast. Demikian halnya Twitter, Instagram dan lain-lain, kini bisa menjadi sarana untuk mentransmisikan semua informasi.

BACA JUGA:  Sekda: Pers Menikmati Kebebasan

Sekarang kru media tinggal duduk manis saja di kantor. Pantau media sosial pasti semua berita ada di situ. Untuk media cetak tinggal ditranskrip saja. Untuk radio tinggal dibersihkan saja suaranya agar lebih jernih. Untuk tivi, tinggal di-download saja, kemudian diedit. Materinya bisa juga di-rebroadcast pada sesama platform media sosial.

Sebutlah contohnya perseteruan Said Didu dengan Luhut Binsar Panjaitan. Mereka berbalas kata di dunia maya tanpa bertemu secara fisik. Lihat juga bagaimana Presiden Amerika Serikat Donald Trump menebar ancaman, cukup lewat Twitter saja. Nun jauh di sana,

BACA JUGA:  Wagub : Jangan Ada Klaster Pilkada

Nah, wartawan tinggal mem-follow Twitter atau akun media sosial lain para tokoh yang kerap menjadi newsmaker. Simak terus apa unggahan mereka, lalu kutiplah bagian yang menarik. Jadilah berita.

Banyak tokoh yang memiliki channel sendiri di media sosial, yang mereka gunakan untuk pidato, ceramah, jumpa pers, atau bahkan mengumbar keseharian mereka di rumah. Sejumlah program di tivi berisi kumpulan kutipan dari media sosial para tokoh itu. Tinggal pilih sesuai selera pemirsa masing-masing.

Peristiwa Covid-19 makin mempercepat proses reduksi sebagian besar fungsi reportase lapangan. Fungsi reporter lapangan diambilalih platform media sosial   Pertanyaannya, apakah fungsi itu akan kembali normal jika virus Corona sudah berlalu? Ataukah disrupsi bakal terus berlanjut? Saya cenderung ke pertanyaan terakhir bahwa disrupsi akan berlanjut. Inilah yang harus kita kaji bersama. 

Inilah saatnya teman-teman di media mainstream untuk mengkalkulasi ulang jumlah personilnya dan peralatan yang dipakai. Khusus untuk televisi tentu saja ini sebuah angka besar mengingat jumlah personil yang lebih banyak dan peralatan yang lebih mahal.

Sebagai contoh peralatan siaran langsung yang harganya miliaran rupiah akan menjadi useless. Hanya sesekali digunakan untuk acara-acara besar saja. Sedangkan untuk kepentingan siaran langsung regular fungsinya sudah tergantikan alat yang portable atau bahkan oleh segenggam smartphone.