Buku berjudul “Ekonomi Hijau” tersebut ditulis oleh Ir.Lalu Muh.Kabul, M.AP dosen tetap Fakultas Teknologi Informasi dan Komunikasi Universitas Teknologi Mataram (UTM). Buku dengan ISBN: 978-623-311-806-4 tersebut diterbitkan oleh HIKAM Media Utama Yogyakarta pada tahun 2022. Yang memberikan kata pengantar adalah Rektor UTM, Ir.H.Lalu Darmawan Bakti, M.Sc., M.Kom.
Dalam buku ini dibahas bahwa pembangunan dengan menggunakan pendekatan ekonomi konvensional atau “ekonomi coklat” berdampak terhadap degradasi lingkungan dan perubahan iklim. Kemudian lahir konsep “ekonomi hijau” sebagai solusi agar sumberdaya menjadi lebih efisien, ramah lingkungan, dapat mengurangi emisi dan mitigasi dampak perubahan iklim serta menangani deplesi sumber daya dan degradasi lingkungan yang serius.
Istilah ekonomi hijau diperkenalkan pertama kali pada tahun 1989 oleh ahli ekonomi, Pearce yang menekankan pada pentingnya interaksi antara ekonomi dan lingkungan. Apa itu ekonomi hijau?. Sebuah lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani lingkungan yakni United Nations Environment Programme (UNEP) mendefinisikan ekonomi hijau sebagai sebuah pembangunan ekonomi yang menghasilkan peningkatan kesejahteran umat manusia dan keadilan sosial dan pada saat yang sama secara nyata mengurangi risiko kerusakan lingkungan dan kelangkaan sumber daya alam.
Ekonomi hijau juga dapat dimaknai sebagai kegiatan yang rendah karbon, pemanfaatan sumber daya secara efisien, dan inklusif secara sosial. Disisi lain, ekonomi hijau identik dengan “pertumbuhan hijau” yakni strategi mempromosikan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan dengan tetap memastikan asset alam dapat terus menyediakan sumber daya dan jasa lingkungan yang penting bagi umat manusia. Bagi negara maju, kebijakan ekonomi hijau adalah untuk merespon krisis finansial global dan strategi proses pemulihan ekonomi. Bagi negara berkembang, ekonomi hijau dipandang sebagai kebijakan penanggulangan kemiskinan, menurunkan emisi karbon dan pelestarian ekosistem.
Di Indonesia, ekonomi hijau mulai diperkenalkan sejak tahun 2013. Dalam konteks Indonesia ekonomi hijau dapat dilihat sebagai paradigm ekonomi baru yang dapat mendorong pertumbuhan pendapatan dan lapangan kerja sekaligus mengurangi risiko kerusakan lingkungan dan diharapkan mampu mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Konsep ekonomi hijau diharapkan mampu menciptakan keseimbangan tiga pilar yakni ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam ekonomi coklat, pertumbuhan ekonomi nasional (Poduk Domestik Bruto/PDB) dan pertumbuhan ekonomi regional (Produk Domestik Regional Bruto/PDRB) dihitung tanpa memasukkan ongkos lingkungan, sehingga dahulu pada tahun 1970-an perekonomian nasional tumbuh sekitar 7 persen per tahun tetapi setelah disesuaikan dengan deplesi sumber daya alam dan degradasi lingkungan, menghasilkan pertumbuhan hijau hanya 4 persen. Artinya 3 persen merupakan ongkos lingkungan.
Disisi lain pada tahun 2011, PDRB hijau pada setiap provinsi di Indonesia berkisar antara 65 persen sampai 85 persen terhadap PDRB coklat. Artinya, 15 persen sampai 35 persen dari kue pembangunan berupa PDRB tersebut sebenarnya merupakan deplesi sumber daya alam dan degradasi lingkungan.
Buku “Ekonomi Hijau” tersebut dapat diperoleh di Toko Gazha Mataram Mall Lantai 2 dan Kentang Girang Jl.Patimura No.1 Selong Lombok Timur.