Beberapa Kalau Dalam Nahdlatul Wathan

Oleh: DR Salman Faris
(Ketua Jaringan Intelektual Nahdlatul Wathan)

Kalau sudah permainannya ke tingkat melapor ke pihak berwajib, ada tiga arus tanda di situ. Pertama, ada masalah besar yang sudah mengakar lalu akar masalah tersebut berpohon dan berbuah tak habis-habisnya.

Kedua, ada dendam dalam dada yang senantiasa bergolak. Dendam yang meskipun sedang sujud pun, getarannya masih terasa sangat kuat. Dendam yang meski sedang membaca ayat suci pun, aliran magmanya terasa bergelora.

Ketiga, persoalan tidak akan pernah selesai. Tujuan main hukum positif (polisi, pengadilan dan institusi-intitusi hukum di bawah negara), sebenarnya untuk menyelesaikan masalah. Betul, masalah tuntas karena sudah ada keputusan dan ketetapan hukum. Namun menyelesaikan masalah melalui jalur hukum ini, tak dapat dilihat secara sederhana karena perkara sejatinya tak pernah tuntas. Lihat saja bukti nyata, NW sengketa tiada henti meski pengadilan sudah cetuskan keputusan.

Dengan adanya keputusan dan ketetapan hukum, maka ada dua pihak berdiri yakni, yang menang dan yang terkalahkan. Umumnya, kemenangan selalu mendatangkan kesenangan. Sebaliknya, kekalahan tak pernah membuat hati berlapang dada meskipun keputusan dibuat seadil-adilnya.

Kalau ada dua pihak yang sama-sama alim, sholeh, berakhlaq mulia berperkara, ada beberapa gelombang yang dapat terdeteksi di situ. Pertama, di tengah kedua pihak ada kekuasaan yang jauh lebih tinggi. Kekuasaan yang berwatak jahat. Kekuasaan yang menggunakan apa saja, termasuk mitos, mantera, dan wirid untuk melegitimasi kekuasaan di tangan.

BACA JUGA:  Korona Terkendali di Lombok Timur, Masjid Akan Dibuka Kembali

Kedua, ada kaum berpendidikan tinggi yang lulus mendapatkan ijazah, namun belum lulus sebagai yang arif berilmu. Belum lulus dalam membaca fenomena sebagai salah satu sumber ilmu. Kaum berpendidikan tinggi yang ada kehendak untuk berkuasa. Dan atas nama kehendak tersebut, mereka melakukan apa saja termasuk mengaso dan menduli di bawah kaki sumber yang bisa memberi kuasa.

Ketiga, ada orang berwatak sangat jahat di sekeliling kedua pihak yang bersengketa. Orang ini seumpama dalang yang boleh memegang siapa saja. Dengan cerdik boleh mengatur siapa saja sesuai kemauan dan tujuan. Orang ini tidak peduli mau jadi apa yang lain, sebab yang utama ialah dirinya sendiri dan keluarga.

Keempat, ada masyarakat yang buta tuli. Selalu mendengar dan ikut saja tanpa menggunakan otak waras mereka. Meski diajak berperang melawan saudara sendiri, masyarakat buta tuli ini tidak ada bantahan. Masyarakat jenis ini rajin mengaji namun enggan mengkaji sebab terlalu menuruti sang diturut. Saking buta tulinya, mereka mau jadi tumbal perkara. Mau mati dan siap sedia menjadi juru bicara pencaci.

BACA JUGA:  Gubernur Minta Polemik WSBK dan MotoGP Merugi Diakhiri

Kalau sudah ada larangan terhadap sesuatu tradisi, terhadap kebiasaan yang sudah lama dijalankan dan diterima tanpa percanggahan, maka ada beberapa sinyal yang dapat hidup di situ. Pertama, ada pihak yang merasa paling memiliki. Merasa bahwa mereka sebagai pewaris sah dan tunggal kebiasaan tersebut.

Kedua, ada kesalahan berpikir dan gagal paham di situ. Gagal memahami yang kebiasaan itu selalu dibuat secara bersama oleh orang banyak. Karena ada kesalahan berpikir, bahkan zikir wirid pun diklaim sebagai yang punya sendiri. Gagal memahami yang peradaban ialah karya besar kaum yang berkelompok. Sebagai contoh, jika NW dipandang sebagai peradaban, maka NW tidak mungkin dibangun oleh satu orang, sehebat apa pun orang itu. Bahkan seorang nabi dan rasul tidak dapat membangun peradaban keagamaan sendiri.

Dua puluh lima nabi dan rasul yang wajib diketahui itu sebab mereka ada jamaah, punya kaum. Itu menandakan bahwa nabi dan rasul memerlukan kebersamaan membangun peradaban. Dengan begitu, setiap nabi dan rasul itu tidak boleh diklaim sebagai milik keluarga tertentu atau peradaban apa pun yang lahir pada masa nabi dan rasul itu, tidak boleh diwarisi kepada tunggal keluarga.

BACA JUGA:  Kata Bang Zul, Istri Aktivis Selalu Lebih Pintar

Dengan begitu, jika ada yang melarang menggunakan kaedah klaim, maka sungguh itu karena mereka benar-benar gagal paham. Ada kesalahan cara berfikir dan kekeliruan cara beriman pada sang pelarang dan sang pengklaim.

Ketiga, ada perasaan paling benar sendiri. Ada imajinasi paling sah sendiri. Ada mimpi paling kanggo alias paling kuasa sendiri.

Kalau setiap hari mengaji namun masih menyeru jamaah kepada yang mudarat tinggi, namun masih menggunakan jamaah sebagai topeng, namun masih mendengki saudara sendiri, itu menunjukkan diri belum tuntas menjadi manusia. Itu menandakan mengaji Tuhan berilmu tinggi, mengkaji manusia masih buta tuli.

Kalau jamaah masih mau saja diajak oleh guru ngaji untuk saling mencaci, saling membenci saling mendengki, itu tanda sudah tak perlu berorganisasi. Itu tanda yang nafsi-nafsi lebih terpuji. Itu ibarat imam tak perlu lagi ditaati.

Kalau Tuan Guru sudah tidak sebagai pemeran utama dalam mendamaikan satu sengketa, apalagi Tuan Guru berperan dalam meruncingkan perkara dan tak mau berdamai di antara sesama Tuan Guru, itu tanda tiada imam yang dapat dipercaya. Itu sinyal semua kita buta dunia. Itu bermakna dunia semakin dekat kiamatnya.

Malaysia, 6 Februari 2021