GAB Menuju SDM NTB Gemilang

MATARAMRADIO.COM, Mataram – Usia SMA-SMK merupakan usia remaja, fase di mana anak sedang mencari jati diri. Dengan pendampingan yang tepat maka remaja akan dapat menentukan arah kehidupannya.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTB, Dr. H. Aidy Furqan menuturkan di era sekarang setidaknya ada lima masalah yang dihadapi peserta didik, yaitu teknologi yang menyebabkan lapangan pekerjaan semakin kompetitif, rendahnya kapasitas peserta didik dalam merencanakan hidup, teknologi yang menyebabkan peserta didik tergerak, orangtua yang mengalami kejenuhan dalam mengarahkan anaknya ketika lulus sekolah dan kegalauan guru yang dihadapkan dengan stigma dan paradigma pendidikan yang terus mengalami perubahan.
Sisi lainnya, jelas Aidy anak usia SMA-SMK dihadapkan pada kenakalan remaja, kriminalitas, narkoba, bahkan seks bebas. “Remaja juga dihadapkan dengan permasalahan internal psikologis yang disebut Quarter Life Crisis,” jelasnya saat roadshow Gerakan Ayo Bercita-cita se NTB yang dilaksanakan pada November 2020.
Menurut Atwood dan Scholtz, Quarter Life Crisis adalah gejolak di quarter-life period, yaitu sebuah fase perkembangan psikologis yang muncul di usia 18–29 tahun sebagai transisi antara fase remaja (adolescence) ke fase dewasa awal (adulthood). Pada fase ini remaja mempertanyakan apa yang terjadi di dalam hidupnya dan apa yang harus dilakukan? Mengalami insecurity, keraguan akan diri sendiri, kecemasan, kehilangan motivasi dan kebingungan akan masa depanya.”Anak usia SMA-SMK perlu pendampingan. Dengan bercita cita akan muncul tujuan hidup,” jelasnya.
Sedang Psikolog Mona Sugianto, Ph.D menilai cita-cita memberikan gambaran tentang perwujudan seperti apa masa depan kita dan kita akan bergerak untuk mewujudkannya. “Cita-cita dapat dijadikan tujuan hidup seseorang dan cita-cita akan membentengi orang dari hal-hal yang negatif,” ulasnya.
Juita Surahmi dari Gerakan Ayo Bercita-cita menegaskan guru sebagai salah satu tiang pendidikan harus membekali anak didik dengan cita-cita dan tantangan serta permasalahan yang dihadapi anak di masa depan. Selain itu, guru harus memahami karakteristik peserta didik dengan Kuadran Karakter dan Karakter 5 B, kemudian kemampuan berbicara yang menggerakan ( Speak to Lead). “Guru harus mampu mengimplementasikan GAB sesuai dengan kebutuhan dan culture masing-masing sekolah,” paparnya.
Menurut Juita, ada tiga agen GAB di sekolah yaitu guru pembina, OSIS atau aktivis siswa dan peserta didik. Guru Pembina, melakukan pembinaan dan pendampingan kepada OSIS atau aktivis siswa untuk menjadi mentor bagi peserta didik lainya. Sedang OSIS atau aktivis siswa diarahkan memiliki Buku Gambar Cita-cita sebagai sarana memvisualisasikan cita-cita dalam bentuk gambar, menempelkan gambar yang berhubungan dengan cita-cita, atau meresume buku pengembangan diri. “OSIS atau aktivis siswa melakukan pendampingan kepada peserta didik. Sedang Guru Pembina mendampingi jalanya Gerakan Ayo Bercita-cita di sekolah,” jelasnya.
Juita berharap Gerakan Ayo Bercita-cita (GAB), dapat mengeksplorasi cita-cita dan mengembangkan diri peserta didik sehingga ketika lulus dari sekolah tidak lagi bingung atau salah dalam mengambil jurusan karena telah memiliki gambaran tentang apa yang akan mereka pilih di masa depan. “Ayo Bercita-cita demi masa depan gemilang,” ajak Juita. (MRC03)

BACA JUGA:  Pedagang Diminta Jual Hewan Kurban Secara Online