Baru-baru ini, Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BB POM) di Mataram mengungkapkan hasil yang mengejutkan: 90 persen apotek di Nusa Tenggara Barat menyerahkan antibiotik tanpa resep dokter.
Jenis antibiotik yang paling banyak diserahkan adalah Amoksisilin, Cefadroxil, dan Cefixim. Fenomena ini menjadi alarm bagi kita semua untuk lebih waspada terhadap ancaman besar yang tersembunyi di balik keheningan, yaitu Resistensi Antimikroba (AMR).
AMR adalah ancaman serius yang belum banyak dipahami oleh masyarakat. Padahal, AMR merupakan salah satu penyebab kematian terbesar di dunia. Menurut data dari jurnal The Lancet tahun 2022, pada tahun 2019, AMR menyebabkan kematian 4,95 juta jiwa, dengan 1,27 juta di antaranya disebabkan langsung oleh AMR.
Angka ini lebih tinggi dibandingkan kematian akibat HIV/AIDS dan Malaria. Bahkan, WHO memprediksi bahwa pada tahun 2050, jumlah kematian akibat AMR bisa mencapai 10 juta jiwa per tahun. Indonesia sendiri mencatat 34.500 kematian langsung dan 133.800 kematian terkait AMR pada tahun 2019, menjadikannya salah satu negara dengan angka kematian tertinggi akibat AMR di Asia Tenggara.
Resistensi antimikroba terjadi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit berubah dan tidak lagi merespons terhadap obat-obatan. Ini membuat infeksi lebih sulit diobati, meningkatkan risiko penyebaran penyakit, memperparah kondisi, dan menyebabkan kematian. AMR tidak hanya berdampak pada manusia, tetapi juga pada hewan, perikanan, pertanian, dan lingkungan.
Oleh karena itu, upaya pengendalian AMR harus melibatkan pendekatan multisektor (one health approach) yang melibatkan sektor manusia, hewan, dan lingkungan.
Pada tingkat global, WHO telah menerbitkan langkah-langkah strategis pengendalian AMR dalam bentuk Global Action Plan on AMR. Di Indonesia, Peraturan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Nomor 07 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pengendalian Antimikroba (RAN-PRA) tahun 2020-2024 telah diterbitkan, melibatkan lintas lembaga dan kementerian seperti Kementerian Kesehatan, BPOM, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Lingkungan Hidup.
Di Nusa Tenggara Barat, BB POM dan Dinas Kesehatan Provinsi NTB bersepakat untuk menghentikan penggunaan antibiotik yang tidak rasional dengan menertibkan penyerahan antibiotik hanya dengan resep dokter.
Kunci keberhasilan langkah ini adalah keterlibatan dan komitmen seluruh pihak, baik pemerintah, tenaga kesehatan, maupun masyarakat.
BBPOM di Mataram, sejak tahun 2022, telah melakukan advokasi dan koordinasi dengan lintas sektor terkait, seperti Dinas Kesehatan, Dinas Peternakan, Organisasi Profesi (IAI, IDI, IBI, dan PPNI), serta akademisi untuk mencegah resistensi antimikroba di wilayah NTB. Masyarakat diharapkan dapat berperan aktif dalam memberikan solusi terhadap pencegahan pertumbuhan resistensi antibiotik.
Gerakan 4T (Tidak membeli antimikroba tanpa resep dokter; Teruskan pengobatan dengan antimikroba yang diresepkan, walaupun keadaan telah membaik; Tidak membuang antimikoba rusak/kedaluwarsa sembarangan; Tegur dan laporkan jika mengetahui ada pihak atau sarana lain yang menjual antimikroba sembarangan atau tanpa resep dokter) diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya penggunaan dan pengendalian antimikroba sesuai aturan yang telah ditetapkan pemerintah.
Dengan gerakan ini, kita semua berharap dapat mewujudkan Indonesia yang sehat dan bebas dari penyakit, menuju Indonesia Emas 2045.
Masyarakat juga diingatkan untuk selalu Cek KLIK (cek Kemasan, cek Label, cek Izin Edar, dan cek Kedaluwarsa) ketika akan membeli atau mengonsumsi produk obat dan makanan. Mari kita bersama-sama melawan ancaman AMR demi kesehatan dan keselamatan kita semua. ***