Saya tidak pakar dalam hukum ketatanegaraan. Melihat deretan pasal demi pasal dalam Undang-undang pun sudah pening kepala. Namun di tengah kebutaan tersebut, saya mencoba membangun mimpi keuntungan besar dari RUU Provinsi NTB menjadi UU yang baru saja disahkan oleh DPR RI.
Kenapa mimpi keuntungan ini berkedudukan penting? Tentu saja menjadi sangat penting ketika dihubungkan pengalaman nasib sebagai Provinsi NTB sepanjang 76 tahun. Ada satire yang sangat mendalam, misalnya. Nasib Tergantung Bali. Ya, seolah-olah NTB tak dapat beranjak pergi jauh tanpa jejak Provinsi Bali di dalam setiap guratan.
Saya tidak ingin mengulas terlalu jauh mengenai perkara tersebut. Meski demikian, penting juga sedikit menggambarkan bagaimana perasaan diketepikan itu berandil besar dalam membentuk karakter manusia NTB. Secara teoretik, pastilah hukum dibuat berdasarkan habit suatu kelompok masyarakat. Dan setelah hukum itu dijalankan, maka ia pun menjadi habit manusia. Habit hukum dan sosial membentuk karakter manusia itu sendiri. Disebabkan habit hukum Provinsi NTB distrukturisasi oleh Provinsi Bali, maka habit sosial manusia NTB dikontruksi sebagai The Lian, The Others, Oposisi Biner dari Provinsi Bali.
Dan kini, habit inlander ini telah dimusnahkan seiring dengan disahkannya Undang-undang Provinsi NTB. Namun sekali lagi, penting untuk saya sebutkan sedikit saja dari habit keterkungkungan selama 76 tahun tersebut.
Sebut saja, misalnya, dalam soal pengelolaan perguruan tinggi, khususnya swasta di NTB. Sungguh berat karena harus terus-menerus bergantung kepada Bali. Seperti yang diketahui, Bali, NTB dan NTT tergabung ke dalam Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah VIII yang, kemudian bertransformasi menjadi Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah VIII.
Sepintas seperti tidak ada masalah. Namun jika ditelusuri secara lebih mendalam, sebenarnya banyak masalah karena ketergantungan ini. Tentu saja akan tetap ada masalah jika terus tergabung ke dalam Wilayah VIII setelah RUU ini diundang-undangkan.
Rakan-rakan dosen swasta di NTB sering berseloroh secara liris. Kenapa dosen-dosen LLDIKTI Wilayah VIII ini dikuasai Bali, ya? Atau kebanyakan dari Bali. Perbandingannya boleh jadi tak masuk akal. Sebut saja sebagai contoh 9:1 (sembilan orang dari Bali dan satu orang dari NTB atau NTT). Bahkan boleh jadi tak ada dari dua provinsi tersebut.
Sebenarnya, rekrutmen dosen negeri di bawah LLDikti Wilayah VIII bersifat terbuka dan sering dijalankan sebagaimana pembukaan dosen negeri secara nasional. Namun masalahnya ialah, pertama, informasi hanya di seputaran Bali saja. Kedua, lowongan seolah hanya diperuntukkan bagi dosen swasta di PTS yang berada di Bali saja. Hegemoni dan dominasi struktural telah berlaku lama.
Akibatnya, pertama, kita tidak perlu heran jika menjumpai banyak PTS di Bali memiliki dosen LLDikti. Kejadian sebaliknya di PTS NTB. Susah amat dijumpai. Jika pun ada, dosen LLDikti tersebut ialah orang Bali. Kedua, PTS di Bali mempunyai peluang persaingan dan pengembangan yang lebih besar karena, misalnya, satu aspek untuk biaya operasional yang tadinya diambil dari pengelola PTS, karena adanya dosen LLDikti, mereka jadi terbantu secara signifikan. Berbeda halnya dengan PTS di NTB yang pengelola berjibaku menggaji dosen dengan operasional sendiri.
Seterusnya, karir dosen PTS di Bali menjadi lebih lancar. Karena itu, tidak sedikit guru besar dapat dijumpai di PTS. Bandingkan dengan dengan PTS di NTB. Sangat susah. Bahkan, saya dengar, baru satu orang guru besar PTS di NTB. Dalam konteks ini, tentu saja perkara ini bukan sebagai sebab utama, melainkan boleh jadi kinerja dosen juga memberikan pengaruh. Akan tetapi, kedudukan Bali, walau bagaimanapun, amat diuntungkan oleh LLDikti Wilayah VIII. Dan yang terakhir, amat susah ASN NTB dapat berkarir di LLDikti Wilayah VIII. Apalagi bermimpi menjadi kepala LLDikti. Orang NTB jangan harap. Sejauh ini, kebanyakan ialah orang Bali sendiri.
Kasus lain, misalnya ialah Balai Arkeologi Bali yang membawahi wilayah kerja tiga provinsi. Sekali lagi Provinsi NTB dan Provinsi NTT. Kekayaan arkeologis NTB yang memerlukan ekspolari lebih luas dan mendalam menjadi tersendat-sendat hanya karena masalah penyatuan ini. Karena secara kelembagaan, arkelologi NTB di bawah Bali, maka prosedur, birokrasi, kebijakan, dan pelaksanaan program seolah-olah sepenuhnya dikontrol oleh Bali. Pakar arkeologi NTB dapat berbuat apa dalam situsi semacam ini selain bernasib sama dengan PTS NTB. Jangankan menjadi orang yang berkedudukan paling tinggi, untuk masalah teknis saja, arkeologi NTB harus menunggu approval Bali terlebih dahulu.
Jangan diteruskan ke isu yang lain (bisa bikin sesak), seperti dalam bidang kepolisian dan kehakiman. Orang NTB hanya menjadi anak buah di lambung ibu pertiwi karena sistem masih bergantung kepada Provinsi Bali. Makanya, jangan heran jika ketua-ketua hakim di Kemenkumhan wilayah NTB ini, dari kabupaten hingga provinsi, bertebaran hakim dari Bali. Karena rupanya secara Undang-undang, NTB dikungkung selama 76 tahun.
Karena itu, mimpi durian runtuh saya ini, dirasa menjadi relevan. Saya membayangkan karena NTB sudah mempunyai undang-undang sendiri sebagai provinsi, maka NTB bisa mengajukan LLDikti yang mandiri atau setidaknya bergabung dengan NTT tanpa penyertaan Provinsi Bali. Kemenkumham Wilayah NTB yang mandiri agar para hakim-hakim terbaik dari NTB dapat memimpin daerah hukum mereka sendiri. Polisi-polisi terbaik asli NTB dapat menjadi kepala di teritori mereka sendiri.
Kemandirian sebagai provinsi secara hukum ini sangat masuk akal. Sebab secara populasi dan keluasan wilayah, NTB masih di atas Bali. Lantas, nasib pun tidak boleh terus-menerus di bawah Provinsi Bali.
Selamat Provinsi NTB. Salah satu kado terbaik di umur yang ke-64 tahun.
Malaysia, 30 Juni 2022.