Fenomena “Bandwagon effect” Dalam Pilkada 2024

Dalam pada itu, “bandwagon” itu oleh calon Presiden Amerika Amerika Serikat, Zachary Taylor digunakan sebagai strategi dalam kampanye politiknya dengan berkeliling ke negara-negara bagian Amerikat Serikat, Dengan strategi itu, Zachary Taylor meraih sukses sehingga terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat ke-12 pada tahun 1849.

Kemudian strategi itulah yang dikenal sebagai “bandwagon effect”.

Dalam perkembangan selanjutnya “bandwagon effect” dimaknai sebagai perilaku pemilih dalam memilih kandidat yang memiliki elektabilitas tinggi berdasarkan hasil survei jejak pendapat atau “polling” yang dilakukan oleh lembaga survei (Lemmers et al, 2022 dan Atkeson, 2018).

BACA JUGA:  Capaian IPM, IPG dan Angka Kemiskinan

Dalam “polling” dimana kandidat dengan elektabilitas tinggi itulah yang diprediksi cenderung menang. Disisi lain, “bandwagen effect” menimbulkan fenomena psikologi massa yakni mayoritas pemilih mengikuti pemilih yang menjatuhkannya pilihannya pada kandidat yang memiliki elektabilitas tinggi.

Dalam pada itu, publik akan memilih kandidat yang tampaknya memiliki keterpilihan (elektabilitas) tinggi karena mereka ingin menjadi bagian dari mayoritas pemilih.

Fenomena ”bandwagon effect” ini dalam Pilkada 2024 di NTB akan terjadi pada dua tahapan pemilihan.

Pertama, sebelum pemilihan berlangsung (“pre election”) yakni ketika pasangan kandidat mencari gabungan partai politik pengusung guna memenuhi ambang batas pencalonan yang dipersyaratkan untuk mendaftar ke KPUD.

Dalam konteks “bandwagon effect”, tentunya parpol atau gabungan parpol bakal mendukung pasangan kandidat yang memiliki elektabilitas tinggi.

Tahapan “pre election” ini bakal berlangsung hingga pendaftaran pasangan kandidat ke KPUD pada tanggal 27 Agustus 2024 sampai 29 Agustus 2024.

BACA JUGA:  Sasak Gagal Sasak Fatal

Kedua, selama pemilihan berlangsung (“on election”) yakni sejak penetapan pasangan kandidat pada tanggal 27 September 2024 hingga pelaksanaan pemungutan suara pada tanggal 27 November 2024.

Pada tahapan “pre election” berdasarkan skenario “bandwagon effect” seharusnya terjadi “Head to Head” pasangan kandidat Zul-Uhel dan Rohmi-Firin karena kedua pasangan kandidat inilah yang memiliki elektabilitas tinggi berdasarkan “polling” dari berbagai lembaga survei.

Dalam dinamika politik, justru terjadi “anomali” dimana pasangan kandidat Iqbal-Dinda yang tidak banyak diunggulkan berdasarkan hasil survei berpeluang “Head to Head” dengan pasangan kandidat Zul-Uhel.

Sejauh ini, Iqbal-Dinda direkomendasikan oleh Gerinda, PAN, dan PPP. Sementara Zul-Uhel direkomendasikan oleh PKS, Nasdem, Demokrat, dan Hanura.

BACA JUGA:  BANG MESIR: ALETHEIA SASAK ITU TELAH PERGI (Untuk Mereka yang Sudah Pergi dan Masih di Bumi)

Jika Golkar dan PKB melabuhkan dukungannya pada salah satu pasangan kandidat yakni Zul-Uhel atau Iqbal-Dinda, maka dapat dipastikan terjadinya “Head to Head” pasangan kandidat Zul-Uhel dan Iqbal-Dinda.

Tetapi jika PKB melabuhkan dukungannya pada pasangan kandidat Rohmi-Firin yag sebelumnya telah didukung oleh Perindo dan PDIP, maka Rohmi-Firin dapat memenuhi ambang batas pencalonan, sehingga ada tiga pasangan kandidat yang akan berkompetisi pada tahap “on election” yaitu Zul-Uhel, Iqbal-Dinda, dan Rohmi-Firin.

Tetapi jika Golkar dan PKB melabuhkan dukungannya pada pasangan kandidat Gita-Sukiman, maka tetap tiga kandidat yang bakal berkompetisi pada tahap “on election” yakni Zul-Uhel, Iqbal-Dinda, dan Gita-Sukiman.

Tetapi yang jelas pada tahap “on election”, jika tidak terjadi “Head to Head”, maka maksimal hanya tiga pasangan kandidat yang bakal berkompetisi pada Pilkada 2024.**