Racun Kematian itu Bernama KEK Mandalika

Oleh: DR Salman Faris

Konsep racun dalam tulisan ini merujuk kepada apa yang disebut Nietzsche, seorang filsuf berasal dari Jerman yang mempelajari teks-teks kuno untuk membongkar peradaban manusia, dalam (Seruan Zarathustra) sebagai “Berhala Baru” ialah kapital dan pasar yang mengumbar kebohongan melalui bahasa-bahasa muluk tentang pemerataan, pembagian yang berkeadilan, penyediaan lapangan pekerjaan, pemberdayaan masyarakat setempat, kemajuan yang menyejahterakan, mengembangkan kearifan lokal, masyarakat lokal diberikan ruang.

Racun yang diciptakan kapital dan pasar ini diambil dari bahan baku asli Kek Mandalika yang bernama tanah tumpah darah Kute kemudian diracik menjadi jamuan yang pada akhirnya membunuh mereka yang empunya gumi paer. Menariknya, para empunya gumi paer mati karena bahan racun yang dicuri dari rahimnya sendiri. Disuntikkan ke dalam relung terdalam mereka dengan metode kebohongan yang cantik bernama gincu kemajuan. Kemudian, masih saya pinjam dari seruan Zarathustra, mereka para peracik racun itu berpapasan dengan para empunya tanah, lalu segera mereka menyeru, “Hidup Tersangkal!” Ya, hidup para empunya tanah memang tersangkal dari rahim yang mengandunginya karena kebohongan cantik para peracik racun.
Hidup masyarakat lokal semakin tersangkal karena mereka sudah diguyur ketidaksadaran secara keterlaluan. Tidak sadar yang mereka dijebak ke dalam remah-remah kebohongan yang membumbui mimpi. Begitu tidak sadarnya, malahan mereka pula yang menjadi corong para berhala untuk menghalai siapa pun yang masih berakal sehat dalam melihat bahaya keracunan Kek Mandalika. Jika masyarakat sudak tidak percaya lagi bahwa kemiskinan tak mungkin memenangkan pertarungan melawan kapitalis atau janji kapitalis tentang hingar bingar Kek Mandalika yang juga tercucur kepada mereka, maka semakin sadislah ketersangkalan masyarakat lokal itu. Ketersangkalan nasib masyarakat lokal makin mengganas tak terkendali apabila mereka sudah terjebak sedalam-dalamnya ke ruang ketidaksadaran yang, mereka sebenarnya berada di ruang hampa, pelataran kosong fatamorgana kapitalis. Ujungnya nanti, masyarakat lokal yang akan meminum racun ke mulutnya sendiri hingga mati sebelum mimpi tertuai. Dan ini ialah drama yang semakin menguntungkan kapitalis, sebab mereka tak perlu mengeluarkan biaya sesen pun untuk benar-benar memusnahkan masyatakat lokal untuk seterusnya menjadikan Kek Mandalika sebagai pusat kuasa segala kuasa.
Hal sama tentang konsep kematian yang dirujuk kepada eksistensialisme Nietzsche yang menyebutkan bahwa kematian bukan saja mengenai ketiadaan kehidupan. Kematian yang dimaksudkan ialah kematian kemanusiaan (humanness) yang, dalam penyebutan Imam Ghazali sebagai kematian yang belum waktunya untuk menyebut manusia yang tidak berguna karena kegunaannya dibunuh oleh kuasa. Dengan kata lain, kematian yang dimaksudkan diturunkan atau diulir dari kematian yang tiada menuju keesensian manusia. Salah satu esensi manusia ialah kemerdekaan untuk mengaktualisasikan diri. Kemerdekaan untuk mendapatkan udara, air, tanah berdasarkan undang-undang yang diciptakan oleh mereka untuk keperluan mereka sendiri. Esensi manusia modern ialah mereka yang dapat menikmati modernitas itu, bukan dibunuh secara menyakitkan oleh modernitas tersebut. Esensi manusia maju ialah mereka yang merdeka dengan bahagia dalam kemajuan, bukan tertindas tanpa perlawanan oleh kemajuan tersebut. Esensi manusia Kek Mandalika ialah mereka yang menikmati segala yang dinikmati oleh mereka yang memanipulasi Kek Mandalika, bukan manusia yang disangkal, bukan manusia yang dilabelkan sebagai ranting yang ditunggu patahannya, bukan manusia yang dihalau dari rahim tanah mereka dengan berbagai standar manusia luar yang hanya datang membuang tinja dan sperma serta keringat ke Kek Mandalika. Esensi manusia Kek Mandalika adalah mempunyai tanah. Merdeka untuk terikat pada sejarah. Bukan manusia yang meminum racun untuk kematiannya sendiri sebab sudah dijajah tanpa sadar oleh gerombolan berhala Kek Mandalika.
Seterusnya, untuk sedikit lebih dalam melihat bahwa Kek Mandalika memang racun mematikan kemanusiaan masyarakat lokal saya gunakan teori subaltern yang pertama kali diperkenalkan Antonio Gramsci (seorang filsuf berasal dari Italia yang banyak menghabiskan pemikiran dengan teori kuasa politik) dalam tulisannya tentang Hegemoni Kultural. Gramsci melihat bahwa siapa pun mereka yang masuk dalam kelompok yang disangkal, dikucilkan, dikecualikan, diekslusi dalam setiap tatanan sosial, dalam setiap rantai ekonomi, dalam semua stuktur kekuasaan ialah subaltern. Tentu saja, pengucilan tersebut dilakukan menggunakan semacam sistem atau aturan atau undang-undang yang diproduksi oleh kaum elite yang pemberlakuannya secara sepihak. Dalam hal ini, jika melihat pemetaannya, sudah jelas ada kaum elite yang entah datang dari golongan penguasa politik atau pun penguasa ekonomi dan terdapat masyarakat lokal di Kek Mandalika. Kedua kelompok ini kemudian ada yang menjadi pusat ordinat yakni mereka yang menguasai dan mampu menikmati Kek Mandalika dan subordinat yakni masyarakat lokal yang tidak lagi mempunyai kuasa di Kek Mandalika.
Lebih jauh lagi Gayatri Spivak (seorang perempuan India yang banyak memelopori kajian poskolonial) mengembangkan bahwa subaltern bukan hanya identik dengan kelas yang tertindas. Spivak juga menegaskan yang subaltern tidak hanya melingkupi mereka yang disebut sebagai kelompok the other. Dengan kata lain, Spivak, ingin semakin memperjelas bahwa subaltern merujuk kepada segala sesuatu yang berhubungan dengan tindakan pembatasan akses yang dilakukan oleh kelompok tertentu. Bahkan secara detail Spivak menyebutkan sebagai subaltern apabila berlaku pembatasan akses bagi keterwakilan mereka yang disangkal. Akses yang dimaksudkan Spivak bergantung kepada situasi kultural mereka yang dikucilkan. Jika ditarik kepada masyarakat lokal di Kek Mandalika, maka akses ini akan merujuk kepada akses kepemilikan.
Pertama sekali yang dilakukan olek Kek Mandalika ialah membebaskan tanah yang terindikasi secara penuh masalah alias teknik muslihat uang dan kuasa. Dikatakan penuh masalah karena sampai sekarang, ketika konstruksi pembangunan di Kek Mandalika sedang melaju, kasus tanah belum juga sepenuhnya dirampungkan (saya meyakini, kasus tanah ini tidak akan selesai sampai Kek Mandalika kiamat). Proses kepemilikan tanah yang sudah diakuisisi Kek Mandalika ini berdampak kepada peralihan kuasa dari kuasa tanah yang bersifat historis dan kultural menjadi tanah yang bersifat pasar. Dengan kata lain, Kek Mandalika merasa tidak berkewajiban untuk menjaga kesejarahan semua tanah yang di Kek Mandalika karena memang mereka tidak mempunyai ikatan apa pun selain ikatan pasar. Maka apabila masyarakat lokal ingin mengakses kesejarahan tanah tersebut, harus melalui prosedur yang diterapkan oleh Kek Mandalika. Itu bermakna akses untuk masyarakat lokal sudah merosot. Apabila di masa dahulu mereka secara bebas bisa merayakan ikatan batin mereka dengan tanah di Kute, sekarang mereka harus mengikuti prosedur Kek Mandalika yang, bisa jadi kandungan prosesdur tersebut pada akhirnya nanti menihilkan akses masyarakat lokal. Maka jadilah Kek Mandalika sepenuhnya ialah tanah pasar. Segala sesuatu yang bersifat historis bahkan mitologis sudah diubah menjadi pasar. Bahkan bukan tidak mungkin, bau nyale yang menjadi salah satu ikatan batin masyarakat lokal dengan tanah di Kute akan diubah menjadi pasar. Misalnya dengan mengadakan kontestasi kecantikan ala miss world yang mengkomodifikasi Putri Mandalika sebagai standar pasar baru kecantikan wanita. Poin saya di sini ialah, arus utama kolonilasasi wajah baru ini mewujud pada beralihnya otoritas tanah yang, sebelumnya berada di tangan masyarakat lokal kepada para berhala. Sebelumnya tanah ialah simbol otoritas yang paling memerdekakan masyarakat lokal, namun sekarang otoritas itu sudah beralih, dan itu menunjukkan betapa masyarakat lokal secara substansial sebenarnya sudah terusir dari Kek Mandalika meskipun mereka masih nampak berada di situ. Apa gunanya memegang sabit jika tak punya otoritas apa pun untuk menggunakan sabit tersebut? Begitulah pahitnya situasi keracunan masyarakat lokal dalam pesta pora Kek Mandalika.
Peralihan akses tanah tersebut secara sederhana dapat dilihat melalui tiga fase. Pertama, Kek Mandalika memutus akses material masyarakat lokal dengan menguasai tanah Kek Mandalika. Kedua, memutus akses historis masyarakat lokal dengan menciptakan prosedur dan standar. Dan yang ketiga ialah benar-benar menebar racun kematian masyarakat lokal dengan memutus segala akses historis masyarakat lokal dengan tanah tumpah darah mereka. Jika sudah sampai pada tahap ini, maka hilang esensi kemanusiaan masyarakat lokal karena mereka hanya dapat hidup namun tidak dapat menyemai kehidupan mereka selayaknya manusia yang setiap hari pesta pora di kawasan Kek Mandalika. Analogi sederhananya begini, pada masanya, perempuan-perempaun cantik bagai hujan belabur berlenggok di Kek Mandalika, segala jenis mobil paling mahal akan terparkir penuh angkuh kuasa, segala merek pakaian dan brand makanan dunia nangkring dengan megahnya di pelataran Kek Mandalika. Siapa penikmtanya? Bukan masyarakat lokal sebab mereka sudah tak ada daya dan kuasa. Para berhalalah yang pesta pora. Lantas racun kematiannya di mana? Ya, ketika masyarakat lokal hanya dapat menelan liur ludah secara pahit, lalu lama-lama tenggelam ke dalam fantasi yang tak sampai. Apakah mereka tidak diberdayakan? Sudah, namun sumber daya manusia saja amat tidak cukup dalam logika kapitalis karena penguasa tunggal ialah material. Jadi buat apa masyarakat lokal diberdayakan kalau mereka tak punya akses kepada kecukupan secara material.
Pada tahap yang paling menyakitkan ialah ketika masyarakat lokal sudah menjadi the other. Orang lain di tanah mereka sendiri. Dipandang asing oleh manusia baru di Kek Mandalika, kemudian diperkenalkan sebagai manusia yang hanya patut dilestarikan kehidupan mereka. Pada tahap ini, masyarakat lokal dijadikan objek kebahagiaan oleh manusia baru secara satire dan parodis. Ditempatkan sebagai objek penelitian dan objek santunan sosial. Para “Berhala Baru” membuat program sosial dengan mengumumkan kepada manusia baru di Kek Mandalika, kemudian mereka dengan tertawa sedikit merogoh isi kantong. Terakhir, bersama pemerintah, para orang baru tersebut membuat acara seremoni penyaluran bantuan sosial kepada the other, alias masyarakat lokal yang sejatinya si empunya tanah.
Pemberangusan akses ini juga pasti berlaku dalam akses ekonomi, akses modal, akses keterwakilan. Dalam konteks akses keterwakilan, yang paling buruk bisa terjadi ialah para penyembah “Berhala Baru” bekerja sama dengan pemerintah untuk mengangkat wakil yang bukan dari masyarakat lokal. Sudah umum berlaku, pemerintah selalu menjadi wakil masyarakat jika sudah berhubungan dengan Kek Mandalika. Ada dua hal mendasar yang bisa dilihat dalam akses keterwakilan ini. Pertama, masyarakat lokal tidak bisa mewakili diri mereka sendiri. Segala hal tentang diri mereka diwakili oleh orang lain yang, buruknya itu adalah pemerintah. Padahal pemerintah bisa jadi ialah salah satu aktor lain yang mengucilkan masyarakat lokal dari Kek Mandalika. Kedua, masyarakat lokal sudah tak lagi dipandang sebagai kelompok yang mempunyai esensi karena mereka tidak bisa mengakses objek yang menjadi keperluannya. Dan menurut Spivak, situasi paling buruk pada diri seseorang ialah ketika mereka tidak lagi dapat mewakili diri sendiri. Pihak Kek Mandalika dengan gagah berteriak bahwa mereka sudah mengakomodasi masyarakat lokal dengan cara menciptakan keterwakilan. Namun amat disayangkan wakil tersebut diletakkan pada pos pembersih kotoran mereka. Dalam konteks subaltern, keterwakilan pada pos yang tidak terhormat masih menunjukkan nasib tertindas masyarakat lokal. Mereka bahkan identik dengan kelas pekerja yang kedudukannya sama sekali tidak pernah dipandang penting. Keterwakilan tersebut dibentuk hanya untuk gincu agar penindasan kemanusiaan yang dibuat dapat berjalan dan nampak dalam kewajaran.
Jangan bicara akses ekonomi atau pun akses modal. Kedua hal ini sudah dipastikan tidak mungkin terjadi. Masyarakat lokal tidak mungkin dapat mengakses ekonomi dan modal di Kek Mandalika. Ketika pada akhirnya, Kek Mandalika ialah pasar, maka kekuatan utama ialah uang. Seandainya dikumpulkan seluruh uang masyarakat lokal yang di lingkar Kek Mandalika, mereka tidak akan mampu mencipta pasar sendiri karena, pertama mereka tidak mempunyai modal yang cukup untuk mengakses pasar. Kedua, bahkan Kek Mandalika tak pernah terfikir yang, masyarakat lokal layak menjadi pasar. Pasar Kek Mandalika ialah para penyembah “Berhala Baru”, mereka yang mempunyai kapital, pencipta, pasar, penguasa modal ditambah manusia yang disebut Nietzsche sebagai “Para Tarantula”, yakni mereka yang mempunyai kebencian kepada yang bukan diri golongan mereka sendiri. Maka jelaslah bahwa, tidak bisa dimungkiri yang masyarakat lokal merupakan subaltern dari para “Berhala Baru” di Kek Mandalika. Para “Berhala Baru” yang mengucilkan masyarakat lokal dengan simbol, dengan teks, dan tentu saja dengan gaya hedon yang serba fetisis yang, akhirnya akan semakin mengerdilkan masyarakat lokal karena nasib tertindas mensahkan mereka sebagai manusia yang kehilangan esensi. Racun yang mereka benci akhirnya membunuh mereka sebelum tiba waktunya mati. Maka sepanjang waktu itu, Kek Mandalika sebenarnya tak lebih dari satu masa dan satu alat untuk mengkerdilkan masyarakat lokal karena dengan uang pada ahkirnya, masyarakat lokal menjadi kelompok “Yang Lain” di kawasan Kek Mandalika. Dan selama manusia menjadi “Yang Lain” di lingkungannya, selama itu pula kematian kemanusiaan berlaku tanpa belas kasihan.
Jadi selama pengecualian kemanusiaan dalam perspektif subaltern berlangsung di Kek Mandalika, selama itu juga genosida kemanusiaan terjadi secara terus-menerus.
Kejam, bukan?

BACA JUGA:  Uang Kesepakatan Berujung Penjara

Malaysia, 27 November 2020