Kebijakan pembelajaran secara daring atau dalam jaringan sebagai upaya memutus persebaran Covid 19 memberikan dampak bagi dunia pendidikan. Pola pembelajaran yang tidak mengharuskan tatap muka berimbas bagi perekenomian warga.
Pasalnya, untuk bisa mengikuti pembelajaran tersebut membutuhkan kuota internet. Artinya, ada uang belanja tambahan yang harus disediakan orang tua. Padahal, uang tambahan itu bisa jadi dilakukan dengan harus mengurangi bumbu dapur. Itu baru dari sisi pembelian kuota internet.
Dari sisi pemahaman atau pendampingan saat belajar. Apakah orang tua memahami apa yang diajarkan guru dan bisa memberikan pemahaman kepada anak ketika anak kurang paham terhadap pelajaran yang disampaikan. Kalau orang tua tidak paham? Lantas apa yang diajarkan kembali kepada anak? walllahu a’lam.
Dari sisi anak yang belajar secara daring, juga memiliki kendala yang tidak bisa dianggap ringan.
Dari sisi bahasa pengantar pembelajaran yang menggunakan Bahasa Indonesia, tentu tidak masalah bagi yang sudah terbiasa menggunakan Bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari hari. Tapi, bagaimana dengan masyarakat yang belum terbiasa. Tentu, mengalami kendala dalam pemahamannya.
Masih ada persoalan yang tidak kalah menariknya yakni area blank spot. Beberapa wilayah di Nusa Tenggara Barat termasuk area yang belum terjangkau lambaian internet. Akibatnya, siswa tidak bisa mengiikuti pembelajaran. Kalaupun dipaksakan dengan mencari area internet, muncul persoalan, pendamping pembelajaran agar siswa memahami apa yang disampaikan dalam pembelajaran daring.
Persoalannya tidak berhenti disitu. Kemauan siswa untuk belajar menjadi hal terpenting. Ini yang harus ditumbuhkembangkan. Bila tidak, fasilitas yang ada bisa jadi disalahgunakan, misal berselancar di medsos dan lainnya dengan tema yang lain.
Menyiasati kondisi lapangan, beberapa guru berinisiatif membentuk kelompok belajar . tapi efektifitasnya pun menjadi persoalan. Belum lagi jumlah siswa yang tidak sebanding dengan jumlah guru.
Apalagi kalau mau bicara kalkulasi hasil pembelajaran? akan lebih banyak variabel lagi yang muncul.
Sampai saat ini hasil pembejaran daring masih sekedar belajar. Ini belum kita menengok kondisi ril di lapangan.
Sebagai contoh, masyarakat yang hidup di kampung, jaringan internet ada tapi orang tua tidak paham pembelajaran daring? Apa yang terjadi? Anak usia SD hingga SMP tetap bermain tanpa tahu kapan waktu belajar dan tidak pernah ke sekolah. Alasannya? macam-macam dari persoalan kuota, tidak paham pelajaran hingga fasilitas pembelajaran.
Adakah solusi lain yang bisa ditawarkan? Tergantung kebijakan pemangku kekuasaan.
Memang, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah memberikam Kebijakan dana operasional sekolah (BOS) bisa digunakan untuk pembelian kuota. Tapi, realisasi di lapangan bagaimana? Pastinya, apa yang menjadi keresahan orang tua atas pembelajaran daring harus segera disikapi. Bila tidak, semua berjalan dalam alam mimpi. Begitu bangun dari tidur, hanya kesedihan yang didapat. Semoga secepatnya ada jalan keluar! (Editor MRC)