OPINI: Sasak Lacur, Birokrasi Korup Bertopeng Sasak (Kritik Terhadap “Sasak Besopok” yang Manipulatif

Investigasi yang dilakukan oleh NTBSatu telah mengungkap dugaan aliran fee yang melibatkan pejabat tinggi daerah dan pengusaha lokal untuk kepentingan politik dalam kontestasi Pilkada NTB 2024.

Fakta ini mencerminkan bagaimana kekuasaan tidak hanya bertumpu pada regulasi yang legal, tetapi juga pada praktik-praktik manipulatif yang menguntungkan segelintir elite.


Dalam ranah jurnalisme, hukum jurnalistik menggariskan bahwa setiap berita harus melalui proses verifikasi sebelum dipublikasikan. Konfirmasi menjadi prosedur utama untuk memastikan informasi yang diberikan kepada publik adalah akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Namun, laporan NTBSatu menunjukkan bahwa upaya konfirmasi kepada pejabat yang diduga terlibat tidak mendapatkan tanggapan. Sikap diam ini bukan sekadar tindakan defensif, tetapi bagian dari strategi birokrasi korup untuk menghindari pertanggungjawaban.


Fenomena ini menunjukkan bagaimana birokrasi yang ideal berdasarkan konsep Max Weber dalam bukunya Economy and Society (1968) mengalami deviasi dalam praktiknya.

Weber menjelaskan bahwa birokrasi seharusnya beroperasi dalam sistem yang rasional, hierarkis, dan berlandaskan aturan yang jelas. Namun, birokrasi korup membalikkan prinsip ini, di mana keputusan dibuat berdasarkan kepentingan pribadi atau kelompok, bukan demi kepentingan umum.


Ketika birokrat Sasak melakukan kejahatan birokrasi, mereka sama sekali tidak membangun rasionalitas kesasakan. Mereka tidak menciptakan struktur birokrasi yang mengedepankan nilai-nilai etis yang seharusnya menjadi landasan bagi masyarakat Sasak.

Rasionalitas yang mereka gunakan bukanlah rasionalitas yang berakar pada falsafah Sasak, melainkan rasionalitas semu yang hanya berfungsi untuk melanggengkan kekuasaan dan memperkaya diri sendiri.

Mereka tidak mengutamakan sistem hierarki moral dan etika Sasak, melainkan menyingkirkan nilai-nilai tersebut ketika berhadapan dengan kepentingan pragmatis mereka sendiri.


Lebih dari itu, birokrasi yang mereka jalankan tidak mencerminkan struktur yang adil dan berorientasi pada kesejahteraan orang Sasak. Sebaliknya, birokrasi dijadikan alat untuk memperkuat jaringan oligarki yang menguntungkan kelompok elite tertentu.

BACA JUGA:  Inflasi Lotim Januari 2024 “Rendah dan Stabil”

Ketika kejahatan mereka terendus, mereka tidak mengakui kesalahan atau mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, melainkan menggunakan birokrasi sebagai alat propaganda untuk menciptakan kesadaran kesasakan yang palsu dan menyesatkan. Dalam kondisi ini, mereka bukan hanya melanggar etika birokrasi, tetapi juga mengkhianati prinsip-prinsip nilai yang seharusnya menjadi landasan moral bangsa mereka sendiri.


Ini menunjukkan bahwa birokrat Sasak dalam konteks ini tidak benar-benar memegang prinsip, falsafah, dan nilai Sasak sebagai sebuah sistem birokrasi yang seharusnya berfungsi melayani kepentingan bangsa Sasak.

Sebaliknya, mereka menggunakan birokrasi sebagai instrumen kekuasaan yang korup, di mana regulasi yang ada hanya dimanfaatkan untuk membenarkan tindakan mereka dan menghindari konsekuensi hukum. Dengan demikian, rujukan utama mereka bukanlah birokrasi yang bersih dan profesional, melainkan birokrasi yang korup dan penuh manipulasi.


Konsep kekuasaan yang digunakan dalam praktik ini sangat dekat dengan gagasan Niccolò Machiavelli dalam bukunya The Prince (1532). Machiavelli menekankan bahwa penguasa harus menggunakan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan, termasuk melalui manipulasi, tipu daya, dan eksploitasi atas ketidaktahuan masyarakat.

Dalam pandangan Machiavelli, kekuasaan tidak didasarkan pada moralitas konvensional, melainkan pada kebutuhan untuk bertahan dan mengendalikan situasi politik demi mencapai stabilitas.

Seorang pemimpin yang ingin mempertahankan posisinya tidak boleh terikat oleh batasan moral yang menghalangi tindakan-tindakan strategis yang diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan.


Ketika para birokrat Sasak melakukan tipu daya dan praktik muslihat politik menggunakan mesin birokrasi, mereka sama sekali tidak mengarusutamakan moral Sasak. Mereka mengabaikan etika Sasak yang sejati.

Sebaliknya, begitu praktik culas mereka terbongkar, mereka segera bertopeng menggunakan moral dan etika Sasak secara manipulatif. Ini adalah strategi khas dalam politik Machiavellian, di mana moralitas digunakan bukan sebagai pedoman tindakan yang tulus, melainkan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan.

BACA JUGA:  KEBON KUPI SEMBALUN (Catatan Akhir Tahun 2021 Tentang Tuhan yang Jauh)


Machiavelli menekankan bahwa penguasa harus berani menggunakan segala cara, termasuk kebohongan dan manipulasi, untuk menjaga stabilitas dan mempertahankan kekuasaan. Para birokrat Sasak yang terjebak dalam skandal korupsi tidak segan-segan mengeksploitasi sentimen etnis dan budaya demi melindungi kepentingan mereka.

Mereka membajak nilai-nilai yang seharusnya menjadi perekat sosial untuk menutupi kesalahan mereka sendiri. Dalam praktik ini, mereka tidak benar-benar mengemban tanggung jawab moral, melainkan hanya berusaha memanfaatkan moralitas sebagai tameng dari serangan publik.


Kembali kepada Max Weber, di mana konsep ini semakin kuat menyoroti bagaimana birokrasi yang seharusnya rasional dan efisien dapat berubah menjadi alat kekuasaan yang korup dan manipulatif.

Weber menjelaskan bahwa birokrasi yang terlalu hierarkis dan tidak memiliki mekanisme akuntabilitas yang ketat cenderung melahirkan pejabat yang lebih loyal kepada struktur kekuasaan dibandingkan kepada kepentingan rakyat. Dalam kasus ini, para birokrat Sasak tidak berfungsi sebagai pelayan masyarakat, tetapi justru menjadi kelompok yang melanggengkan penyalahgunaan kekuasaan dengan memanfaatkan retorika budaya dan nilai-nilai lokal.


Dalam permainan ini, etika Sasak tidak pernah menjadi prioritas. Ketika kekuasaan masih berada di tangan mereka, birokrat Sasak tersebut mengabaikan etika yang mereka serukan saat skandal terungkap.

Sebagaimana dijelaskan oleh Machiavelli, seorang penguasa tidak harus berpegang teguh pada janji moral jika itu menghambat kepentingannya. Dengan kata lain, moralitas Sasak, kebangsaan Sasak, Sasak Besopok hanya digunakan sejauh ia menguntungkan penguasa, bukan sebagai prinsip yang harus dipegang secara konsisten.


Sejarah kekuasaan juga memperlihatkan bahwa kelompok yang kalah atau terpinggirkan sering kali mencoba merebut kembali kendali dengan memanipulasi identitas kebangsaan. Dalam masyarakat Sasak, konsep “Sasak Besopok” atau persatuan Sasak sering dijadikan alat untuk membangun solidaritas kolektif.

Namun, ketika konsep ini dimanfaatkan oleh elite korup, ia berubah menjadi alat untuk menutupi praktik penyalahgunaan wewenang. Di bawah kedok persatuan, kritik terhadap individu yang melakukan korupsi dibungkam dengan dalih membela martabat Sasak.

BACA JUGA:  NU Muhammadiyah Nahdlatain: Sopo Sila Sabua Aren Sak Dulang

Akibatnya, orang-orang Sasak diajak untuk membela “Sasak bodoh” dan “Sasak maling” atas nama kebangsaan, padahal yang mereka bela bukanlah kepentingan Sasak secara keseluruhan, melainkan segelintir elite yang menguasai sumber daya dan kekuasaan.


Birokrat Sasak korup memahami bahwa orang Sasak sangat mudah terjebak dalam ilusi identitas, sehingga mereka menggunakan retorika kebangsaan untuk melindungi diri mereka dari kritik.

Konsep ini bukan hanya berlaku dalam konteks NTB, tetapi juga dalam sejarah kekuasaan secara lebih luas. Para pemimpin di banyak negara telah menggunakan nasionalisme sebagai tameng untuk melindungi kepentingan pribadi dan kelompok mereka.

Dalam politik, kekuasaan yang tidak terkontrol cenderung menghasilkan penindasan dan eksploitasi terhadap rakyatnya sendiri. Machiavelli menyebut bahwa rakyat sering kali mudah diperdaya oleh tampilan luar pemimpin mereka, dan inilah yang dimanfaatkan oleh birokrasi Sasak korup.


Masyarakat Sasak wajib menyadari bahwa mereka telah menjadi korban dari permainan politik yang licik. “Sasak Besopok” yang sejati bukanlah sekadar persatuan untuk membela siapa pun yang berasal dari kelompok mereka, tetapi persatuan untuk menuntut keadilan dan kesejahteraan bersama.

Selama elite birokrasi Sasak terus menggunakan identitas kebangsaan sebagai alat untuk mencuci tangan dari korupsi dan kejahatan birokrasi lainnya, masyarakat akan terus tertipu dan terjebak dalam lingkaran eksploitasi kesadaran kebangsaan.


Kesadaran Sasak kritis adalah kunci utama untuk membebaskan bangsa Sasak dari jebakan jahat semacam ini. Sasak tidak boleh lagi menjadi korban dari para manipulator dari kalangan bangsa mereka sendiri, yang bersembunyi di balik simbol-simbol kebangsaan, karena kebangsaan Sasak sejati tidak dibangun di atas kebohongan dan penindasan, tetapi di atas kejujuran dan keadilan untuk semua orang Sasak.

Malaysia, Syakban 2025.