Penulis : Dedi Suhadi
Secara geografis, wilayah Desa Mambalan masuk Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat. Desa Mambalan mengalami pasang surut kekuasaan. Berdiri sejak 1600-an atau 1650 namun ada yang menyebut 1672 . Mambalan semula berbentuk kedatuan, baru pada 1868, kedatuan Mambalan berubah menjadi Desa.
Pada 1964, Desa Mambalan dimekarkan menjadi dua yakni Desa Induk Mambalan dan Desa Penimbung. Dalam kurun 2001-2007 terjadi pemekaran wilayah. Dusun Mambalan dimekarkan menjadi Dusun Mambalan, Dusun Buwuh dan Dusun Baturiti. Dusun Jeringo dimekarkan menjadi Dusun Gelangsar, Dusun Songoran, Dusun Geripak, Dusun Jeringo Daya, Dusun Jeringo Lauk, Dusun Jeringo Limbungan dan Dusun Jeringo Barat. Sedang Dusun Lilir II dimekarkan menjadi Dusun Lilir Barat (pergantian dari Dusun Lilir II) dan Dusun Lilir utara.
Pada 2010 Desa Mambalan dimekarkan menjadi Desa Mambalan dan Desa Gelangsar. Dan pada 2011, Desa Mambalan dimekarkan menjadi Desa Mambalan dan Desa Jeringo.
Sejarah Mambalan
Berdasar catatan, Kedatuan Mambalan berdiri sekitar 1600-an atau 1650-an. Namun, tokoh masyarakat Mambalan, Datu Karsa menyebut angka 1672 untuk berdirinya kedatuan Mambalan.
Lalu Djelenge dalam buku Keris di Lombok menuturkan Deneq mas Undah Putih, Datu Pejanggik yang merupakan buyut dari Deneq Mas Putra Pengendeng Segara Katon Rembitan memerintahkan anaknya Deneq Mas Permas Gingsiran agar mendirikan wilayah kekuasaan di Mambalan.
Setelah Deneq Mas Permas Gingsiran meninggalkan tampuk kekuasaan, roda pemerintahan Kedatuan Mambalan di pegang oleh anaknya, Deneq Mas Laki Gigiran. Walau Mambalan berbentuk kedatuan namun pola pemerintahan tidak seperti layaknya pemerintahan kerajaan/ aristokrasi.
Menurut Budayawan Mambalan, Raden Muhamad Rais Datu Mambalan tidak menampakan diri sebagai seorang penguasa. Ia lebih menyerupai rakyat biasa dengan berpakaian layaknya rakyat kebanyakan. Begitupun dengan pola kehidupannya, tidak mencolok.
Perilaku demikian, jelas Rais boleh jadi merupakan pemahaman Datu Mambalan yang begitu mendalam kepada ajaran Islam. “Beliau menerapkan ajaran islam –fiqih dan tasawuf — dalam kehidupan sehari-hari,” jelasnya.
Dijelaskan, kedatuan Mambalan tidak memiliki keraton dan datunya bekerja sebagaimana layaknya masyarakat seperti bertani.
Kesederhanaannya, membuat rakyat Mambalan patuh dan hormat kepadanya. Sehingga, Mambalan menjadi kedatuan yang kuat baik dari sisi ekonomi maupun militernya (daerah yang sulit ditaklukan dengan kekuatan senjata).
Guna mengikat kekerabatan, Anak Agung Ngurah Karang Asem mengambil salah seorang putri Mambalan yakni Dende Fatimah untuk dijadikan istrinya.
Datu Mambalan melihat kekerabatan tersebut bisa mengamankan Kedatuan dari serangan Cakranegara. Maka terjadilah pernikahan Anak Agung Ngurah Karang Asem dengan Dende Fatimah.
Dikemudian hari, pernikahan Anak Agung Ngurah Karang Asem baik dengan Dende Aminah yang berubah nama menjadi Dewi Nawangsasih putri dari Kalijaga maupun Dende Fatimah putri dari Mambalan memberi kontribusi berkurangnya tekanan kekerasan Puri Cakranegara kepada rakyat Lombok khususnya yang beragama Islam.
Walau tidak ada keraton dalam memerintah rakyat, kedatuan Mambalan terus berjalan hingga 1800. Memasuki 1868, kedatuan Mambalan berubah menjadi desa dan dusun seiring kekuasaan Anak Agung Ngurah Karang Asem, penguasa Puri Cakranegara.
Sejak itu, penyebutan kepala pemerintahan di Mambalan berubah menjadi Penglingsir dengan Datu Cempa sebagai kepala desa pertama.
Pergulatan kekuasan dan konflik peperangan di Lombok yang melibatkan suku sasak dengan penguasa Puri Cakranegara memberi warna bagi kehidupan masyarakat. Namun, pranata sosial layaknya kehidupan masa lalu sebagai identitas status sosial seperti panggilan Datu, Raden, Lalu dan Jajar Karang masih ditemukan di masyarakat Mambalan hingga kini. “Masyarakat masih tetap menghormati panggilan itu,” jelas Rais.
Adanya sebutan kebangsawanan, tidak menjadi jurang pemisah dalam kehidupan bermasyarakat di Mambalan Mereka hidup saling menghargai dan selalu mengedepankan kerukunan. “Ini buah perilaku leluhur Mambalan yang selalu memberikan tauladan kepada masyarakatnya,” jelas Rais.
Menurut Rais, Datu Mambalan selalu memberikan contoh terbaik dalam berperilaku. Ia tidak membedakan status sosial masyarakatnya. Semua dihargai sebagaimana mestinya.
Bahkan, Datu Mambalan tidak segan-segan turun ke lapangan membantu masyarakat. Misalnya, ketika ada masyarakat bergotong royong, Datu turut mengangkut sampah atau membersihkan tempat yang kotor.
Tidak adanya sekat dalam tata kehidupan masyarakat, hingga kini warga Mambalan tetap menaruh hormat kepada keturunan Datu Mambalan dan tetap menjaga kehormatan Mambalan.
Bukti penghormatan kepada para datu, jelas Datu Karsa yang diamini Raden Rais juga Lalu Rahman –juru rawat Makam Lalu Gede– bisa dilihat dari masih berlakunya tatanan di pemakaman Baturiti.
Dibagian utara dengan kondisi tanah lebih tinggi diperuntukkan bagi warga bergelar datu. Agak ke selatan diperuntukkan bagi warga bergelar raden. Kemudian ke selatan lagi diperuntukan warga bergelar lalu, baru yang paling selatan pemakaman bagi masyarakat biasa atau jajar karang.
Mengenai makam salah satu Datu Mambalan yang berada ditengah dan dinilai paling tua, Muhamad Rais menjelaskan Datu Mambalan mengayomi seluruh masyarakat Mambalan tanpa melihat status atau Datu Mambalan hidup ditengah rakyatnya.
Hukum Kemit
Pergolakan dan konflik politik antara suku sasak dan penguasa Puri Cakranegara — Karang Asem Mataram–Anak Agung Ngurah Karang Asem tidak hanya melibatkan Suku Sasak dan suku Bali. Pergolakan itu terus merembet hingga pemerintah Hindia Belanda (VOC) ikut terlibat didalamnya.
Konflik politik antara kedua suku ini membuat kedudukan suku Sasak kian melemah dan akhirnya meminta bantuan pemerintah Hindia Belanda.
Dr Alfons van der Kraan dalam bukunya Lombok Penaklukan, penjajahan dan Keterbelakangan 1870 – 1940 menguraikan setelah merasa tidak mampu menghadapi kekuatan politik Karang Asem Mataram dan pemberontakan petani Sasak, para aristokrasi Sasak mengirim surat ke pemerintah Hindia Belanda guna meminta bantuan. Sebagaimana ternukil dalam surat tertanggal 30 Oktober 1892…..Kami semua telah setuju, yang tinggi dan juga yang rendah untuk mengumumkan dengan segala keikhlasan bahwa kami menyerahkan tanah Selaparang ke dalam tangan Gubernur Jendral…apabila dengan bantuannya orang Bali telah dihalau dari daerah ini dan nama mereka telah lenyap, sehingga tanah ini telah bersih dari orang Bali. Kami semua dengan segala senang hati akan mematuhi perintah-perintah paduka (bahwa Gubernur Jendral harus membantu kami) adalah juga perlu agar kami mempunyai kepala, menguasai masyarakat atas dan masyarakat rendah, supaya kami dapat menjadi satu pikiran untuk mencapai situasi dalam mana setiap orang adalah tuan bagi dirinya sendiri…..
Setelah Belanda mengukuhkan kekuasannya di Lombok, penderitaan rakyat bukan berkurang. Berbagai peraturan yang dibuat pemerintah Belanda semakin menyulitkan kehidupan rakyat.
Fath Zakaria menulis pembagian kekuasaan (kepala distrik) yang tidak merata antara ningrat Sasak dengan Bali, menimbulkan kekecewaan. Dimana, ningrat sasak hanya menguasai 7 kedistrikan sedang priyayi punggawa Bali menguasai 11 kedistrikan. Kondisi ini menyulut timbulnya pemberontakan Gandor Lombok Timur.
Setelah pemberontakan dipadamkan, pemerintah Hindia Belanda mempertanyakan asal usul dan gelar kebangsawanan di pedalaman. Hindia Belanda mengusulkan dibuat keseragaman penyebutan bagi bangsawan Lombok. Akhirnya, disetujui walau tidak sepakat gelar Lalu bagi lelaki dan Lala bagi perempuan.
Bila Belanda meminta keseragaman penyebutan bagi para bangsawan, maka kekuasaan Puri Cakranegara lain lagi.
Lalu Lukman dalam bukunya Pulau Lombok dalam Sejarah Ditinjau dari Aspek Budaya menjelaskan setelah pemberontakan Raden Wiracandra keturunan Arya Banjar Getas pada 1850 dapat dipadamkan, pemerintah Puri Cakranegara Anak Agung Ngurah Karang Asem menghapus gelar raden. Selain itu, pemerintah Puri Cakranegara juga menghilangkan silsilah orang-orang sasak. Caranya, rakyat diminta mengumpulkan silsilah baik yang tertulis di lontar maupun tembaga untuk diselamatkan dan didoakan. Kenyataannya, tidak ada acara selamatan dan silsilah yang telah dikumpulkan tidak pernah dikembalikan kepada pemiliknya.
Upaya pemerintah Hindia Belanda yang menyeragamkan gelar kebangsawan bagi menak Sasak ditolak oleh Kedatuan Mambalan. Akibatnya, warga Kedatuan Mambalan diminta menjadi pekemit (kawi: kemit berarti jaga) di kantor distrik sebagai tanda bakti kepada pemerintah Hindia Belanda.
Prakteknya, warga kedatuan Mambalan selain berjaga di rumah kepala distrik dan kantor distrik juga menjadi pesuruh atau tukang antar surat ke daerah-daerah yang jauh. Dalam mengantarkan surat, mereka harus berjalan kaki. Jika pekerjaan tidak dilakukan dengan sempurna, mereka dihukum menghadap kepala distrik atau kepala desa yang melaksanakan hukuman sesuai vonis dalam surat yang dibawanya.
Filosofi Masyarakat
Kekerasan fisik dan psikis yang dialami warga kedatuan Mambalan, tidak mengendurkan rasa hormat mereka kepada para tokohnya. Masyarakat tetap memberi penghormatan yang layak. Hal ini tidak terlepas dari filosofi hidup warga kedatuan Mambalan.
Filosofi hidup yang ditanamkan leluhur dan tertanam di jiwa warga kedatuan Mambalan yakni Sebubung, Sewirang dan Sejukung.
Sebubung artinya kedatuan Mambalan bersama warga diibaratkan air dalam bubung. Siapa saja warga Mambalan yang mengotori air dalam bubung maka seluruh warga Mambalan tidak akan dapat meminum air tersebut. Karenanya, warga Mambalan akan memelihara perilaku hidupnya dengan baik.
Sewirang yakni warga Mambalan wajib saling mengingatkan untuk berperilaku sebagaimana tuntunan adat dan agama. Siapa saja menjalankan perilaku kurang baik bukan hanya dirinya yang malu tapi semua warga Mambalan menanggung malu.
Sejukung memiliki arti dalam mengarungi kehidupan warga Mambalan diibaratkan sedang berlayar menaiki jukung (perahu). Jika ada masyarakat yang tidak sejalan dengan arah yang ingin ditempuh tentu menimbulkan permasalahan dalam berlayar mengarungi samudera kehidupan. Apalagi sampai menimbulkan kebocoran pada perahu, tentu masalah yang lebih besar akan dihadapi bahkan mungkin perahu akan tenggelam. Karenanya, warga Mambalan wajib mengamalkan pranata kehidupan yang telah ditetapkan kedatuan sampai di tujuan akhir.
Pakem Merariq
Demi menata kehidupan, kedatuan Mambalan membuat pakem dalam prosesi pernikahan atau merariq. Merariq sebagaimana pemahaman yang ditanamkan leluhur adalah proses mengambil alih dan menyerahkan tanggung jawab dari orang tua perempuan kepada seorang lelaki (suami). Seorang suami harus memahami tangggung jawab yang diembannya sehingga tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama.
Pasalnya, jelas Rais prosesi merariq di masyarakat Mambalan semuanya mengambil rujukan dari aturan agama islam. Bukankah dalam agama islam ditekankan seorang suami harus memperlakukan istrinya dengan sebaik mungkin.
Dari pemahaman inilah, kemudian diturunkan menjadi tata aturan adat dalam proses merariq. “Ingat, tujuan merariq untuk membina rumah tangga bahagia selain melindungi hak-hak perempuan,” tegas Rais.
Ada beberapa proses merariq di masyarakat Mambalan yaitu memadiq, meminang, melamar, nuntut janji atau melakoq, serah hukum atau adat, pengampuan adat dan selarian yang merupakan pranata tersendiri.
Prosesi memadiq dlakukan oleh orang yang memiliki kesamaan trah/nasab atau keturunan. Ini berdasarkan persetujuan calon perempuan.
Prosesi meminang dilakukan oleh mereka yang memiliki status sosial sama seperti seorang anak camat prosesmeminang anak camat.
Melamar. Ini dalah satu bentuk kearifan lokal suku sasak. Prosesi melamar dilakukan oleh orang diluar suku sasak.
Nuntut janji yakni proses menuntut janji seseorang. Misal, sepasang remaja berjanji akan membina rumah tangga saat si wanita berusia 20 tahun. Ketika wanita tersebut memasuki usia 20 tahun, maka pihak lelaki bisa menuntut janji pihak perempuan. Jika janji terpenuhi maka dilanjutkan dengan prosesi pernikahan.
Serah hukum/adat yakni prosesi seorang lelaki karena sesuatu hal menyerahkan dirinya kepada pihak perempuan agar dilakukan prosesi pernikahan.
Pengampuan adat yakni proses dimana seorang lelaki menyerahkan dirinya kepada krama adat dalam melaksanakan prosesi pernikahannya dengan sebab ia bukan orang Lombok/suku sasak.
Dan selarian yakni pranata khusus dalam prosesi pernihakan. Dimana, seorang lelaki dengan sengaja membawa lari anak gadis (pujaan hatinya) untuk dinikahi. Sebelum proses pernikahan ada beberapa tahapan yang harus ditempuh yakni sejati, selabar, nuntut wali, bait bande, rebaq pucuk, sorong serah aji karma, nyongkolan dan bejango.
Sejati yakni proses membenarkan anak perempuan bernama A berada di keluarga lelaki B. Sekaligus menyatakan keluarga lelaki bertanggung jawab atas diri perempuan. Sejati dilaksanakan oleh pihak lelaki didampingi kepala dusun atau lainnya.
Dilanjutkan dengan prosesi nyelabar/selabar yakni memberikan kabar kepada pihak perempuan. Bahwa anak perempuan bernama A berada di keluarga lelaki dan akan dijadikan istri. Dalam proses ini juga dibicarakan soal wali (nuntut wali). Jika sepakat prosesi pernikahan selanjutnya dilaksanakan.
Sesudah itu dilakukan prosesi bait bande yaitu prosesi penyerahan barang- barang dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan seperti kelapa, kayu,beras dan lainnya.
Dilanjutkan dengan prosesi rebaq pucuk yaitu syukuran atau walimah di pihak perempuan, selanjutnya prosesi sorong serah aji karma.
Prosesi selanjutnya nyongkolan yaitu rombongan keluarga lelaki berkunjung ke pihak perempuan diiringi tetabuhan ( gendang beleq). Tujuanya memperkenalkan keluarga besar lelaki kepada keluarga besar perempuan.
Dan pihak perempuan membalasnya (bejango) dengan bersilaturahim kepada keluarga lelaki.
Dalam proses selarian, mungkin muncul persoalan akibat syarat menikah tidak terpenuhi. Misalnya, dalam pakem yang ada di Mambalan seorang wanita (dulu) baru boleh menikah ketika sudah bisa menyelesaikan sebanyak 144 kain tenun dengan motif dan model berbeda. Jika dihitung waktu membuat kain dikalikan penyelesaian pembuatan kain sebanyak 144 buah diperkirakan seorang wanita memasuki usia dewasa secara kejiwaan. Kalau dihitung dengan umur sekitar 22 tahun.
Bila saat selarian, calon wanita belum memasuki usia 22 tahun. Berdasarkan pakem yang ada kedua calon pengantin harus dipisah/dibelas. Jika, pihak perempuan menginginkan perpisahan maka pemisahan dilakukan secara permanen. Tapi, jika pihak perempuan tetap menginginkan pernikahan maka dilakukan prosesi kawin gantung/tadong.
Dalam prosesi ini tidak ada ijab Kabul, yang ada pengucapan janji suci ubaya sakti yang dilakukan oleh orang tua perempuan dan orang tua lelaki dengan disaksikan kepala dusun dan tetua masyarakat lainnya. “Prosesi ini bukan membatalkan perkawinan hanya menunda waktu perkawinan,” jelas Rais.
Tidak tertib dan berurutnya prosesi merariq sesuai pakem, menurut Rais bisa jadi akibat masyarakat kurang memahami prosesi adat merariq atau ada hal lain. “Semoga saja, tujuan pernikahan dilaksanakn dengan sungguh-sungguh. Ingat, menikah adalah sesuatu yang sakral dan bukan main-main,” tegas Rais.
Fenomena Lalu Gede
Membicarakan Kedatuan Mambalan belum lengkap bila tak menyinggung sosok Lalu Gede. Sosok fenomenal ini diceritakan turun temurun. Sayangnya, tidak ada catatan pasti darimana ia berasal.
Satu versi menyebut, suatu hari ketika terjadi hujan lebat yang mengakibatkan banjir, tiba tiba muncul seseorang dihadapan papuq Minang — seorang penjaga kebun –. Papuq Minang yang keheranan kemudian bertanya dengan menggunakan bahasa Sasak ,”Sai side papuq? mene ntan ujan beleq, kokoq belabur bangkakde ndek basak kance bau liwat koko belabur. Sai side sebener niki papuq (siapa kamu kakek? Mana hujan besar, sungai banjir namun tidak basah dan bisa melewati sungai yang banjir. Siapa sebenarnya kakek ini? Berulang kali pertanyaan itu dilontarkan, tak ada jawaban. Setelah berpuluh kali barulah pertanyaan Papuq Minang dijawab dengan syarat tidak boleh diceritakan asal usulnya selama ia masih hidup. “Nama saya Sayyid Ahmad dari Baghdad,” jawabnya yang kemudian turun dari tangga kebun tanpa diketahui kemana perginya.
Pengakuan tersebut dibenarkan mantan Kepala Desa Mambalan, Datu Markawi yang pernah mendapat penjelasan dari sahabatnya, Guru Muhammad dengan syarat sama seperti di atas.
H Maer atau H Muhamad Haerudin yang kini menyimpan salah satu peninggalan Lalu Gede, mengungkapkan Lalu Gede seorang waliyullah namun berperilaku diluar kebiasaan manusia umumnya. Karena perilakunya itulah orang mengira Lalu Gede kurang waras. “Beliau seorang wali yang banyak karomahnya,” jelas H Maer.
Lalu Rahman Juru rawat makam Lalu Gede mengaku makam Lalu Gede selalu ramai diziarahi terutama malam jumat. “Banyak jamaah pengajian yang ziarah kesini,” jelasnya.
Banyaknya peziarah ke makam Lalu Gede tidak terlepas dari cerita masa lalu. Sebagai seorang yang mendalami agama islam, Lalu Gede diberi kelebihan. Atas kelebihan inilah, banyak masyarakat yang belajar agama sehingga pondoknya tidak pernah sepi. Hal ini menimbulkan kekawatiran Anak Agung.
Atas perintah Anak Agung Gede Ngurah Karang Asem, Lalu Gede ditangkap dan dibawah ke Cakranegara untuk menjalani hukuman.
Sebelum hukuman dilaksanakan, Dende Aminah atau Dewi Nawangsasih, salah seorang istri Anak Agung yang beragama islam meminta kepada suaminya agar hukuman itu dibatalkan. Karena ia tahu, Lalu Gede bukan orang sembarang melainkan seorang Waliyullah (orang Gede/besar). Namun hukuman tetap dijalankan.
Dimata penguasa, Lalu Gede menjalani hukuman gantung. Tapi masyarakat yang melihat kejadian itu menuturkan, yang digantung penguasa bukanlah sosok lalu Gede melainkan gedebong pisang. Lalu Gede sendiri pulang ke pondoknya di Renggung dan terus mengajarkan agama islam hingga wafatnya.
Dedi Suhadi adalah Wartawan Senior, tinggal di Ranjok, Gunungsari, Lombok Barat