Sasak Sudah Musnah Tanpa Seniman

Tiga contoh, lagu “Masmirah”, lagu “Kadal Nongak Lek Kesambik”, dan lagu “Ate Bakat” ialah diri Anda. Ialah Sasak. Jika Anda merasa banyak kehilangan tentang Sasak. Pada tiga lagu itulah ia tersimpan.

Saya tidak dapat membayangkan, jika tidak ada Tuan Guru, mungkin bangsa Sasak dengan segala kebudayaan yang melekat di dalamnya bagai di rimba sunyi. Gelap dan hilang tanpa serat sebagai jalan untuk menelusuri.

Oleh: DR Salman Faris

Suka tidak suka, sejak Karangasem Bali berkuasa di Lombok, sebenarnya era Sasak sudah di ujung tanduk. Penuh kegelapan dan kesengsaraan. Mereka dapat bertahan hidup hanya karena semangat iman. Meskipun iman ini, pada masa itu, belum jelas konstruksinya. Namun begitulah orang Sasak, dalam soal iman, memang termasuk bangsa yang lama dalam kemapanan iman. Hanya saja, dalam tulisan ini, saya tidak singgung pasal iman Sasak ini.

Kembali kepada Tuan Guru, karena orang Sasak mempunyai pipa peradaban iman yang lama, jadi mereka sudah amat terbiasa memiliki ikatan kuat dengan pemimpin keagamaan. Dengan begitu Tuan Guru mempunyai modal sosial yang sangat besar untuk selalu mengambil jalan oposisi terhadap kekuasaan Karangasem Bali. Bahkan hingga era kolonial Belanda, Tuan Guru Sasak istiqomah pada jalur opisisi.

Hebatnya, orang Sasak sejak zaman halal lepang hingga sekarang selalu praktis pragmatis dalam urusan politik kuasa. Orang Sasak tak ada ideologi yang jelas terang dan kuat dalam soal politik karena mereka beraliran mengikuti atau beroposisi terhadap siapa yang sedang berkuasa. Jadi tidak heran jika, hingga sekarang, orang Sasak tidak mempunyai figur sentral politik yang kuat. Berbeda halnya dengan konteks ketuanguran. Orang Sasak mempunyai garis ideologi yang tidak hanya terang benderang. Namun kuat dan berkemungkinan tidak akan pudar. Sebab sejatinya, Tuan Gurulah ibu kandung perjuangan kebangsaan Sasak. Dan bapak kandung setiap zaman mereka ialah seniman.

Sejak awal kebangkitan Tuan Guru, mereka selalu setia membentengi tepian Lombok, di mana orang Sasak miskin dan sengsara menjadi arena mereka. Boleh dikatakan, tidak ada Tuan Guru yang berada di pusat kuasa. Para Tuan Guru mengawal orang Sasak yang kadang runtuh seruntuh-runtuhnya iman mereka sebab kemiskinan dan kekejaman yang terlalu. Jika bertumpu pada hal ini, maka sungguh orang Sasak berhutang budi selama-lamanya kepada Tuan Guru.

Pada masa awal itu, Tuan Guru mempunyai pola zig-zag. Dengan mendatangi setiap pemukiman. Menyamar atau membawa diri sebagai orang biasa-biasa saja. Baru kemudian pada fase berikutnya, mereka mulai membangun satu gugusan perjuangan atau pencerahan Sasak. Sebut saja, misalnya, Jero Mihram yang menggunakan Lontar Monyeh sebagai medium katarsis Sasak sekaligus pencerahan.

BACA JUGA:  Lotim Berhasil Capai Target UHC

Pergerakan Jero Mihram disambut baik oleh para seniman yang mempunyai kemampuan menafsirkan ideologi kesasakan Jero Mihram melalui visual. Fase inilah lahir Cepung. Satu kesenian yang mengambil motif pergerakan dan audio Bali untuk menyamarkan kedalaman ideologi pencerahan Sasak yang, seterusnya dibawa ke Karangasem Bali dan berkembang di sana pula.

Perkembangan Cepung cukup melesat. Terutama sekali setelah bergabungnya Tuan Guru Ali Batu dalam gerakan pencerahan. Sebelum itu sudah ada Tuan Guru Umar yang mempunyai kemiripan pergerakan dengan Jero Mihram. Diplomasi keagamaan sembari menyusun ruang pergerakan bagi orang Sasak yang sudah tercerahkan.

Maka pada fase berikutnya, Tuan Guru sebagai satu-satunya elite Sasak yang memelopori pergerakan frontal. Perang sebagai medium baru setelah ideologi pencerahan kesasakan sudah kokoh. Meskipun mereka mampu dipatahkan oleh kekuasaan Karangasem Bali, namun konstruksi perjuangan orang Sasak sudah terbentuk. Selain melalui perlawanan frontal, juga melalui sistem pengajian bersila yang sudah lama dibentuk, termasuk melalui pola pertunjukan Cepung yang memang bersila.

Begitu Karangasem Bali dapat dikalahkan Belanda, pola perjuangan Sasak frontal dikurangi, kemudian Tuan Guru lebih mengembangkan pola pengajian bersila yang dilakukan di kampung-kampung. Pada masa awal kekuasaan Belanda, belum ada Tuan Guru yang berorganisasi secara resmi. Namun pengajian bersila sudah menjadi peradaban baru di tengah orang Sasak. Dampaknya, ketika elite Sasak yang lain kehilangan kuasa politik dan ekonomi, malah Tuan Guru semakin kuat di akar rumput. Pola perkumpulan mereka sudah mulai nampak meskipun belum terorganisasi secara baik. Hubungan Tuan Guru yang ada di Lombok Timur, Lombok Tengah, dan Lombok Barat sudah terpola dengan rapi dan kuat.

Penari Jangger / Foto: Souncloud

Barulah setelah 1930an, Tuan Guru menyentuh wilayah yang lebih modern. Mereka membangun pondok pesantren. Hikmah relasi mereka yang semakin luas, akhirnya mereka pun menjajaki perjuangan kesasakan melalui organisasi. Fase ini, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sudah ada di tengah Sasak meskipun belum secara resmi berada dalam barisan kedua organisasi tersebut. Pada Fase ini pula Nahdlatul Wathan Diniyyah Islamiyyah (NWDI) terbentuk di Lombok Timur. Kalau merujuk hal ini, dapat dikatakan bahwa Tuan Guru ialah Sasak pertama yang modern.

Sampai di situ terkait bagaimana genealogi peran penting dan vital Tuan Guru dalam membangun Sasak ini. Perjuangan yang tiada habis. Harta dan nyawa terkorban satu persatu, namun mereka tak pernah berhenti mengibarkan kesasakan melalui panji agama Islam.

BACA JUGA:  Marah Besar

Seterusnya saya ingin singgung peranan besar seniman seperti judul di atas. Tanpa mengabaikan peran Tuan Guru. Sejatinya, kedua kelompok ini tak berpisah sejak awal. Mereka selalu berada dalam masa dan jalan yang sama terkait perjuangan kesasakan. Seniman menuliskan segala alur kesasakan melalui babad dan mantera, misalnya, pada fase awal. Sedangkan seniman yang tidak mempunyai kemampuan menulis, menyusun alur kesasakan tersebut melalui tradisi lisan.

Akan sangat banyak kejadian politik, sosial, dan kengerian kelaparan kemiskinan orang Sasak jika tidak ada seniman. Dari catatan mereka kita dapat gambaran masing-masing periode Sasak yang suka tidak suka, lebih banyak kelamnya.

Kalau kita baca secara seksama setiap babad, jelas tergambarkan situasi Sasak. Bahkan watak Sasak teragung hingga terculas dapat dengan jelas terlukiskan. Terkait ini, saya tidak ingin menyinggungnya secara lebih mendalam, saat ini.

Mari kita lihat, era yang lebih dekat. Era kemerdekaan, catatan tentang Sasak yang resmi, yang tersimpan di arsip prbadi maupun pemerintah amat terbatas. Hampir semua peneliti, baik peneliti Sasak maupun peneliti luar mempunyai pengalaman yang sama. Susah mejumpai arsip Sasak secara resmi. Peneliti seolah ingin mengatakan, “Sasak ini barang apa sih, sebenarnya?”.

Namun jika pendekatan mereka etnografis, misalnya, maka para peneliti seolah menemukan setitik air di tengah gurun sahara. Begitu banyak lempiran Sasak yang dijumpai di tengah masyarakat. Tradisi lisan seolah membanjiri alur kesasakan ini. Meskipun hampir semuanya dalam kekelaman, namun setidaknya, hal tersebut dapat menggambarkan fase kejayaan dan kegemilangan Sasak yang sudah terlangkaui pada fase yang jauh dan lama terdahulu. Sebelum dilumat penajajah dalam kurun masa panjang.

Hanya saja amat sedikit peniliti yang konsen pada objek kesenian sebagai medium pembongkaran peradaban Sasak. Ada kita jumpai David Harnish, seorang profesor etnomusikologi barat, namun ia tidak menyentuh wilayah mendalam pasal kegelapan alur sejarah dan bangsa Sasak.

Karena itu, cobalah kita lihat, bagaimana panjangnya kelompongan kebangsaan Sasak sejak era kemerdekaan, misalnya. Tidak banyak dijumpai catatan tentang peran penting Sasak dalam konteks Indonesia. Tidak perlu jauh-jauh ke awal kemerdekaan, bahkan hingga era 80-an pun agak susah dijumpai, kecuali pariwisata Senggigi yang baru dibangun dan agraris Sasak melalui sistem padai gogo rancah. Meski demikian, catatan lain tentang kepariwisataan Lombok di era Belanda, masih juga dapat dijumpai yang, dinukil oleh pengelana Eropa (pernah dinukil oleh Buyung Sutan Muhlis).

BACA JUGA:  Akidi Tio, Rp 2 Triliun, dan Pelecehan Akal Sehat Para Pejabat

Oleh sebab itu, amat menarik untuk melihat peran seniman dalam kekosongan panjang catatan tentang kesasakan ini. Sebut saja, untuk melihat bagaimana keadaan sosial, ekonomi, dan budaya orang Sasak era 70an hingga 90an, siap-siap kecewa jika pergi ke perpustakaan resmi pemerintah atau perguruan tinggi. Namun jika menelusuri karya-karya al-Mahsyar melalui kelompok musiknya, “Pelita Harapan”, di sana amat lengkap. Detail sosial orang Sasak tergambar dengan jelas. Bukalah kembali album Anda, kemungkinan Anda akan tersintak. Sebab baru tersadar, begitu banyak tentang Sasak yang Anda lewatkan, namun al-Mahsyar sangat jitu merekamnya.

Peran besar Lalu Nasip yang memotret, merekam, sekaligus mendekontruksi keadaan sosial, ekonomi, budaya, dan politik orang Sasak tidak dapat dipandang remeh. Bagai ketajaman laduni, Lalu Nasip dengan sangat brilian merumuskan setiap alur Sasak. Bahkan sejak zaman yang amat terdahulu. Kepekaan Lalu Nasip sebagai seniman bahkan mampu merumuskan Sasak di masa hadapan yang sudah banyak terbukti. Jika tak percaya, silakan dengar seluruh lagu karya lagu Lalu Nasip dan ikuti pertunjukan wayang Sasak yang dikelirkan. Bahkan Anda akan tahu bagaimana orang tua Anda saling menyinta. Satu serat sejarah yang tak mungkin dijumpai di perpustakaan resmi.

Perdana Grup, musik yang bergenre cilokaq pimpinan Said Alita, dapat dikatakan amat lengkap menggambarkan bagaimana perkembangan Sasak dari waktu ke waktu. Jauh sebelum manusia Sasak sekarang lahir, Said Alita sudah berimajinasi tentang Malaysia dan janda Malaysia. Berimajinasi tentang Janda Saudi. Serta hancur leburnya politik Sasak yang selalu seumpama ranting kering bukan laksana akar yang kokoh.

Banyak lagi seniman yang menghabiskan hampir seluruh hidup mereka untuk merekam jalan sejarah Sasak ini. Meskipun karya mereka bukan produk perguruan tinggi, namun insting mereka menggambarkan setiap zaman akan melindungi Sasak sepanjang masa.

Hingga yang terkini, kecimol, ale-ale, dan dangdut Sasak jalanan (Irama dan Megantara sebagai salah dua contoh) yang sangat menjamur merupakan gambaran paling nyata tentang wajah Sasak dalam setiap Zaman. Dengan kata lain, jika tak mampu menemukan Sasak di buku-buku, maka jumpalah Sasak itu di kesenian yang ada di tengah orang Sasak sejati Sasak. Itulah wajah Sasak. Itulah Zaman Sasak. Itulah sejarah Sasak.

Namun begitulah seniman, selalu dipandang sebagai lapisan paling rendah dan nakjis, terutama di tengah elite Sasak. Bahkan yang paling memalukan, banyak orang Sasak yang malah membenturkan Tuan Guru garis miring agama dengan seniman garis miring kesenian.

Kasihan Sasak kasihan.

Malaysia, 28 Maret 2021