Kok Semua Desa Jadi Wisata (Hilang Desa, Pudar Agama, Musnah Budaya)

Tiba-tiba saja orang Lombok menjadi seperti orang gagap. Seolah-olah Lombok baru kemarin sore mengenal pariwisata. Dan ini berarti seakan-akan orang Lombok gagal belajar dari rentang perjalanan panjang pariwisata. Benarkah pariwisata berhasil mengubah ekonomi orang Lombok? Atau ia hanya mimpi buruk di tengah taburan janji pengimpor budaya baru?

Dari sudut pandang infrastruktur, sedikit banyak pariwisata telah menyumbang cukup bagus. Tengok saja, misalnya, jalan cepat bandara hingga Kek Mandalika. Namun merujuk pada pengalaman Lombok dalam pariwisata ini, rupanya infrastruktur belum secara kuat menjadi tolok ukur sumbangan pariwisata, karena, dalam kenyataannya, pariwisata masih berpusat pada pemain besar.

Disebabkan ia adalah payung uang pemain besar, jadi cukup mengherankan jika semua desa mendadak menjadi desa wisata. Apakah keheranan ini keliru? Sebab tujuan desa wisata digalakan agar masyarakat luas dapat meresapi gemah ripah uang pariwisata.

Mari kita melihat pariwisata dalam kerangka pemikiran sebagai industri. Dalam konteks ekonomi global, pariwisata merupakan salah satu ujung tombak globalisasi. Ia memang sudah dipersiapkan sebagai salah satu landasan utama bagi negara mana saja untuk membuka belahan dunia. Jangankan Indonesia, negara yang masih paling demit pun wajib membuka diri. Bahkan, malahan negara hantu yang paling laku dijual. Karena apa? atas nama pariwisata, semua negara harus membuka diri. Dan dengan begitu, segala hal yang berkaitan dengan pariwisata tersebut diikursertakan. Misalnya, ganja, miras, seks bebas, pelacuran, dan segala jenis narkotika lainnya. Termasuk agama, jika manusia global masih beragama.

Konsep utama globalisasi ialah mobilitas manusia. Karena yang beperan sebaga aktor utama tersebut ialah manusia, maka pegerakan manusia yang tanpa batas menjadi kunci penting untuk memahami apa yang dimaksudkan globalisasi kepariwisataan. Jadi, negara unggul, manusia unggul, ukurannya hanya satu: kemampuan mobilitas.

Manusia dari seluruh belahan dunia bergerak dan karena tarikan pariwisata, maka mereka dapat dipertemukan dalam satu tempat meski dengan latar belakang yang berbeda, pun tidak sama tujuan. Mereka berbaur dalam satu konsep yang disebut mobilitas tanpa batas.

Disebabkan pergerakan manusia tanpa batas tersebut, maka sudah tak ada lagi nilai lokal yang dapat dirujuk. Kiblat utama ialah nilai global yang dibawa dalam karungan paket mobilitas manusia global tersebut. Apa yang perlu dipahami dalam konsep mobilitas manusia global ini ialah, semakin tinggi pergerakan manusia, itu menunjukkan golongan dan kelas manusia tersebut. Sebab, setiap mobilitas dalam pandangan globalisasi ialah kepemilikan dan pengaplikasian modal.

BACA JUGA:  KEBON KUPI SEMBALUN (Catatan Akhir Tahun 2021 Tentang Tuhan yang Jauh)

Maksudnya, semakin banyak modal yang dimiliki, maka semakin luas jangkauan mobilitas. Semakin luas jangkauan mobilitas, maka kekuatan simbolik pun semakin tak tertandingi. Dengan begitu, latar belakang manusia global yang lebih perkasa tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan mendominasi ruang dan waktu. Artinya, ruang dan waktu sudah hancur dalam ketiadaan batasan. Teritori hanya kepalsuan. Yang sejati ialah manusia global dengan mobilitas tanpa henti.

Nah, masalah mulai timbul secara perlahan. Ketika manusia global yang memilki kekuatan lebih dominan, dibukakan pintu secara luas untuk mengeksplorasi manusia desa yang lemah itu, maka tidak ada hukum formal manapun yang mengatur dampak dari dominasi tersebut. Jika manusia desa yang lemah, yang sebelumnya mempunyai ikatan yang sangat kuat dengan nilai lokal mereka, tiba-tiba menjadi luntur dan hilang seketika, tak ada satu pun hukum di dunia ini yang berhak menghukum dominasi manusia global. Atau tak dijumpai hukum yang bertugas untuk mengadvokasi kepudaran nilai manusia desa tersebut.

Pada saat desa berubah menjadi wisata, maka sejak saat itu, pintu gerbang globalisasi yang kejam itu sudah bermula. Dengan kata lain, jika segala perangkat kemanusiaan yang melekat pada manusia desa lemah dan belum siap berada di arus deras global, maka pada saat itu juga, sebenarnya ia sudah berada di ambang kepunahan. Mobilitas manusia menikam siapa saja yang disebut manusia yang statis. Manusia desa ialah statis. Ia tak lebih dari sebuah patung di hadapan manusia global bermobilitas tinggi. Dipajang lalu dibeli.

Pada saat desa sudah diglobalisasikan melalui industri pariwisata, pada masa yang sama, desa tersebut sudah tak boleh lagi berpikir yang desa tersebut eksklusiv, tertutup, kuat dalam pemertahanan nilai. Desa tersebut sudah tak boleh berpikir tentang nilai budaya bahkan agama yang mereka anut. Sebab dengan cara berpikir semacam itu, maka telah terjadi kontradiksi. Satu sisi desa dibuka untuk dunia, namun desa tersebut masih berselimut. Ini ialah situasi kontradiktif yang paling disangkal oleh globalisasi.

Secara hukum desa mempunyai hak milik atas lahan, misalanya, namun ia tak boleh digarap lagi berdasarkan undang-undang desa tersebut. Karena secara fungsional praksis, desa tersebut sudah menjadi milik global yang, pemain utamanya ialah mereka yang mempunyai mobilitas tanpa batas. Manusia desa hanya menjadi tuan rumah yang hanya berhak melayani, namun ia tak boleh mengatur manusia global yang sedang berada di rumah mereka. Manusia desa ialah pelayan manusia global. Itulah falsafah utama globalisasi. Manusia statis ialah budak manusia mobile.

BACA JUGA:  Sasak Dalam Amuk Deras Neoliberalisme

Pertama, karena manusia global sudah membayar untuk kebebasannya. Meski kebebasan tidak bermakna seluas-luasnya, namun sejatinya, sebagai manusia dominan, ia diberikan hak istimewa untuk berbuat seluas-luasnya. Ia tak dapat memiliki tanah desa tersebut karena persoalan undang-undang, namun sejatinya ia secara bebas boleh memungsikan tanah tersebut untuk mengekspresikan diri sebagai manusia global.

Dengan kata lain, yang punya rumah, hanya tuan rumah yang diwajibkan melayani tamu karena tamu sudah membeli segala bentuk nilai yang sudah lama dianut oleh pemilik rumah. Maka, jangan heran, jika melihat manusia global hanya pakai kutang di tengah sawah. Lelaki bertelanjang dada dengan seluar pendek. Berciuman di atas parit sawah, berpelukan di tepi parit, bahkan bercinta di bawah pohon randu. Mabuk di gubuk-gubuk di saat manusia desa sedang terlelap atau sholat tahajjud. Jangan pula manusia desa terkejut tiba-tiba anak Tuan Guru menjadi penghisap ganja, wanita lepas madrasah menjadi pelacur. Anak ustaz menjadi pencuri speaker masjid. Sekali lagi, jangan terkejut. Sebab perilaku itu ialah penyerta utama bersama manusia global.

Desa global (baca desa wisata) bermakna, segala hal yang berkaitan dengan hitam pekatnya dunia sudah tidak berjarak lagi dengan manusia desa. Banyak gadis tak perawan, banyak jejaka perjaka. Ini ialah buah yang sudah masak di desa global. Jadi jangan heran sebab desa sudah dibuka untuk global yang boleh dimasuki oleh segala jenis manusia bermobilitas tinggi.

Segala perilaku itu ialah cerminan global yang tidak lagi terikat oleh ruang dan waktu. Perilaku global tersebut boleh dipraktikkan di mana pun jua meski ia nampak bertentangan dengan nilai desa yang sudah dibuka untuk global tersebut. Manusia desa tidak boleh lagi berpikir diri mereka berbeda dengan manusia global. Jika di rumah manusia desa terpampang kaligrafi arab (ayat Kursi, surat Yaasiin, Bismillah, Dua Kalimat Syahadat) lalu di leher manusia global tergantung tanda salip. Jika manusia desa menutup aurat, sedangkan buah dadah wanita di dalam rumahnya menyembul keluar, manusia desa tidak boleh terkejut. Apalagi berpikir yang itu bertentangan dengan budaya dan agama mereka. Sekali lagi tidak boleh. Maksudnya, manusia sudah tak dapat berbuat apa-apa. Manusia global sudah ada di nadi mereka sendiri.

BACA JUGA:  ASN Gharimin Berhak Sebagai Penerima Zakat

Agama dan budaya, dalam manusia global ialah tunggal. Ia bermakna bahwa yang dominanlah sebagai agama dan budaya. Dominasi tersebut dimulai ketika desa dibuka dan manusia dengan mobilitas tinggi membeli kebebasan mereka di mana pun mereka berada.

Dalam memahami budaya terkini, penyatuan budaya secara setara tidak akan terjadi sebab konteks budaya global ialah dominasi. Struktur dan sistem budaya hanya boleh dibuat oleh mereka yang dominan. Ini bermakna, meskipun manusia global tersebut masih menyisakan sedikit kewarasan dalam perilaku di tengah manusia desa, hal tersebut tidak berarti manusia desa mempunyai ruang negosiasi. Sebab dominasi terus berlangsung sepanjang waktu, selama desa tersebut dibuka untuk siapa saja.

Dominasi menggunakan seperangkat modal. Modal manusia global, salah satunya ialah uang. Ketika uang disandingkan dengan modal manusia desa, berupa tanah, misalnya. Uang menjadi bukan lawan tanding tanah. Karena dalam pemikiran manusia global, tanah tidak mempunyai kekuatan mobilitas. Tanah yang maha luas masih jauh lebih tidak bermakna dibandingakan selembar kartu ATM yang dapat dibawa ke mana-mana. Karena itu, tanah manusia desa menjadi berbeda dengan uang yang mendorong segala area mobilitas. Dengan begitu, maka nilai tawar tanah menjadi sangat lemah yang, menempatkan pemiliknya sebagai objek yang terus ketergantungan terhadap subjek: manusia global.

Dengan begitu, meskipun suatu desa sudah berhasil dibuka seluas-luasnya menjadi desa wisata, itu tak berarti posisi tawarnya semakin meningkat di hadapan manusia global. Karena desa tidak dapat menciptakan mobilitas. Ia hanya menjadi satu titik mobilisasi manusia global yang ada di seluruh muka bumi ini. Maknanya, semaju-majunya desa wisata, ia tak akan pernah lebih maju dari manusia global yang memiliki modal tak habis-habis untuk menciptakan mobilitas tanpa batas.

Yang paling menakutkan, malahan desa wisata tersebut berpotensi besar kehilangan nenek moyang karena dikikis habis dominasi manusia global. Tinggal menunggu waktu, desa wisata sudah tak beragama.

Apakah para pemimpin di suatu daerah, di Lombok Timur, Lombok Tengah, misalnya, sudah sampai ke sana nalar mereka.

Entahlah. Yang pasti di kepala mereka hanya ingin maju.

Namun sayang, maju kok tanpa modal. Karena tanpa modal, desa didandani jadi wisata.

Lacur betul pemimpin miskin segala ini!

Malaysia, 3 Desember 2021.