Setelah melalui serangkaian kajian dan pembahasan, akhirnya Pemerintah Indonesia resmi menerapkan aturan pembayaran royalti lagu dan musik bagi pihak yang memutar lagu ciptaan orang lain untuk kepentingan komersial. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah atau PP nomor 56 tahun 2021 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 30 Maret 2021.
Pemberlakukan Peraturan Pemerintah tersebut sebagai tindaklanjut dari amanat Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang hak cipta sebagai landasan memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap hak ekonomi pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait lagu dan atau musik dalam meningkatkan kreativitas nasional khususnya di bidang lagu dan atau musik. Ciptaan berupa lagu dan atau musik, mempunyai hak ekonomi atas penggunaan secara komersial dalam bentuk royalti, yakni imbalan atas pemanfaatn hak ekonomi suatu ciptaan atau produk hak terkait yang diterima oleh pencipta dan pemilik hak terkait.
Sesuai amanat Undang-undang, pengelolaan royalti dilakukan oleh sebuah lembaga yang dibentuk pemerintah bernama Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang merepresentasikan keterwakilan dari kepentingan Pencipta dan pemilik hak terkait untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti dari orang yang menggunakan karya mereka secara komersial.
Pengelolaan royalti musik atau lagu dilakukan oleh LMKN berdasarkan data terintegrasi pada pusat data musik atau lagu.
Lalu bagaimana cara membayar royalti musik tersebut bagi pihak perorangan maupun lembaga yang memutar lagu untuk kepentingan komersial?
Pasal 12 PP Nomor 56 Tahun 2021 menyebutkan, LMKN melakukan penarikan Royalti dari Orang yang melakukan Penggunaan Secara Komersial lagu atau musik dalam bentuk layanan publik bersifat komersial untuk Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait yang telah menjadi anggota dari suatu LMK.
Dengan demikian, LMKN akan melakukan penagihan langsung royalti musik kepada pihak perorangan atau lembaga yang memutar lagu ciptaan orang lain, yang terdaftar dalam pusat data musik atau lagu LMKN. Selain itu, LMKN juga mempersilakan bagi pihak perorangan maupun lembaga yang ingin melakukan pengecekan karya musik atau lagu yang telah terdaftar dalam pusat data LMKN.
LMKN mempunyai kewenangan untuk mengkoleksi (mengumpulkan) royalti lagu atau musik dari para Pengguna Komersial sesuai dengan tarif yang ditetapkan dan disahkan dalam putusan Menteri dan mendistribusikannya kepada para Pemilik Hak Cipta dan Pemegang Hak Terkait .
Pasca berlakunya Peraturan Pemerintah tersebut, kalangan praktisi media siaran lokal seperti terkaget-kaget, seolah tak percaya, bagaikan tersambar petir di siang bolong.
Sebelumnya, persoalan royalti lagu dan musik bagi kalangan pengelola media siaran, bukan sesuatu yang meresahkan, karena belum ada konsekuensi hukum apapun, apalagi akan terkena sanksi pidana hanya karena alasan menyiarkan lagu dan musik yang hampir 70 % merupakan materi siaran mereka.
Berbagai spekulasi pun merebak, apalagi nilai pembayaran royalti untuk sebuah lagu yang disiarkan berkisar antara Rp 1-2 juta per tahun. Nilai itu hanya untuk penyiaran non komersial seperti Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Publik lokal dan lembaga penyiaran komunitas. Bagaimana dengan royalti yang harus dibayarkan oleh lembaga penyiaran swasta? Hitung-hitungannya, jelas lebih mahal.
Kegelisahan lembaga penyiaran lokal khususnya media siaran swasta tentu sangatlah beralasan, apalagi peraturan pemerintah tersebut ditetapkan pada situasi ekonomi nasional dan daerah yang sedang tidak menentu serta mempengaruhi semua sendi kehidupan termasuk eksistensi lembaga penyiaran lokal yang tidak sedikit berada dalam situasi serba sulit, antara hidup dan mati. Jangankan untuk membayar royalti lagu dan musik, untuk menutupi biaya operasional bulanan saja, banyak di antaranya yang harus merogoh kocek lebih dalam karena minimnya pemasukan dari sektor periklanan dan lain-lain.
Keberadaan LMKN sebagai lembaga yang mengurus persoalan royalti juga mesti hadir mensosialisasikan dirinya untuk menjembatani komunikasi para pihak, khususnya media siaran lokal dan tentu saja musisi dan seniman lokal yang selama ini sebagian diantaranya masih awam, bagaimana mengurusi hak cipta dan mendaftarkannya pada pihak terkait.
Akankah pengenaan nilai royalti ini disamakan untuk seluruh daerah di Indonesia yang secara ekonomi tentu kondisinya tidak sama? Ada daerah maju dan tidak maju, demikian juga dengan pihak-pihak yang akan menjadi obyek pengenaan royalti tersebut, tentu tidak fair membandingkan kondisi media siaran lokal di NTB dengan di daerah maju seperti di Pulau Jawa dan Bali misalnya.
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut, termaktub ketentuan mengenai kewenangan Pemerintah untuk memberikan keringanan pembayaran royalti bagi UMKM. Dan ada tenggat waktu dua tahun sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah tersebut, bagi pihak terkait untuk duduk bersama, melakukan kajian lebih mendalam guna membuat rumusan dan solusi terbaik dalam rangka mewujudkan iklim yang sehat dan kondusif bagi pengembangan kreativitas musisi daerah serta tidak memberatkan pihak terkait termasuk media siaran lokal yang selama ini menjalin kemitraan dengan musisi daerah untuk maju bersama. Semoga! (Tim Weekend Editorial)
foto utama:mancode.id