Disebut penyakit Minamata karena penyakit ini ditemukan pada tahun 1950-an di Kota Minamata di Jepang. Penyakit ini disebabkan oleh perusahaan “Chisso” yang membuang limbah industrinya ke perairan laut Teluk Minamata. Dalam pada itu, limbah tersebut mengandung logam berat berupa merkuri atau air raksa (Hg) yang kemudian terakumulasi dalam tubuh ikan dan kerang di perairan laut Teluk Minamata.
Penduduk di Kota Minamata yang mengkonsumsi ikan dan kerang yang terkontaminasi merkuri itulah yang kemudian menderita penyakit Minamata (Krisno, 2017).
Penyakit Minamata ini juga diderita oleh penduduk di pesisir Teluk Buyat Sulawesi Utara pada pertengahan tahun 2004 (Kurniady, 2010 dan Nurbani, 2020). Lebih jauh Nurbani (2020) menyatakan bahwa penyakit Minamata di pesisir Teluk Buyat tersebut disebabkan oleh limbah penambangan bijih emas yang dilakukan oleh PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) yakni berupa tailing yang mengandung logam berat Arsen (As) dan merkuri (Hg) yang dibuang ke perairan laut Teluk Buyat. Berkaitan dengan dampak negatif dari sistem pembuangan limbah tailing ke laut tersebut kemudian sejumlah negara seperti Filipina, Papua New Guinea, Afrika Selatan, Guyana, Spanyol, dan Kanada melarang pembuangan tailing ke laut (Coumans, 2010).
Di Indonesia, sistem pembuangan tailing ke laut tidak dilarang sepanjang tailing yang mengandung logam berat tersebut tidak mencemari ekosistem laut. Artinya, konsentrasi logam berat yang terkandung dalam air laut yang berasal dari tailing tersebut masih berada dibawah ambang batas yang diperbolehkan. Dalam pada itu, sistem pembuangan tailing ke perairan laut Teluk Senunu masih diterapkan oleh PT.Newmont Nusa Tenggara (PT.NNT) yang melakukan penambangan emas dan tembaga di Batu Hijau Sumbawa Barat.
Berdasarkan hasil studi “Resources Ecological Assesment (REA)” pada tahun 1999 yang dilaporkan oleh proyek “Coastal Community Development and Fisheries Resources Management (CoFish)” ditemukan sejumlah titik lokasi di perairan laut bagian selatan Lombok Timur yang tercemar logam berat berupa Timbal (Pb), Kadmium (Cd) dan Krom (Cr) dimana kosentrasi logam berat (ppm) di sejumlah titik lokasi tersebut telah melampaui ambang batas yang diperbolehkan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 tahun 1988. Proyek “CoFish” merupakan proyek Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian pada tahun 1998 yang pendanaannya berasal Asian Development Bank (ADB).
Tiga titik lokasi tercemar Pb yaitu Tanjung Sagui dengan konsentrasi 0,082 ppm (0,082>0,075), Gili Linus (0,084>0,075), dan Pantai Surga (0,092>0,075). Lima titik lokasi tercemar Cd, yaitu Tanjung Luar (0,0163>0,01), Gili Maringkik (0,0367>0,01), Tanjung Sagui (0,0183>0,01), Gili Linus (0,0343>0,01), dan Pantai Surga (0,0193>0,01). Empat titik lokasi tercemar Cr, yaitu Tanjung Luar (0,0503>0,05), Gili Maringkik (0,0737>0,05), Gili Linus (0,074>0,05) dan Pantai Surga (0,0517>0,05). Hasil studi REA tersebut disanggah oleh P.NNT pada tahun 2000 melalui pengujian kandungan logam berat berupa Pb,Cd, dan Cr pada air laut pada empat titik lokasi yaitu Teluk Sagui, Gili Maringkik, Pantai Surga, dan Gili Linus.
Dalam pengujian tersebut, PT.NNT melibatkan PT.ASL Bogor dan PS Serpong. Berdasarkan hasil pengujian PT.ASL Bogor dan PS Serpong diperoleh bahwa ditemukan logam berat berupa Pb,Cd, dan Cr pada pada empat titik lokasi yaitu Teluk Sagui, Gili Maringkik, Pantai Surga, dan Gili Linus, tetapi konsentrasinya berada dibawah ambang batas yang diperbolehkan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 tahun 1988. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan hasil studi REA Proyek Co-Fish dengan pengujian oleh PT.NNT dimana berdasarkan hasil studi REA pada keempat titik lokasi tersebut tercemar logam berat berupa Pb, Cd, dan Cr; sedangkan berdasarkan pengujian PT.NNT tidaklah tercemar.
Mengenai perbedaan hasil antara studi REA Proyek Co-Fish dengan pengujian oleh PT.NNT berkaitan dengan waktu pengambilan sampel air laut. Studi REA Proyek Co-Fish dilakukan dalam periode Juni hingga Oktober. Dalam dokumen Studi Analisis Dampak Lingkungan Terpadu (ANDAL) PT.NNT pada tahun 1996 disebutkan bahwa arus lepas pantai di perairan laut selatan Sumbawa Barat dominan bergerak ke arah barat menuju kawasan perairan laut bagian selatan Lombok Timur dengan kecepatan terbesar sepanjang musim selatan yaitu dalam periode Juni hingga Oktober. Sedangkan dalam diskusi yang melibatkan Forum Peduli Daerah (FPD) dengan PT.NNT yang berlangsung di Hotel Sahid Legi Mataram pada Oktober 2000 dimana PT.NNT tidak menyebutkan kapan sampel air laut yang diuji oleh PT.ASL Bogor dan PS Serpong diambil apakah dalam periode Juni hingga Oktober atau di luar periode Juni hingga Okotober.
Sejak tahun 1999 hingga pertengahan tahun 2021, kegiatan penambangan emas dan tembaga di Batu Hijau Sumbawa Barat telah menghasilkan tembaga sebesar 4 juta ton dan 8,7 juta troy ons emas (AMMAN, 2021). Sejak November 2016 dimana kegiatan penambangan emas dan tembaga di Batu Hijau Sumbawa Barat tidak lagi dilakukan oleh PT.NNT, tetapi beralih ke PT.Amman Mineral Nusa Tenggara disingkat PT.AMNT (AMMAN, 2021). Dengan demikian, tentunya telah dilakukan addendum terhadap ANDAL PT.NNT (1996). Persoalannya, apakah PT.AMNT telah melakukan pengujian konsentrasi logam berat di kawasan pesisir laut bagian selatan Lombok Timur atau tidak. Dan kapan pengambilan sampel air laut dilakukan, apakah sepanjang musim selatan dalam periode Juni hingga Oktober atau diluar periode tersebut. (*)