Polong Renten: Perisai Kebhinekaan Lombok Utara

MATARAMRADIO.COM, Mataram – Polong Renten, dua kata yang bermakna saudara ini menjadi falsafah hidup masyarakat Kabupaten Lombok Utara bukan hanya bagi warga Dusun Tebango, warga Kecamatan Pemenang atau Kecamatan Bayan. Dengan falsafah Polong Renten pula, mereka yang datang ke Kabupaten Lombok Utara dianggap sebagai saudara tanpa melihat perbedaan keyakinan (agama) sehingga persoalan yang muncul di masyarakat Dayan Gunung – sebutan khas bagi masyarakat Kabupaten Lombok Utara – selalu diselesaikan dengan cara kekeluargaan atau kekerabatan.

Sejarah kehidupan masyarakat Lombok tidak bisa dilepaskan dari sumpah “AMUKTI PALAPA” yang diucapkan Gajah Mada saat pengangkatannya sebagai Patih Amangkubumi pada 1258 saka atau 1336 M dalam upaya mempersatukan nusantara di bawah panji kerajaan Majapahit.

“ Sira Gajah Mada patih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.

“Dia Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, “Jika telah menundukkan seluruh Nusantara dibawah kekuasaan Majapahit, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa”.

BACA JUGA:  Polong Renten Mengurai Pernikahan Beda Agama

Dengan semangat amukti Palapa, Gajah Mada melebarkan sayap kerajaan Majapahit, mengirim ekspedisi penaklukan ke berbagai wilayah di nusantara. Salah satunya, ekspedisi ke wilayah timur nusantara dibawah pimpinan Mpu Nala yang dimulai pada 1343 M dan berhasil menaklukkan Bali, Selaparang, Dompo serta kerajaan-kerajaan lain di wilayah Timur Nusantara dibawah Panji Majapahit.
Dan untuk mengukuhkan kekuasaan tersebut, Patih Gajah Mada menyambangi wilayah timur nusantara pada 1353 M sehingga beberapa tempat di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa diberi nama “Makam/Maqom Gajah Mada”.

Piagam Menggala, salah satu piagam yang menceritakan jejak perjalanan Gajah Mada di Pulau Lombok. Untuk membuka piagam ini perlu ritual I foto: Dedi Suhadi

Satu pangeling–eling yang menceritakan jejak perjalanan Gajah Mada di Lombok dikenal dengan Piagam Tembaga Menggala yang terdiri dari 18 pupuh.
Dimana dalam pupuh 1 dan 2 dijelaskan siapa yang melakukan perjalanan serta asalnya … We aku Mas Lumedung sari (xx) / metu saking bumi bali/ pangeling- ngeling lalampahan Mas Lumedung sari/ ring bumi majapahit/ sareng lan anakku Aji Demen majapahit Desangku Lumedungsari sor ring waringin sungsang…..Pupuh 2. Anakku Aji Demen/ lalan gajah mada/ rawuh aku ling bumi bali/ ….. terjemahannya pupuh 1…… Saya adalah Mas Lumedungsari (xx)/Berasal dari Bumi Bali sebagai pengingat perjalanan Mas Lumedungsari di Bumi Majapahit beserta dengan anaknya Aji Demen dari kerajaan Majapahit Lumedung Sari di Bawah pohon Waringin sungsang,…..Pupuh 2. Anak saya Aji Demen dan Gajah Mada datang di Bumi Bali ……..
Sedangkan dalam pupuh selanjutnya, pengeling-eling ini menceritakan perjalanan Gajah Mada di bumi Majapahit (Lombok) hingg kembali ke Bali, sebagaimana ditulis pada pupuh 16….. wus tutuk lalakone Mas Lumedung Sari Gajah Mada/ lunga (sira) maring Bayan/ katemu aku (maring) datu Bayan lan Raden Mantri/ana sabdane Mas Lumedung Sari ring Datu Bayan/ lan Reden Mantri—-Bayan Raden Mantri/ aku mantuk maring Bumi Bali/ aku (ngirip) ida dalem———–ki /gu me) wos aku—————-balik / sira Mas Lumedungsari——(mantuk) maring (bali) terjemahannya ….Maka selesailah perjalanan Mas Lumedung Sari, Gajah Mada kemudian beliau kembali ke Bayan bertemu Datu Bayan dan Raden Mantri, saya akan kembali ke Gumi Bali, saya akan menyampaikan kepada Ida Dalam bahwa perjalanannya di Bumi Sasak telah selesai maka Mas Lumedung Sari pun berangkat menuju bumi Bali.

Datu Artadi, Tokoh Masyarakat Lombok Utara I foto:Dedi Suhadi

Walau pengeling-eling Menggala baru dialihaksarakan pada 2011 oleh Filolog, Dr Sugi Lanus dan diterjemahkan oleh Raden Sutagede, namun isi dari pengeling-eling (Polong Renten-Kita Bersaudara) sudah menjadi filosofi hidup masyarakat Dusun Tebango, Kecamatan Pemenang, Desa Menggala, kecamatan Bayan dan warga Lombok utara pada umumnya yang diwariskan secara turun temurun lewat tutur lisan para leluhur.
Terbukti, warga Dayan Gunung – sebutan khas bagi warga Lombok utara – selalu menjaga persaudaraan diantara mereka baik yang beragama Hindu, Budha maupun Islam karena adanya hubungan kekeluargaan atau kekerabatan dari leluhur yang sama.
“Tidakk hanya itu, siapapun yang datang ke Lombok utara, dianggap saudara oleh warga Lombok Utara tanpa melihat keyakinan agamanya asal tidak membuat kerusakan/keributan ,” jelas tokoh masyarakat Lombok Utara, Datu Artadi.
Dalam pribadi mereka, meski ada perbedaan dalam kepercayaan beragama namun mereka adalah saudara. Dan inilah yang ditekankan para leluhur kepada penerusnya, sehingga istilah Polong Renten atau Mempolong Merenten (kita adalah saudara) hingga kini masih terawat dengan baik. (bersambung).

BACA JUGA:  Roemah Toea di Kopang Pedalaman

foto utama : Candi Suradipati Tebango/Dedi Suhadi
**Tulisan Pertama dari 4 tulisan yang merupakan bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerjasama dengan Norwegian Embassy untuk Indonesia