Tentang Perempuan Dalam Babad Praya (Peristiwa Budaya Dalam Pilkada Lombok Tengah

Oleh : DR Salman Faris

Saya menyadari, sensitivitas sedang tinggi jika menulis tentang calon dalam pertarungan Pilkada. Bahkan begitu sensinya, boleh jadi dinilai sebagai penulis pesanan dan yang lebih keji dari itu dapat berlaku. Namun tidak masalah. Sebagai pengkaji budaya, saya tak boleh melewatkan peristiwa budaya yang terjadi.

Misalnya, KEK Mandalika bagi umum orang ialah peristiwa ekonomi, itu betul, dan itulah kenapa mereka berpandangan yang KEK Mandalika berpotensi sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi di NTB. Sedangkan dari sisi saya, KEK Mandalika sebagai peristiwa budaya yang, seterusnya mengajak saya untuk melihat KEK Mandalika dari sisi hubungan kemajuan ekonomi dengan ketertindihan manusia. Jika kebanyakan orang melihat Islamic Center sebagai tiang pancar peradaban keagamaan, saya melihatnya sebagai peristiwa budaya untuk saya dapat temukan relevansi Islamic Center dengan keberadaban manusia dalam membangun kebudayaan mereka.

Hal yang sama ketika saya memotret Pilkada sebagai perisitiwa budaya sebagaimana umum orang memandangnya sebagai peristiwa politik dan demokrasi. Tentulah cara kerja saya kemudian ialah menilik relasi Pilakda tersebut dengan potensi manusia menciptakan kebudayaan. Sebagai contoh Pilkada Lombok Tengah 2020. Tampilnya sosok perempuan, bagi pandangan sebagian orang sebagai kesetaraan dan kemajuan kaum perempuan. Pandangan ini dapat diterima dan boleh jadi ada percanggahan dari sudut yang lain. Hal ini tidak bermasalah. Diksi dan kontradiksi memang harus terus dibangun agar zaman berhasil mengantarkan masyarakat ke jalur kecerdasan kritis menangkap realitas.

Dari sudut pandang budaya, hadirnya sosok perempuan dalam Pilkada Lombok Tengah belum dapat mencerminkan peristiwa budaya secara utuh jika tidak dihubungkan dengan peristiwa budaya yang lain. Misalnya, keberadaan sosok perempuan menjadi penting di Pilkada Lombok tengah jika dihubungkan dengan cara pandang masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai lian dalam budaya, yakni sebagai sesuatu yang oposisif atau subteks budaya. Pada ruang-ruang tertentu, misalnya, di Lombok Tengah, boleh jadi pusat budaya masih dikendalikan oleh lelaki dan perempuan sebagai subordinat. Oleh karena itu, ketika ada sosok perempuan dalam Pilkada Lombok Tengah 2020, dari sudut pandang peristiwa budaya, hal ini menjadi penting dan bermakna. Karena ia penting, maka saya sebagai pengkaji tak mau melepas peristiwa budaya tersebut ke ruang kosong.

BACA JUGA:  Menaker: Ada Denda dan Sanksi Bagi Perusahaan Tak Bayar THR Karyawan

Lantas apa selanjutnya yang saya lakukan? Saya mencoba menghubungkaitkan sosok perempuan dalam Pilakda Lombok Tengah 2020 dengan Babad Praya. Secara umum ada tiga bilah tanda dalam Babad Praya, yang satu tersemat kepada kelompok hero yang menjadikan masjid Praya sebagai benteng. Satunya ialah kelompok penguasa Hindu Karangasem Bali. Terakhir ialah kelompok Sasak dan Islam yang dibayar sebagai prajurit Hindu Karangasem Bali. Ketiga bilah tanda ini kemudian dikulminasi dalam peristiwa peperangan yang sama-sama berasaskan memperjuangkan kehormatan dan keyakinan. Selebihnya, soal isi perut.

Ketiga bilah tanda tersebut ialah pengetahuan umum masyarakat yang bersumber dari teks Babad Praya yang ditranskripsi oleh Lalu Gde Suparman pada tahun 1994. Karena saya merelasikan sosok perempuan dalam Pilakda Lombok Tengah, maka saya tidak berhenti pada ketiga bilah tersebut. Saya berupaya menemukan nukilan tersembunyi yang boleh memberikan jawaban permaknaan antara peristiwa budaya kontemporer dengan masa lalu. Di sinilah kemudian dijumpai sosok perempuan misterius dalam Babad Praya. Perempuan ini berperan siginifikan. Bahkan jika menelisik secara mendalam, tanpa bermaksud mengenyampingkan kehebatan kelompok hero, perempuan misterius inilah jurui kunci kemenangan perang tersebut.
Dalam pupuh nomor 82 disebutkan begini:

Berkumpul di dalam masjid,
tak lama antaranya,
datang seorang wanita buruk,
tua berkain ulung,
baju ulung, masuk masjid,

Pada pupuh sebelumnya menceritakan tentang situasi kegetiran dan kegentingan. Satu sisi, kerajaan Hindu Karangasem Bali sudah sampai pada puncak kemarahan lalu mempersiapkan armada yang super besar, pada sisi yang lain, kelompok hero sudah hampir kehilangan harap. Bahkan secara rasional mereka sudah sadar yang kekalahan ialah layak diterima. Meskipun selama tiga hari mereka berhasil memukul mundur lawan, namun mereka menyadari ketiadaan pasukan ialah kelemahan yang dapat dimanfaatkan penguasa Hindu Karangasem Bali. Jika akhirnya mereka melawan, semata-mata karena itulah jalan terakhir. Dengan kata lain, kemenangan bukan lagi tujuan sebab untuk mendapatkannya ialah mustahil secara akal.

Seterusnya pada pupuh nomor 84 disebutkan:

Bila dilihat tingkahnya membuat kopi,
tak dapat diandalkan,
api kecil asalkan ada,
cuma dengan daun kayu,
sampah buat memasak air,
api menyala di luar,
ditinggal berkeliling,
tak keruan yang dikeijakan,
mami’ Sapian membentak
marah,
Orang tua tak dapat diharap.

BACA JUGA:  Dukung Sang Kakak Nyapres, Wabup Sumbawa Dicibir Fesbuker

Kedua pupuh di atas menjelaskan misteri sosok perempuan. Namun misteri ini memberikan ruang untuk memahami yang visi misinya ialah untuk memenangkan. Tentu akan terjadi diskusi yang membawa kita ke satu soalan, siapa sebenarnya pahlawan dalam perang Praya? Sudah pasti kelompok hero ialah pahlawan. Realitas yang tidak dapat dibantah. Namun kehadiran sosok perempuan misterius juga tak dapat dipandang sebelah mata terutama sekali karena ia datang di saat kelompok hero dalam gerbang kekalahan. Di sinilah hubungkait yang penting dapat dijumpai antara sosok perempuan dalam Pilkada Lombok Tengah 2020 sebagai peristiwa budaya kontemporer dengan perempuan misterius sebagai peristiwa budaya lampau sebab pada akhirnya, kelompok hero menjadi pemenang setelah perempuan misterius hadir. Bagaimana penjelasannya?

Sejauh yang diketahui, catatan sejarah hanya menyematkan kelompok hero sebagai pahlawan perang Praya. Kemudian masyarakat mengamini catatan tersebut sebagai satu-satunya alur kejayaan perang Praya yang mesti dirujuk. Perempuan misterus tidak dicetuskan, boleh jadi disebabkan secara sadar untuk menihilkan peran perempuan misterius atau juga dikarenakan kelengkapan pengetahuan tentang Babad Praya yang belum cukup. Kedua kemungkinan ini sebenarnya bermuara satu, yakni ada indikasi kesadaran sosial secara sistemik untuk menihilkan peran besar perempuan misterius ke dalam bentuk sistem budaya tunggal yang dipercayai selama ini.

Kesadaran sosial yang meniadakan peran penting perempuan misterius semakin menarik jika dibubungkan dengan pesan pengarang Babad Praya. Pertama, pengarang tidak mencantumkan perempuan misterius pada setiap pupuh. Kedua, pemilihan sosok perempuan bukan tanpa tujuan. Pengarang dapat dilihat telah menskenariokan yang pada situasi dan masa tertentu, kehadiran perempuan sebagai pemimpin secara nyata berada di depan ialah diperlukan untuk menuntaskan perkara yang selalu terapung mengambang di tangan pemimpin lelaki. Perempuan memimpin bersifat mutlak ketika lelaki gagal mengendali. Atau pula, kehebatan dan kekuatan perempuan wajib divisualkan manakala lelaki buntu menemukan jalan keluar.

Pada pupuh berikutnya diceritakan yang kelompok hero menjadi kuat setelah minum kopi yang disuguhkan perempuan misterius. Malahan, kekuatan mereka tiada habis-habisnya. Dalam konteks ini, saya melihat, kelompok hero menjadi pahlawan pada fase awal dan pada peristiwa berikutnya perempuan misterius memimpin secara simbolik. Seolah pengarang ingin menekankan yang kehebatan lelaki ada batas dan masanya, setelah itu perempuan perlu mengambil ruang di paling depan.

BACA JUGA:  Pusat Apresiasi Perda PenanggulanganPenyakit Menular

Akhirnya, justru karena situasi dan kondisi yang sedang huru-hara, sedang berlangsung kekacauan, keberadaannya menjadi sangat penting. Perempuan yang memimpin tidak akan datang dalam situasi di mana masyarakat melupakan kesusahan karena terlena oleh pesona keindahan yang masih semu. Ia tidak akan muncul ketika tak ada sesuatu yang penting untuk diselesaikan. Dengan kata lain, kehadirannya menandakan ada masalah besar di Lombok Tengah. Atau ia datang karena orang yang dijunjung sebagai pemimpin sudah tak mampu lagi mengikat bahu untuk menyelesaikan masalah yang ada. Makna lebih jauhnya ialah ia datang untuk menyelesaikan masalah. Ia hadir sebagai tenaga baru bagi masyarakat yang merasakan kelelahan bertarung dengan kesusahan mereka. Ia datang untuk memberikan minum masyarakat yang dihimpit oleh kekeringan spirit dan kegelapan melihat keadaan secara jernih.

Boleh jadi, tampilnya seorang perempuan dalam pilkada Lombok Tengah 2020 ialah penjelmaan tanda yang disembunyikan dalam narasai Babad Praya. Narasi yang mengabarkan secara mendalam bahwa di tangan perempuanlah Lombok Tengah dapat menemukan keazaman hakiki untuk menjemput masa depan sebagai tempat di mana manusianya berharkat dalam martabat seperti yang diperjuangkan oleh tokoh hero dalam Babad Praya.

Boleh jadi juga, ini saat, di mana Babad Praya milik semua orang Lombok Tengah tersebut benar-benar memahami yang, perempuanlah di balik kemashuran azimat dalam Babad Praya.

Mungkin Lombok Tengah belum sanggup menerimanya. Namun perjuangan tak boleh dihentikan. Walau bagaimanapun akhir tepinya nanti, sosok perempuan dalam Pilkada Lombok Tengah 2020 telah menciptakan sejarah kesadaran mengaktualisasikan pesan Babad Praya, terutama karena saya merasa ada keyakinan, mungkin puluhan tahun yang akan datang, susah menjumpai perempuan yang berani memilih bertarung sebagai pemimpin di Lombok Tengah.

Siapa tahu, mengaktualisasi Babad Praya ialah jalan terang Lombok Tengah di masa depan.

Malaysia, 18/10/2020

Penulis :
DR Salman Faris
adalah Akademisi, Pekerja Seni Budaya, Pemerhati Sosial Politik dan Media.
Kini tinggal di Kuala Lumpur Malaysia