“Highlander” Penyingkap Tabir Nusantara 1300 Tahun Silam

DI AWAL abad 19, para teosof dan antroposof memperkenalkan akashic, sebuah istilah yang berasal dari bahasa Sansekerta, akasha. Mereka meyakini adanya catatan akashic yang berisi rangkuman seluruh peristiwa universal, pikiran, ucapan, bahkan niat, baik yang berlangsung di masa lampau, sekarang, maupun masa depan.

Lalu melalui pendekatan itu, dalam Man: How, Whence, and Whither? (1913), Charles Webster Leadbeater, seorang anggota Theosophical Society, mengklaim telah menghimpun catatan sejarah Atlantis dan peradaban masa depan bumi di abad 28. Belasan tahun sebelumnya, penulis mata kuliah dari Gereja Katolik Liberal ini mengidentifikasi catatan akashic yang bisa dibaca para peramal. Di AS, di tahun 1970-an, pernah berkembang sebuah aliran dan praktik spiritual yang disebut gerakan New Age (zaman baru). Aliran ini bentuk dari esoterisme Barat, mengadopsi okultisme yang mencakup mistisisme, spiritualitas, sihir, atau secara umum merujuk pada dunia supranatural.

Sejumlah cendekiawan dan pemikir agama menyebut nama Edgar Cayce, sebagai pendiri sejati dan sumber utama gerakan New Age. Edgar Cayce dikenal sebagai Clairvoyance Amerika. Kewaskitaannya yang spesifik adalah menjelajah alam mimpi. Guru sekolah Minggu, pendiri Asosiasi Penelitian dan Pencerahan, sebuah organisasi nirlaba ini meyakini pikiran terhubung tanpa batas waktu. Ia banyak memberi informasi ketika dalam keadaan trance. Saat tertidur, sekretarisnya Gladys Davis Turner, merekam seluruh jawabannya tentang berbagai hal. Mulai dari penyembuhan penyakit, reinkarnasi, kehidupan setelah kematian, kehidupan masa lampau, hingga kejadian-kejadian di masa depan. Dengan kebisaannya melakukan eksplorasi yang unik itu, Edgar Cayce juga mengaku mampu mengakses catatan akashic. Belakangan, ia dijuluki The Sleeping Prophet. Di Indonesia, terlahir seorang wanita bernama lengkap Trie Utami Sari. Ia dikenal sebagai penyanyi jazz dan pencipta lagu. Namanya sangat populer ketika membawakan Kau Datang saat masih bergabung dengan Krakatau Band pada 1980-an.Kendati bukan paranormal atau peramal, bukan pula bagian dari kelompok New Age, Trie Utami cukup paham tentang “memori alam” yang dapat diterjemahkan melalui kecerdasan akashic. “Data akashic atau akashic records, direkam oleh molekul-molekul yang ada di alam. Di dalam diri kita dan dalam data akashic ada DNA. Lalu kita membaca akashic records melalui proses archetyping. Tapi tidak semua orang bisa menemukan frekuensi akashic itu,” kata Trie Utami.Artinya, butuh indera tambahan untuk menyingkap tabir kotak hitam alam semesta tersebut.

BACA JUGA:  KEBON KUPI SEMBALUN (Catatan Akhir Tahun 2021 Tentang Tuhan yang Jauh)

Menurut adik kandung musikus dan komponis Purwacaraka ini, musisi atau umumnya seniman yang lebih banyak menghasilkan karya melalui intuisi, memiliki kecerdasan akashic. Alam pikir musisi menjelajah ruang waktu, sering menerobos batas-batas kesadaran. Selanjutnya dituangkan dalam sebuah komposisi, mengutak-atik not-not yang terbatas — jumlahnya jauh di bawah kumpulan aksara dan angka. Lalu sebuah karya muncul. Karya yang indah dan memukau. Setara mantra, karena mampu menyihir publik. Pertanyaannya, apa perbedaan kekuatan magis atau mistis dengan efek yang ditimbulkan karya musik? “Musisi mempunyai kesempatan lebih banyak untuk mengakses data masa lampau. Dan musik itu sendiri mistis, kok. Semakin dibakarin menyan, semakin gila ilhamnya,” seloroh Trie Utami diikuti tawanya yang berderai.

BACA JUGA:  Dewa Kaum Sasak

Lima tahun tanpa kabar, wanita ini muncul di kawasan Candi Borobodur, Magelang, Jawa Tengah. Ia dalang di balik terselenggaranya konferensi internasional Sound of Borobudur bertajuk “Music Over Nations: Menggali Jejak Persaudaraan Lintas Bangsa Melalui Musik”, akhir Juni tahun lalu. Dari gagasannya — boleh jadi hasil kecerdasan akashic-nya –peninggalan purba itu kini benar-benar mengeluarkan suara. Sejauh ini — sejak ditemukan insinyur zeni Belanda HC Cornelius di masa Pemerintah Kolonial Inggris menduduki Pulau Jawa antara 1811 hingga 1816 — bangunan purba itu lebih banyak dijadikan obyek studi, yang menghasilkan catatan-catatan bisu, lalu bertumpuk dan terpuruk di ruang-ruang arsip yang sunyi. Trie Utami berhasil membuat ke 226 alat musik yang terpahat di dinding Borobudur mengeluarkan bunyi. Selama menghilang itu, satu-persatu instrumen di relief ia wujudkan semirip mungkin. Lalu ia melibatkan sejumlah pemusik dari 11 negara memainkannya di hari itu.

BACA JUGA:  Ni Made Darmi: Legenda Sang Penari Istana

Dari hasil terawangnya setelah mengamati relief di bangunan peninggalan abad ke 8 itu, ia menyimpulkan, “Saya justru melihat bhinneka tunggal ika sudah ada 1300 tahun yang lalu. Bukan kebhinnekaan untuk kawasan Nusantara saja, tapi dunia sudah datang ke mari, dan kita sudah bermain musik bersama. Secara ilmiah, kita tidak berspekulasi lagi. Borobudur sebagai pusat musik dunia sudah ditulis dalam jurnal-jurnal ilmiah, baik dari tinjauan cultur study, etnomusikologi, arkeologi, antropologi, dan sejarah. Semuanya sepakat, karena memang tidak ada repositori data terlengkap di abad 8-9 kecuali Borobudur,” papar pemenang Grand Prix Winner The Golden Stag International Singing Contest di Brasov, Rumania, 1992 ini. Tawanya kembali berderai menjawab candaan saya, bahwa ia juga sosok wanita waskita, kemungkinan reinkarnasi musisi yang memainkan instrumen di relief Borobudur, dalam persembahan orkestra di abad 8. “Gue Highlander-nya,” ujar Trie Utami. (*)

foto utama: kompas.com