Maulana Mewasiatkan NW Kepada Anaknya Ialah Meragukan

“Jika anda merasa benar, jangan merusak kebenaran anda dengan merasa paling benar dan menilai orang lain tidak benar” (Amak Kesek)

4Tulisan ini untuk merespons situasi terkini di mana masih saja perbincangan seputar “kebencian” seolah dendam sengaja dipelihara untuk mendapatkan legitimasi sosial menghujat orang lain. Seolah “kebencian” sengaja dikitabkan untuk memeroleh otoritas mendiskriminasi orang atau kelompok lain.

Kalau merujuk klausul yang ditandatangani dalam perjanjian damai menjadi NW dan NWDI, sebenarnya salah satu utama ialah untuk menghilangkan atau sekurang-kurangnya menetralisir produksi “kebencian” dan mengenyahkan dendam. Namun rupanya, ini pekerjaan berat, bukan karena perkara ini sangat berat, tetapi disebabkan oleh ada unsur kesengajaan memelihara “sakit jahil”. Jahil bagi orang orang bodoh ada obatnya, namun kejahilan bagi orang berpengetahuan boleh jadi ia adalah kesesatan pikir. Jadi, “sakit jahil” dalam teori Maulana itu ialah kritik kepada mereka yang berilmu pengetahuan namun sengaja memelihara kejahilan tersebut untuk tujuan “kebencian”.

Untuk itu, sekali lagi, tulisan ini ialah tanggapan terhadap situasi terkini di mana kejahilan itu masih dipertontonkan seolah perjanjian damai itu ditolak secara simbolik. Maka, perang “kebencian” yang terus dilontarkan pada dasarnya ialah kekerasan simbolik yang digerakkan oleh sistem sadar guna memeroleh keuntungan sosial.

Pihak NW Anjani selalu melontarkan yang, ada yang sengaja disembunyikan oleh pihak Pancor. Marilah kita sedikit berfalsafah logika. Apabila tuduhan menyembunyikan dilaraskan sebagai senjata utama perang sosial, maka pasti ada keingintahuan yang tinggi untuk mengetahui objek material yang disembunyikan tersebut. Pertanyaannya, kenapa benar-benar ingin tahu? Salah satu jawaban yang mungkin adalah sebab pihak yang ingin tahu juga menyembunyikan sesuatu. Finali, jika seseorang menuduh menyembunyikan sesuatu, itu berarti ia juga sedang menyembunyikan sesuatu. Jadi, setiap orang, setiap kelompok pasti ada sesuatu yang disembunyikan. Ini ialah nature, kenapa harus dipersoalkan? Pertanyaan ini sekaligus menjadi eviden bahwa segala tindakan bungkusnya sama, yakni “kebencian”.

Ketua Umum PB NW dan Ketua Umum PB NWDI / foto: istimewa

Karena itulah, tulisan ini ingin menawarkan wacana keraguan sebagai antitesis terhadap pola “kebencian” yang terus dilontarkan meski upaya damai sudah diupayakan secara sungguh-sungguh. Meragukan yang Maulana berwasiat, baik secara formal maupun informal, mewariskan NW kepada anaknya.

Ada beberapa dasar pijak keraguan tersebut. Salah satu metode dan sistem utama kepemimpinan Maulana ialah patron. Hal ini dijalankan bahkan sejak awal pendirian NWDI hingga membentuk NW. Ada dasar filosofis dan sistematis kenapa Maulana memilih sistem dan metode ini, yaitu meletakkan dasar perjuangan sebagai kebersamaan, jamaah, ekualiti. Ada pemimpin yang harus ditaati sepanjang pemimpin tersebut menjalankan aturan dan ideologi perkumpulan, namun tidak berarti pemimpin harus dijadikan sebagai pusat dan sumber segala-galanya. Keteladanan dalam sistem dan metode patron ini untuk menjaring terbit terangnya tunas-tunas pemimpin yang kuat.

BACA JUGA:  Satu Lahan Tiga Bidang

Sebagai contoh, di kampung saya. Ada seorang tokoh yang tidak bisa membaca dan menulis. Namun ia memiliki budi pekerti yang baik. Gemar menyumbangkan kekayaannya untuk keperluan perjuangan Maulana. Berapa pun yang diperlukan oleh perjuangan, ia tak berpikir panjang, langsung memberikan dengan suka rela. Di depan publik, Maulana secara simbolik mengukuhkan yang orang tersebut ialah teladan. Maka, sejak saat itu, orang tersebut menjadi tokoh yang amat disegani di kampung saya, baik oleh mereka yang terpelajar maupun sebaliknya. Orang tersebut menjadi salah seorang wakil Maulana di kampung saya hingga akhir hayat.

Begitulah cara Maulana melahirkan pemimpin. Apa tujuannya? Agar bukan hanya Maulana yang menjadi tunggal. Selain itu agar NW mempunyai banyak pemimpin. Dasar khusus dari sistem dan metode ini ialah agar orang NW tercerahkan bahwa organisasi itu milik mereka, bukan milik orang peroang. NW itu milik setiap keturunan bukan dipunyai oleh keturunan tertentu saja. Jika Maulana mempersiapkan keturunannya sebagai pemimpin NW, itu sangat wajar. Sangat manusiawi. Akan tetapi, melalui sistem dan metode patron pula, Maulana sekaligus ingin menegaskan bahwa semua keluarga mempunyai hak yang sama untuk mempersiapkan keturunan mereka menjadi pemimpin NW.

Selain itu, semua orang sudah maklum. Sudah paham. Sudah tahu. Jika pura-pura tidak tahu tidak paham, itulah “sakit jahil” sejati. Maulana mempunyai visi besar di masa hadapan. Menjadikan madrasah dan organisasi yang didirikan terbuka untuk semua orang dan berada di mana-mana. Banyak terminologi yang menggambarkan visi besar Maulana ini, misalnya, konsep anjum: bintang-bintang. Bahkan “tanah air” yang dipilih sebagai konsep utama merupakan gambaran tegas yang Maulana tidak mau membuat madrasah dan organisasi yang didirikan terkungkung, terjepit dalam bidak kecil apalagi ruas tunggal.

Dengan begitu, jika benar Maulana berwasiat yang NW diwariskan kepada anaknya, maka pertama secara tidak langsung Maulana telah membuat antitesis terhadap visi besarnya sendiri. Arti lain, Maulana telah membuat jurus dan ramuan yang lain untuk mementahkan jurus dan ramuan jitu yang dibuatnya sendiri. Kedua, itu bermakna Maulana telah menjerat NW dalam bidak kecil dan ruas tunggal. Sebab apa? Wasiat berpotensi disalahgunakan dalam setiap zaman ke zaman. Dalam pengertian sengaja digunakan untuk melegitimasi kepentingan orang dan kelompok tertentu. Ini tentu saja amat berbahaya apabila di suatu masa legitimasi tersebut runtuk mengukuhkan orang yang tidak layak.

BACA JUGA:  Pahlawan Nasional, Sekda NTB dan Kemarahan Sasak

Semakin berbahaya jika wasiat itu dituangkan dalam surat wasiat secara tertulis dan disahkan secara undang-undang. Potensi penyalahgunaan surat wasiat tersebut semakin besar dan semakin kuat. Jika pun surat wasiat itu benar-benar ada, perlu ditinjau secara kritis, siapakah orang yang benar-benar berintegritas yang dapat dipercaya sebagai saksi, terutama apabila saksi berada dalam poros yang sama dengan pemegang surat wasiat. Karena itu, adakah Maulana mau menjerat perjuangan yang amat dicintainya?

Apabila merujuk kepada kegigihan dan keteguhan Maulana pada visi besarnya, maka kedua hal tesrsebut di atas tidak mungkin. Manusia sekelas Maulana akan memberikan karomah yang ada pada dirinya disalahgunakan pada zaman tertentu ialah sesuatu yang di luar nalar sehat. Maka, Maulana mewasiatkan NW kepada salah seorang anaknya ialah meragukan. Bahkan sangat meragukan.

Dan yang berikutnya ialah hampir sama dengan sistem dan metode patron di atas. Yang ini Maulana menggunakan kaedah representasi. Semua pelaku sejarah tahu, jika pura-pura tak tahu, boleh jadi ada virus “sakit jahil” menjangkiti. Hampir 15 tahun bahkan lebih lama lagi, sebelum Maulana wafat, kaedah representasi sudah dijalankan, boleh dikatakan secara rutin. Yang terkenal sering menjadi representasi Maulana pada masa puluhan tahun itu ialah almarhum Tuan Guru Haji Abdurrahim. Banyak sebab kenapa Maulana sering memilih TGH. Abdurrahim, tetapi tidak diutarakan dalam tulisan ini. Selain itu, juga ada almarhum Tuan Guru Haji Mahmud Yasin. Termasuk juga ialah Tuan Guru Haji Lalu Anas Hasyri. Hampir semua murid beliau pernah ditugaskan menjadi representasi, namun yang paling kerap ialah ketiga Tuan Guru tersebut.

Ada beberapa sebab kenapa kaedah representasi dijalankan. Sebab yang paling kecil ialah karena Maulan sedang dalam kurang sehat. Sedangkan sebab yang utama ialah Maulana merancang masa depan NW. Representasi merupakan sosial simbolik yang bertujuan untuk menjelaskan kepada masyarakat bahwa Maulana sedang mempersiapkan pemimpin penerus. Maulana juga ingin mengatakan bahwa di NW itu bukan hanya beliau. Masih banyak Tuan Guru yang memiliki keilmuan dan keteladanan yang tinggi selain beliau yang akan meneruskan kepemimpinan.

Sebab lain ialah yang bersifat dasar, fundamental, ideologis yakni NW itu bukan milik Maulana seorang. NW itu milik semua jamaah. NW merupakan arena bersama untuk berfastabiqul khoirot. Bahkan terkait hal ini, amat sering Maulana mengutarakan secara verbal yang, NW memang milik semua jamaah. Jadi, ada dua platform yang digunakan secara tegas oleh Maulana berkaitan hal ini. Satu platform simbolik dengan menunjuk representasi dan kedua ialah platform verbal sebagai sarahan terhadap platform simbolik untuk semakin menegaskan dan menerangbenderangkan asas tujuan Maulana mendirikan madrasah dan organisasi untuk semua jamaah.

BACA JUGA:  Akidi Tio, Rp 2 Triliun, dan Pelecehan Akal Sehat Para Pejabat

Pertanyaannya, jika Maulana berencana mewasiatkan NW kepada salah seorang anaknya, kenapa tidak sejak awal dan secara terus-menerus beliau merepresentasikan diri dan tujuan beliau kepada anak yang dipilihnya? Pertanyaan ini, sekali lagi semakin menguatkan keraguan yang, Maulana mewasiatkan NW kepada anak yang dipilihnya.

Dan yang terakhir ialah, konsep “Abu Rauhun wa Raehanun”. Ini ialah konsep sadar yang mendalam sebagai pilihan Maulana. Semua pelaku sejarah tahu, jika tak mau tahu, boleh jadi ada bakteri “sakit jahil” dalam diri. Setiap Maulana menyampaikan konsep “Abu Rauhun wa Raehanun” di depan publik (mudah-mudahan mutakharrijin mutakharrijat tidak sengaja buta tuli dalam perkara ini), wajah beliau bersinar, penuh keceriaan, penuh kecintaan. Kasih sayang yang berkeadilan memancar dari lubuk hati beliau yang paling. Gerik gerik beliau menunjukkan kecintaan yang luas kepada kedua anaknya. Kedua anak beliau sumber dan muara diri beliau sebagai manusia.

Terlepas dari diri beliau sebagai ayah yang sentiasa menunjukkan kebanggan tinggi mempunyai dua orang anak perempuan, Maulana juga seorang ulama yang melahirkan kitab faroid. Makna lainnya, diri sebagai manusia dan diri beliau sebagai ulama sudah mendarah daging dalam keadilan untuk kedua anaknya. Dengan begitu, tak dapat masuk dalam logika oang paling buta huruf sekalipun, jika Maulana membuat antises terhadap konsep “Abu Rauhun wa Raehanun” yang dibuatnya sendiri.

Lantas, adakah di antara semua murid beliau berani mengatakan yang Maulana tidak adil? Tidak perlu menunjuk jari. Dengan bersikap kukuh dan terus-menerus memisahkan kedua anak beliau, ia sudah sejelas-jelasnya penilaian yang Maulana tidak adil. Masih berani durhaka kepada guru?

Apabila ada yang menilai pandangan saya keliru, silakan ambil tindakan yang argumentatif. Jangan membenci saya, karena kebencian tidak akan pernah menyelesaikan masalah dan tidak akan pernah membahagiakan.

Gagal jadi wali Alloh dan belum sempurna menjadi Tuan Guru jika masih ada titik kebencian dalam hati.

Malaysia, ujung bulan Syawal 1442 H.