Teror Mengancam Kebebasan Pers: Solidaritas Mengalir untuk Jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana

Aksi keji ini dianggap sebagai bentuk intimidasi terhadap kebebasan berekspresi dan ancaman nyata terhadap demokrasi.

Sebagai bentuk solidaritas, perwakilan SKUAD INDEMO mengunjungi kantor Tempo di Palmerah pada Selasa (25/3/2025). Kedatangan mereka disambut hangat oleh Wakil Pemimpin Redaksi Tempo, Bagja Hidayat, beserta jajaran redaksi dan Cica sendiri.

Swary Utami Dewi, salah satu perwakilan SKUAD INDEMO, menegaskan bahwa kunjungan ini bukan sekadar ungkapan simpati, melainkan aksi nyata mendukung kebebasan pers dan menuntut keadilan bagi korban teror. “Tindakan teror ini tidak dapat dibiarkan. Kami mendesak aparat penegak hukum untuk segera mengusut tuntas kasus ini dan memberikan keadilan bagi korban,” ujarnya tegas.

Senada dengan Swary, Desyana dari SKUAD INDEMO menyoroti aspek gender dalam kasus ini. Ia menilai teror ini juga merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan. “Sebagai perempuan, kami sangat prihatin. Ini merupakan bentuk kekerasan yang harus kita lawan bersama. Kami berharap kasus ini bisa meningkatkan kesadaran dan perlindungan bagi perempuan dari segala bentuk intimidasi,” ungkapnya.

BACA JUGA:  DPRD Jadwalkan Uji Kelayakan dan Kepatutan Seleksi KPID NTB Minggu Depan

SKUAD INDEMO juga mendesak kasus ini dilaporkan kepada Komnas Perempuan sebagai bentuk perlawanan terhadap kekerasan berbasis gender yang terus terjadi di ranah jurnalistik. Mereka berharap dukungan moral ini bisa memberikan kekuatan bagi Cica untuk terus berjuang di tengah tekanan yang ada.

Wakil Pemimpin Redaksi Tempo, Bagja Hidayat, dalam pertemuan tersebut menegaskan bahwa pola teror seperti ini bukanlah tindakan spontan. “Pelaku bukan orang sembarangan. Sangat mungkin mereka memiliki pemahaman mendalam tentang simbolisme serta melakukan riset sebelum bertindak,” ujarnya dalam keterangan pers yang diterima pada Kamis (27/3/2025).

Menurutnya, eskalasi teror terhadap jurnalis dan media belakangan ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik yang semakin panas. “Kalau dulu artis atau influencer dipakai untuk membentuk opini dan meredam gerakan massa, sekarang media yang jadi sasaran,” tambahnya.

BACA JUGA:  Adhar Hakim: Belum Ada Laporan Soal Dugaan Maladministrasi Seleksi KPID NTB

Selain ancaman langsung, Cica juga menyoroti indikasi penyensoran terhadap beberapa kata kunci dalam rilis pers yang beredar. “Pembatasan informasi seperti ini adalah alarm bagi kebebasan pers di Indonesia,” tegasnya. Ia juga menyinggung kasus seorang jurnalis perempuan bernama Juwita (23) yang meninggal secara misterius setelah menulis tentang skandal perusahaan di Kalimantan.

Tak hanya itu, Cica mengungkapkan bahwa rekan jurnalis lainnya juga mengalami doxing setelah mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS). “Padahal itu data resmi, bukan opini. Tapi sistematis diserang oleh buzzer,” ujarnya prihatin.

Ia juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap keselamatan keluarganya yang jauh dari pusat perhatian publik. “Di Jakarta saya punya teman dan publik yang bisa melindungi saya. Tapi keluarga saya? Mereka tidak ada di sini, mereka jauh dari jangkauan media. Itu yang lebih mengkhawatirkan,” katanya.

Baginya, ancaman terhadap jurnalis bukan hanya menyasar individu, tetapi juga orang-orang terdekat mereka. Jika jurnalis yang bekerja di media besar seperti Tempo saja bisa mendapatkan tekanan seperti ini, bagaimana nasib aktivis dan jurnalis independen lainnya yang tidak memiliki perlindungan serupa?

BACA JUGA:  Asosiasi LPPL Indonesia Agar Jaga Independensi

Tempo mengapresiasi solidaritas dari berbagai kalangan, termasuk para aktivis muda yang menyatakan dukungannya. “Di tengah stigma negatif terhadap generasi muda, kita bisa melihat bahwa mereka memiliki kepedulian tinggi terhadap demokrasi,” ujar Bagja Hidayat.

Teror terhadap Tempo bukanlah kejadian pertama dalam sejarah jurnalisme Indonesia. Berkali-kali, pers menghadapi ancaman, intimidasi, bahkan kekerasan. Namun, sejarah juga membuktikan bahwa jurnalisme tidak bisa dibungkam. Di tengah ancaman, solidaritas terus mengalir, menegaskan bahwa kebebasan pers adalah pilar utama demokrasi yang harus terus dijaga.

Pendiri Tempo, Goenawan Mohamad, pernah berkata, “Kata-kata tidak bisa dibunuh.” Dan itulah inti dari perlawanan ini—bukan dengan senjata, tetapi dengan keberanian untuk terus menulis, mengungkap kebenaran, dan menolak tunduk pada ketakutan. (editorMRC)