DR Salman Faris
Saya ini masih sangat kolot dalam cara pandang terhadap NW. Begitu juga kepada NU. Bahwa NW hakikat itu ialah keulamaan dan kewalian. Makin tinggi kualitas berkah keilmuan dan kewalian, maka hakikat ke-NW-an itu makin tinggi pula.
Dengan cara saya berfikir seperti ini, pandangan saya menjadi semakin kolot pula yakni NW itu mau ada pengurus atau tidak, mau pengurus itu sah atau tidak, bukan soal penting. Sebab mau sah namun keulamaan dan kewalian bermasalah, ya, berkah pun tidak dapat. Atau mau sejuta lembar SK pengesahan dari Kemenkumham kalau keulamaan dan kewalian bermasalah, lembaran itu hanya semu. Malah semakin jadi sumber masalah.
Teori saya sederhana, ulama dan wali Allah itu menenangkan, mendamaikan, menyenangkan, juga menengahi. Dengan kata lain, saya ada di NW dan menyinta NU itu sebab ingin tenang, mau damai, hendakkan senang. Bukan untuk berebut sah atau tidak sah. Busuk dan buruk bagi saya mengelite-elitekan diri. Bukan di NW tempat mencari penghambaan karena NW memang bukan ladang yang satu mulia yang lain hamba. Disebabkan saya berpandangan NW berlandaskan keulamaan dan kewalian, maka saya menganuti faham secara teguh yang NW bukan tempat arena menghambakan orang lain. Karena itu, jika NW ini keluar dari keempat hal itu di tangan pengurus yang disebut sah atau tidak tidak sah, maka keulamaan dan kewalian pengurus tersebut mungkin ada masalah. Atas dasar itulah, saya menyeru diri saya untuk merayakan resminya NW menjadi dua bukan satu dengan harapan NW kembali ke hakikat yakni jalan keulamaan dan kewalian. Tulak kepada yang pokok di NW itu ialah Iman dan Taqwa. Bukan tuan dan hamba.
Seperti yang sedang ramai saat ini, secara resmi pengurus NW yang satu sah berdasarkan SK Kemenkumkam dengan Nomor AHU-0000810.AH.01.08. Tahun 2019 tertanggal 10 September 2019 dan pengurus NW yang satunya lagi sah berdasarkan SK Kemenkumham bernomor AHU 0001269.AH.0108 tahun 2020, tertanggal 30 November 2020.
Namun amat disayangkan NW makin tak mau belajar kepada pengalaman pahit dalam berbagai aspek. Makin berpesta di taman perasaan paling benar dan yang lain sebagai oknum yang salah. Makin menggandumi doktrin samikna waatokna: satu pihak berhak bertitah apa saja, pihak yang lain hanya berkedudukan aok enggeh. Termasuk yang terbaru ialah kegagalan dalam kontestasi politik. Kesemuanya itu tambah menjerumuskan NW yang disibukkan oleh perseteruan tiada habis-habisnya. Dalam situasi itu, saya melihat pertelingkahan dalam pasal sah dan tidak sah sangat tidak substansial sebab kesahan tersebut tidak dapat menjadi jaminan yang, NW dapat berkembang seperti yang diimpikan.
Saya mengatakan sangat tidak substansial sebab kesahan tersebut tidak menunjukkan apakah sah tersebut digunakan untuk kepentingan organisasi (dalam pengertian kemaslahatan jamaah). Malah semakin jelas indikasi kesahan tersebut untuk memperjelas duduk perkara yang, NW ini masalah aset.
Saya semakin meragukan substansi pergaduhan sah dan tidak sah tersebut jika merujuk kepada pertanyaan dasar, siapa sebenarnya yang mempunyai NW ini? Adakah pendiri secara hukum positif dapat secara langsung menjadi pemilik tunggal organisasi? Jika seperti itu, apakah pendirian NW hanya tertakluk pada satu orang saja? Siapa sebenarnya yang sedang bergaduh? Bagaimana posisi dan kedudukan masyarakat dalam keributan tersebut? Atau masyarakat dapat apa?
Pertanyaan yang saya kategorikan dasar tersebut, bagi pandangan saya merupakan pintu masuk untuk mengukur substansi perebutan kedudukan sah tidak sah kepengurusan NW. Dan itu pula yang menjadi landasan saya untuk mengatakan bahwa adegan perbantahan yang tiada ujung ini sangat tidak substansial. Terutama jika melihat yang masyarakat tidak mendapatkan manfaat besar, malah mereka semakin terkorbankan, maka saya melihat malahan sah dan tidak sah itu menjadi sangat tidak penting.
Karena itu, resminya NW menjadi dua bukan satu, semestinya harus dirayakan. Dengan catatan, kedua kubu berhenti ribut. Lama-lama telinga masyarakat bisa koyak oleh situasi yang tidak mutu tersebut. Sekarang kedua kubu sudah sama-sama disahkan oleh Kemenkumham. Lantas apa lagi yang mau diributkan. Jangan menunggu masyarakat benar-benar berpaling baru kerisak bendang. Malu. Sudah banyak tanda yang masyarakat sudah bosan. Jadi jangan menunggu bencana sosial tiba baru menjahit bendera.
Ayo, anak muda NW. Jangan menjadi tua dan terlalu tua. Ayo kaum NW terpelajar. Jangan terus suntuk belajar. Ini waktunya mengajarkan tindakan. Jangan malah jadi agen yang membodohi keadaan.
Sekarang waktunya untuk mengurus masyarakat. Itu jika kedua pengurus NW yang sudah sama-sama sah ini masih mau mengurusi masyarakat. Kalau tidak mau mengurusi masyarakat, ya, berhenti korbankan mereka. Berhenti juga berkata paling sah karena kedua pihak sudah sah. Kalau masih saling cecar dengan sah tidak sah, lama-lama nanti dibikin malu oleh sejarah yang dibuat oleh diri sendiri.
Sekali lagi, selamat atas resminya NW menjadi dua bukan satu.
[…] sumbernya silahkan klik linknya […]