WEEKEND EDITORIAL: Harga Tiket ‘Selangit’, Ironi Transportasi Udara di Negeri Sendiri

Harga tiket pesawat dalam negeri yang sangat mahal untuk sekali perjalanan menuai polemik dan kontroversi di ranah media sosial. Ada apa dengan Indonesia?

Fenomena ini bukan sekadar lonjakan musiman, tapi menandakan ketidakmampuan pemerintah dalam mengendalikan industri penerbangan nasional. Situasi ini ironis, sebab rute sejauh Medan–Batam hanya memakan waktu terbang sekitar 1 jam. Bandingkan dengan rute internasional seperti Jakarta–Tokyo yang masih bisa didapat di kisaran Rp7–10 juta pulang-pergi.

Kondisi ini tak terjadi di satu titik saja. Dalam seminggu terakhir, hampir semua rute domestik melonjak tajam. Jakarta–Makassar tembus Rp4 juta, Jakarta–Surabaya Rp3,5 juta, dan Lombok–Surabaya yang biasa Rp600–900 ribu naik jadi di atas Rp2 juta. Pemerintah yang sempat menjanjikan intervensi harga menjelang Lebaran, nyatanya hanya hadir lewat wacana.

BACA JUGA:  Lebaran di Tengah Keprihatinan

Tidak terlihat adanya langkah konkret seperti evaluasi tarif batas atas, penyediaan armada tambahan, atau pengawasan terhadap praktik maskapai.

Kontras dengan Negara Lain dan Derita Pemudik Kelas Menengah


Di luar negeri, harga tiket justru lebih rasional. Rute London–Berlin atau Kuala Lumpur–Bangkok dapat ditempuh dengan tiket Rp500–900 ribu pulang-pergi. Negara-negara ini memiliki skema insentif jelas, persaingan sehat antar maskapai, dan sistem pengawasan yang efektif. Sementara di Indonesia, maskapai tampak bebas menentukan harga, bahkan saat peak season seperti arus mudik Lebaran.

BACA JUGA:  Negara Kesejahteraan      

Akibatnya, jutaan rakyat kecil urung mudik. Banyak keluarga pekerja migran, mahasiswa, dan pelaku UMKM di Jawa atau Jabodetabek tak mampu membayar tiket Rp3–5 juta per orang. Di NTB, NTT, Maluku, hingga Papua, keterbatasan pilihan transportasi darat dan laut membuat pesawat menjadi satu-satunya pilihan. Tapi harga tiket menjadi penghalang utama.

Ini bukan hanya ketidakadilan, melainkan bentuk diskriminasi terselubung terhadap warga di daerah terpencil.

Solusi Struktural dan Tuntutan untuk Aksi Nyata


Maskapai memang menghadapi tantangan: harga avtur tinggi, biaya perawatan mahal, dan keterbatasan armada. Namun di sinilah pemerintah seharusnya hadir. Tak cukup dengan diskon avtur sesaat.

BACA JUGA:  Banjir dan Keselarasan Alam

Diperlukan reformasi menyeluruh: revisi regulasi tarif, pemberian insentif tetap bagi maskapai yang melayani rute prioritas, serta subsidi silang dari pemerintah daerah.

Lebih jauh, transportasi alternatif seperti kereta antarprovinsi dan pelayaran penumpang modern perlu dibangun dan dipercepat. Rakyat butuh pilihan yang manusiawi dan terjangkau. Karena harga tiket bukan sekadar biaya perjalanan, melainkan cermin dari keberpihakan negara terhadap hak mobilitas warganya.

Jika pemerintah benar-benar ingin hadir, maka inilah waktunya. Jangan biarkan langit negeri ini hanya bisa dijangkau oleh mereka yang berduit—sementara rakyat kecil dan kelas menengah mulai terpinggirkan dan hanya bisa menatap pesawat dari kejauhan. ***