Mengapa Gas Elpiji Penting? Menelusuri Sejarah dan Perannya dalam Kehidupan Modern

Namun, di balik kegunaannya yang praktis, gas elpiji menyimpan sejarah panjang yang dimulai dari penemuan ilmiah hingga menjadi komoditas vital yang seringkali menjadi sorotan akibat kelangkaan dan dampak sosialnya.

Baru-baru ini, Indonesia mengalami krisis gas elpiji yang bahkan menelan korban jiwa, seperti seorang perempuan lansia yang meninggal karena kelelahan saat mengantre untuk membeli gas elpiji. Kejadian ini mengingatkan kita betapa pentingnya memahami sejarah dan peran gas elpiji dalam kehidupan modern.

Awal Mula Penemuan Gas Elpiji


Gas elpiji pertama kali ditemukan pada tahun 1910 oleh seorang ahli kimia asal Amerika Serikat, Walter O. Snelling. Penemuan ini berawal dari keluhan seorang pemilik mobil yang heran karena setengah dari bensinnya menguap sebelum ia tiba di rumah setelah mengisi tangki Ford Model T miliknya. Snelling kemudian melakukan penelitian dan menemukan bahwa sebagian dari bensin berubah menjadi uap, yang kemudian dikenal sebagai gas elpiji.

Snelling berhasil memisahkan fraksi gas dari fraksi cair, yang mengarah pada penemuan propana. Pada tahun 1912, ia memasang instalasi propana domestik pertamanya, dan setahun kemudian, ia mematenkan produksi propana dalam skala industri. Hak paten tersebut kemudian dibeli oleh Frank Phillips, pendiri perusahaan minyak ConocoPhillips. Meskipun demikian, konsumsi gas elpiji saat itu masih terbatas dan belum berkembang secara signifikan.

Gas Elpiji sebagai Bahan Bakar


Penggunaan praktis gas elpiji pertama kali dicatat pada tahun 1918, ketika bahan bakar ini dimanfaatkan untuk lampu las dan obor pemotong logam. Produksi komersial baru benar-benar berkembang pada 1920-an. Di Amerika Serikat, penjualan gas elpiji mencapai 223 ribu galon pada tahun 1922 dan meningkat menjadi 400 ribu galon dalam tiga tahun berikutnya.

BACA JUGA:  Mahasiswa KKN UNRAM Ajak Warga Suranadi Hijaukan Lingkungan dengan Bibit Daun Salam dan Kayu Putih

Penggunaan gas elpiji semakin luas, termasuk sebagai bahan bakar motor untuk truk pada tahun 1928 serta untuk lemari es berbahan bakar gas elpiji. Pada tahun 1929, angka penjualan gas elpiji di AS melonjak hingga 10 juta galon. Momentum gas elpiji semakin kuat, terutama setelah digunakan dalam Olimpiade 1932 di Los Angeles untuk memasak dan memanaskan air. Pada tahun 1934, industri propana-butana berhasil menjual 56 juta galon gas elpiji.

Gas Elpiji dan Kapal Udara Zeppelin


Permintaan gas elpiji juga meningkat seiring popularitas kapal udara yang digunakan untuk perjalanan antara Eropa dan Amerika Serikat. Kapal udara generasi terbaru, seperti Zeppelin, menggunakan mesin berbahan bakar gas Blau—bahan bakar yang sangat mirip dengan butana, salah satu komponen utama gas elpiji.

Menggunakan bahan bakar gas dengan massa hampir sama dengan udara menjadi solusi praktis bagi kapal udara karena tidak mengubah berat keseluruhan pesawat seperti bahan bakar cair. Sayangnya, era Zeppelin berakhir tiba-tiba pada tahun 1937 setelah tragedi meledaknya kapal udara Hindenburg yang menewaskan 36 orang.

Gas Elpiji untuk Memasak


Berbeda dengan kapal udara yang kehilangan popularitasnya, penggunaan gas elpiji justru semakin berkembang, terutama sebagai bahan bakar memasak. Salah satu pelopor penting dalam sejarah penggunaan gas elpiji untuk memasak adalah Ernesto Igel di Brasil. Pada saat itu, banyak tabung gas elpiji yang tersisa di lapangan terbang setelah era kapal udara berakhir. Melihat peluang ini, Ernesto Igel membeli 6.000 tabung gas yang tidak lagi digunakan di Rio de Janeiro dan mulai mempromosikan gas elpiji sebagai bahan bakar memasak yang efisien.

BACA JUGA:  Mengharap Durian Runtuh Dari RUU Provinsi NTB Jadi UU

Inovasi ini kemudian melahirkan perusahaan Ultragaz pada tahun 1939. Saat itu, perusahaan ini memiliki tiga truk distribusi dan melayani 166 pelanggan. Sebelas tahun kemudian, pada tahun 1950, jumlah pelanggan meningkat pesat menjadi lebih dari 70 ribu. Hingga kini, Ultragaz menjadi salah satu perusahaan penyedia gas elpiji terbesar di dunia.

Sejarah Gas Elpiji di Indonesia


Gas elpiji pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1968 dengan peluncuran tabung gas berukuran 12 kg berwarna biru. Kehadiran gas elpiji bertujuan sebagai alternatif pengganti minyak tanah dan kayu bakar yang banyak digunakan masyarakat saat itu. Minyak tanah dan kayu bakar memiliki berbagai keterbatasan, seperti pasokan yang tidak stabil, efisiensi pembakaran yang rendah, serta dampak negatif terhadap lingkungan.

Pada tahun 2007, pemerintah Indonesia memperkenalkan tabung gas elpiji 3 kg atau yang lebih dikenal sebagai “gas melon” karena bentuk dan warnanya yang hijau. PT Pertamina sebagai penyedia energi nasional merancang tabung ini untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan ukuran dan harga yang lebih terjangkau. Regulasi penggunaan gas elpiji 3 kg diatur dalam Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006.

Mengapa Tabung Gas Elpiji 3 Kg Berwarna Hijau?
Di Indonesia, warna hijau pada tabung gas elpiji 3 kg memiliki beberapa alasan utama, antara lain:

BACA JUGA:  Aksi Nyata KKN PMD UNRAM di Desa Suranadi: Remaja Waspadai Bahaya Narkotika!

Memudahkan Identifikasi
Warna hijau dipilih untuk membedakan tabung gas elpiji subsidi dengan tabung gas industri yang umumnya berwarna merah atau biru. Warna cerah ini juga mempermudah pengawasan dalam berbagai kondisi pencahayaan sehingga meningkatkan aspek keselamatan.

Makna Psikologis Kesejahteraan
Warna hijau sering dikaitkan dengan rasa aman, kenyamanan, dan kesejahteraan. Oleh karena itu, warna ini dipilih untuk memberikan ketenangan bagi pengguna, mengingat gas elpiji adalah bahan bakar yang mudah terbakar dan memerlukan kehati-hatian dalam penggunaannya.

Mengikuti Standar Internasional
Pemilihan warna hijau pada tabung gas elpiji juga mengikuti standar global dalam distribusi LPG. Banyak negara menerapkan warna ini agar produsen, distributor, dan konsumen dapat lebih mudah mengenali produk dengan standar yang seragam.

Tantangan Gas Elpiji di Era Modern
Meskipun gas elpiji telah menjadi kebutuhan pokok, tantangan seperti kelangkaan dan distribusi yang tidak merata masih sering terjadi. Krisis gas elpiji di Indonesia baru-baru ini adalah contoh nyata betapa pentingnya mengelola sumber daya ini dengan baik. Pemerintah dan pihak terkait perlu terus berinovasi dan meningkatkan sistem distribusi agar gas elpiji dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa menimbulkan dampak sosial yang merugikan.

Dari penemuan ilmiah hingga menjadi komoditas vital, gas elpiji telah menempuh perjalanan panjang. Kini, tantangan terbesarnya adalah memastikan bahwa bahan bakar ini tetap dapat dinikmati oleh semua orang, tanpa mengorbankan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat. (editorMRC)